Serpihan Kecil
Catatan
dari Penyelenggaraan PILKADA[1]
Oleh: Bayu Dwiwiddy Jatmiko[2]
A. Pendahuluan
Pemilu merupakan hak asasi warga negara hak-hak warga
negara diantaranya, hak kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, kebebasan
beragama, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan persamaan di depan hukum, yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak asasi
tersebut, adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan Pemilu.
Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semua itu harus
dikembalikan kepada rakyat untuk menetukannya. Suatu pelanggaran terhadap hak
asasi warga negara apabila pemerintah tidak mengadakan Pemilu.[3]
Tujuan diselenggarakannya Pemilu menurut
Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim adalah:
pertama, memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib;
kedua, untuk melaksakan kedaulatan
rakyat;
ketiga, dalam rangka melaksanakan hak
asasi warga negara;
keempat, terpilihnya wakil rakyat duduk diparlemen dan kepala pemerintahan atau
kepala negara. Dalam mewujudkan tujuan Pemilu, maka Pemilu diselenggarakan
berdasarkan asa langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.[4]
Secara umum dalam peraturan perundang-undangan, Pemilu di Indonesia
adalah Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota DPR,
DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten, dan memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah baik tingkat provinsi maupun kota atau kabupaten.
Pemilihan kepala Daerah
(PILKADA) merujuk pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, berbunyi, “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis”. Jadi dalam konteks Pemilu di daerah (Pilkada), pemilihan
dilakukan untuk memilih kepala daerah yakni Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
dipilih secara demokratis. Pemilu tersebut untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[5]
Karenanya perlu dikaji permasalahan,
bagaimana pelaksanaan
PILKADA selama ini dan kemungkinan PILKADA yang
akan dilakukan.
Bangsa Indonesia selama
orde baru terkukung dalam politik sentralistik yang cenderung mengabaikan
aspirasi lokal (daerah). Pemerintah orde baru menggunakan paradigma kekuasaan
yang “satu, terpusat dan seragam” dalam tiga wujud yaitu :
1.
Sentralisasi
kekuasaan pada pemerintah pusat, eksekutif dan presiden yang diyakini sebagai
prakondisi bagi stabilitas politik untuk melaksanakan pembangunan nasional;
2.
Pembentukan
budaya nasional oleh negara sebagai pengganti budaya lokal (penyeragaman
budaya) sebagai prakondisi bagi persatuan dan kesatuan bangsa;
3.
Sentralisasi
redistribusi kekayaan nasional yang dinilai akan menjamin pemerataan dan
keadilan sosial.(Morisan,2005:179);
4.
Runtuhnya orde baru, sesungguhnya bersamaan dengan
pudarnya pemerintahan yang sentralistik di
Indonesia, yang kemudian menjadi otonomi. Paradigma state oriented menjadi civil society oriented.
Paradigma state oriented menjadi civil society oriented pun mulai
ditunjukan konsistensinya melalui produk Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah (UU No. 22/1999).
Demikian halnya dengan pemilihan
Kepala daerah, baik Gubernur, Bupati maupun walikota, semula berdasar UU No 5.
Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan penyelenggaraan amat sentralistik. Sebab DPRD, waktu itu tak lebih
sebagai panitia penyelenggara; Penentu siapa yang menjadi Gubernur, Walikota,
dan Bupati adalah pemerintah Pusat. Lebih–lebih berdasar pada pasal 15 (3) jo. Pasal 16 (3) UU No.5 tahun 1974 yang
menentukan bahwa tata cara pemilihan kepala Daerah Tingkat I dan II diatur
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Berdasar pada ketentuan ini, maka pada masa itu ruang publik benar-benar tertutup.
Namun berdasar
pada UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, dari prespektif demokrasi
mengalami kemajuan, sebab ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pemilihan pemilihan gubernur, bupati
walikota diatur dalam Tata Tertib DPRD. Hal ini menunjukan ada ruang bagi
partisipasi masyarakat dalam proses
sampai dengan pemilihan gubernur, baik itu pada bagaimana cara gubernur
dipilih maupun figur yang akan dipilih.
Selanjutnya UU
No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah di revisi
melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (UU
no.32/2004). Salah satu hal yang paling urgen didalam undang-undang ini adalah
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkadal). Banyak hal yang meliputi
perkembangan demokrasi modern ini dimana keberadaan undang-undang sebelumnya
(UU No.22/1999) menjadi multitafsir mengenai pemilihan kepala daerah.
Pilkadal sebagai implementasi amanat konstitusi UUD1945 Pasal 18 ayat (4) yang
menyatakan bahwa” Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”. Kemudian pelaksanaan Pilkadal diatur dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan secara teknis diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pada UU
No.32/2004 melalui Pasal 24 ayat (5) jo Pasal 56 ayat (1) maka pola demokrasi
di daerah menggunakan pemilihan secara langsung yang merubah sepenuhnya pola
demokrasi kepala daerah yang sebelumnya diatur didalam UU No. 22/1999 yang
menyebutkan bahwa pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah
dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya dua
pertiga jumlah anggota DPRD dalam rapat paripurna DPRD.
Hal yang
melatarbelakangi PILKADA tersebut perlu
diketahui, yaitu :
Pertama,bahwa pimpinan
tertinggi negara (presiden) telah dipilih secara langsung dalam pemilu yang
dilakukan pertama kali melalui pemilu tahun 2004, sementara pimpinan wilayah
terendah (Kepala Desa) juga dilaksanakan secara langsung, dengan demikian tidak
ada alasan pemilihan gubernur, walikota dan bupati dilakukan secara langsung
oleh rakyat.
Kedua, pemilu
kepala daerah akan lebih mewujudkan kedaulatan yang berada ditangan rakyat,
sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (2) UUD 1945. dengan adanya kedaulatan di
tangan rakyat di pemerintah daerah maka ongkos politik (money politik).
Ketiga, secara yuridis, UU No. 22/1999 yang
menentukan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD sudah tidak sesuai lagi karena
undang-undang ini merupakan produk hukum sebelum amandemen UUD 1945. Sementara
itu sudah ada Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD (UU No. 22/2003 yang menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara
langsung oleh rakyat.(Morissan,2005:199)
Sebagus apapun
sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali pejabat
yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam
cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya. Pelaksanaan
pemilihan bisa bervariasi, namun intisarinya tetap sama untuk semua masyarakat
demokratis (jurnal demokrasi:2001)
Pemilihan Kepala Daerah memasuki
era baru setelah hari senin tanggal 23 Juli 2007 Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No.5/PUU-V/2007 tentang pencabutan
terhadap ketentuan pasal 59 ayat 1 UU
No.32 tahun 2004. Ketentuan pasal 56 (2)” UU no. 32 Tahun 2004” Pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik”, dan lebih
lanjut ketentuan pasal 59 ayat (1)” peserta pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan
oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
C.
Catatan Substansi Pengaturan
Mengenai PILKADA dapat
dikemukakan beberapa catatan substansi pengaturan tentang pelaksanaannya,
sebagai berikut:
1. UU No.
22/1999 yang menyebutkan bahwa pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil
kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri
sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD dalam rapat paripurna DPRD. (PILKADA oleh
DPRD).
2.
Menurut Pasal 56 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. (PILKADA secara Langsung oleh Rakyat).
3.
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil
Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah
4.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU
No. 32 Tahun 2004 tersebut telah diganti dengan Pasal 62 UU
No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, yang berbunyi, “Ketentuan
mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang”.
5.
Menurut Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati Dan Walikota, bahwa, “(1) Gubernur dipilih oleh anggota DPRD
Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan Adil; (2)
Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis
berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil”. (PILKADA oleh DPRD).
6.
Pasal
1 ayat (1) PERPU No. 1 Tahun 2014, menyebut: “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan
rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan
Walikota secara langsung dan demokratis”. Yang kemudian ditetapkan menjadi UU
No. 1 Tahun 2015, (PILKADA secara langsung oleh Rakyat).
7.
Pasal
I angka 1 tentang bunyi pasal 1 dari UU No. 8 Tahun 2015, yaitu “Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara
langsung dan demokratis”. (PILKADA secara langsung oleh Rakyat).
D. Pembahasan
Pasca
perubahan dalam pasal 1 ayat (2) ) UUD 1945, mengatur bahwa Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang, menunjukkan adanya sebuah hukum dasar bahwa segala hukum
dan kekuasaan adalah dalam segala serba-serbinya haruslah mengabdi demi
kepentingan rakyat. Yakni sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam
UUD 1945. [7]
Karena itu jika kemudian pasal 1
ayat (3) telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi
suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum,
bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan
dan penguasa tunduk kepada hukum.[8]
Upaya untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat tersebut, melalui berbagai
pemilihan umum, sebagaimana apa yang diatur dalam pasal 6A ayat (3)tentang
pemilu presiden, Pasal 19 ayat (1) tentang pemilu DPR, pasal 22C ayat (1)
tentang pemilu DPD, dan pasal 18 ayat (3) tentang pemilu DPRD dan ayat (4) tentang pemilu kepada daerah yang dilakukan secara demokratis.
Apa makna
Demokratis dalam PILKADA dalam Pasal 18 UUD 1945 di atas? Demokrasi
berasal dari kata “demos” dan “cratein” (bahasa Yunani) yang
berarti “rakyat” dan “kekuasaan”. Sejarah istilah demokrasi sudah muncul pada
tahun 431 SM, ketika Pericles, seorang negarawan Athena, mendefinisikan
demokrasi dengan beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Pemerintahan
oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung.
2. Kesamaan didepan
hukum.
3. Pluralisme yaitu
penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan, dan pandangan.
4. Penghargaan
terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi.[9]
Bagaimana
pelaksanaannya di Indonesia?
Dalam Pelaksanaan Pemilu sering Sengketa terjadi karena
adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan
masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan
kepentingan dalam masyarakat. [10]
Perlu diingat sebelumnya, bahwa
Indonesia dalam melaksanakan pemilu, sampai dengan tahun 2002 yakni selesainya
perubahan ke empat terhadap UUD 1945, telah
delapan (8) kali Pemilu yang telah dilaksanakan Indonesia (Pemilu 1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), dan Pemilu yang dinilai paling
demokratis oleh political scientists sepanjang sejarah pemilu Indonesia, yakni
Pemilu 1955, Pemilu 1999 dan pemilu
2004, merupakan pemilu untuk memlilih
anggota Legislatif yaitu
termasuk memilih DPRD Propinsi, Kabupaten/ Kota yang kemudian berwenang memilih
Gubernur, bupati / walikota pada masa itu. Dan Pemilu 2005 dan 2009 untuk memlih Presiden dan Wakil Presiden. [11]
Kilas
balik pengkajian terhadap pemilihan umum yang lalu, mendapati bahwa Pasca
pemilu 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) menangani 257 kasus, selebihnya adalah permohonan yang pada saat registrasi ditolak
atau tidak dapat diterima. Pada Pemilu 2004, penetapan hasil pemilu dilakukan
terpusat. Penetapan hasil pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, dan presiden/wakil
presiden dilakukan oleh KPU (pusat) sehingga pihak yang diperkarakan di MK
hanya satu, yaitu KPU.
Sedangkan
untuk pemilu 2009, mantan Ketua MK Jimly
Asshiddiqie, pernah memperkirakan sengketa perselisihan hasil Pemilu 2009 akan
lebih rumit dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2004.
Mahkamah Konstitusi (MK) memperkirakan jumlah gugatan yang akan diterima
nantinya sekitar 2.170 kasus berdasarkan daerah pemilihan.
Di tahun 2009, Kenyataannya sampai pada tanggal 19
Mei 2009 saat MK mulai menyidangkan 16 sengketa perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU) di gedung MK,
telah ada 620 permohonan yang diajukan ke MK.[12]
MK bisa
menerima gugatan terkait hasil pemilu yang diajukan partai politik (DPR), calon
Anggota DPD, pasangan calon presiden dan wakil presiden, ataupun sengketa
terkait dengan pemilihan kepada daerah (PILKADA) . Semakin banyaknya permohonan
penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan umum dan sengketa PILKADA,
ternyata justru semakin banyak yang ditolak dan tidak dapat diterima daripada
yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. [13]
Sebelumnya, dalam UU
Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan, keberatan terhadap penetapan hasil pilkada diajukan pasangan
calon ke MA dalam waktu paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil. Keberatan
tersebut hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi
terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan ke MA disampaikan ke PT untuk
pilkada provinsi dan ke pengadilan negeri (PN) untuk pilkada kabupaten/kota. MA
dapat mendelegasikan kepada PT untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara
pilkada kabupaten/kota.[14]
Kemudian dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan Perubahan Kedua atas UU No
32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah dinyatakan, penanganan sengketa hasil
penghitungan suara dalam pilkada oleh MA dialihkan ke MK. Klausul itu sejalan
dengan prinsip bahwa pilkada merupakan rezim pemilu sehingga penanganan
sengketa hasilnya pun mesti oleh MK.[15]
Permohonan penyelesaian PHPU didasarkan pada pokok
perkara yang menguraikan dengan jelas
tentang adanya :
1. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan
oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.
2. Permintaan untuk membatalkan hasil perhitungan suara
yang diumumkan komisi pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang
benar menurut pemohon.
Terhadap
berbagai permohonan PHPU tersebut ada tiga kemungkinan putusan yang akan
dikeluarkan oleh MK, yaitu:
1. Permohonan
tidak dapat diterima, apabila pemohon dan/ atau permohonannya tidak memenuhi
syarat. Di sini pemohon tidak mempunyai legal standing atau permohonannya tidak didukung alat bukti
permulaan yang cukup.
2. permohonan
dikabulkan, apabila permohonannya terbukti beralasan, Jika dikabulkan maka ada dua hal yang
dilakukan MK, yakni pertama, membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan
oleh KPU, dan kedua, menetapkan hasil
perhitungan suara yang benar.
3. permohonan
ditolak, apabila permohonan tidak terbukti
beralasan, di sini para pemohonnya tidak berhasil meyakinkan dengan alat-alat
bukti yang ada bahwa dalil dan argumen permohonan yang diajukan tidak kuat. [16]
Dari
uraian diatas, jika PILKADA dikembalikan kepada rakyat, maka harus diketahui
secara jelas apa yang menjadi latar belakangnya, karena bisa jadi dalam
pelaksanaannya nanti mungkin akan lebih banyak menimbulkan sengketa PHPU sebagaimana
pelaksanaan-pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
PERPU No. 1 Tahun 2014
yang Kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 mengemukakan untuk
menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. [17]
Kedaulatan rakyat
dan demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa
perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama
ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan
keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.[18]
Selain berdasarkan
alasan tersebut di atas, terdapat pertimbangan mengenai kegentingan yang
memaksa sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang di dalamnya memuat
tentang persyaratan perlunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
apabila:
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada
sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan
cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Namun UU No. 8 Tahun 2015 Tentang
Perubahan UU No 1 Tahun 2015,
menyebutkan catatan menarik, yaitu:
“Putusan Mahkamah Konstitusi No.
97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan
untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Putusan ini
mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim pemilihan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Sebagai konsekuensinya,
maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak berwenang menyelenggarakan
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Untuk mengatasi
masalah konstitusionalitas penyelenggara tersebut dan dengan mengingat tidak
mungkin menugaskan lembaga penyelenggara yang lain dalam waktu dekat ini, maka
di dalam Undang-Undang ini ditegaskan komisi pemilihan umum, badan pengawas
pemilihan umum beserta jajarannya, dan dewan kehormatan penyelenggara pemilihan
umum masing-masing diberi tugas menyelenggarakan, mengawasi, dan menegakkan
kode etik sebagai satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota secara berpasangan berdasarkan Undang-Undang
ini”.
Sehingga akhirnya
dibuatlah Pasal 157 UU
No. 8 Tahun 2015, sbb:
(1) Perkara perselisihan hasil
Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan
serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan
perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi
sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Apalagi jika diingat bahwa
pelaksanaan PILKADA secara langsung oleh rakyat nantinya akan diselenggarakan
secara serentak (Pemungutan suara secara serentak) tahun 2019 ?). Tahun ini
saja sekitar 269 daerah akan mengadakan PILKADA telah banyak menimbulkan
catatan terkait pelaksanaannya mulai dari biaya pelaksanaannya sampai kepada
pencalonan dan kemungkinan penyelesaian sengketa PHPUnya.
Padahal Konsepsi
pemungutan suara menuju pemungutan suara serentak secara nasional yang diatur
di dalam UU No 1 Tahun 2015
masih perlu disempurnakan mengingat akan terjadi
pemotongan periode masa jabatan yang sangat lama dan masa jabatan penjabat
menjadi terlalu lama. Undang-Undang No 8 tahun 2015 ini memformulasikan ulang tahapan menuju
pemilu serentak nasional tersebut dengan mempertimbangkan pemotongan periode
masa jabatan yang tidak terlalu lama dan masa jabatan penjabat yang tidak
terlalu lama; kesiapan penyelenggara pemilihan; serta dengan memperhatikan
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD secara
serentak pada tahun 2019.
Di atas
telah dikemukakan bahwa pelaksanaan PILKADA secara langsung oleh rakyat, nanti
mungkin akan lebih banyak menimbulkan sengketa PHPU sebagaimana
pelaksanaan-pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Bagaimana Peluang keberhasilan
pelaksanaannnya? dan penyelesaian sengketa PHPUnya (tidak ditangani oleh MK yang telah
berpengalaman menyelesaikan sengketa PHPU, tetapi oleh badan Peradilan Khusus
yang belum berpengalaman dan sampai sekarangpun belum dibentuk.
E.
Catatan Akhir
Hukum disamping sebagai
alat perubahan sosial juga sebagai sarana untuk mengontrol perubahan sosial, sehingga perlu dibuat dengan arif
termasuk dalam mengatur PILKADA secara langsung oleh rakyat dan serentak.
Karena, Hukum dalam bentuknya yang asli
bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk memungkinkan terjadinya
keseimbangan dalam hidup masyarakat. Berbeda dengan kekuasaan yang bersifat
agresif dan ekspansionis. Hukum cenderung bersifat kompromistis, damai dan
penuh dengan kesepakatan kesepakatan dalam kehidupan sosial dan politik[19]
[1] Disampaikan Dalam FGD penelitian HIKOM oleh DR. Sulardi. SH. M.Si “Dinamika Politik Hukum PILKADA Dalam
Perspektif Demokrasi”, DP2M UMM, tanggal 4 Juni 2015 di FH UMM.
[3] Suti Mulyani. Laporan Penelitian P2I: Wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Mengatur Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) (Studi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
5/PUU-V/2007 Tentang Perkara Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah Terhadap UUD 1945). FH UMM, 2007, Hal. 32.
[6] Catur Wido Haruni, Naskah Publikasi
Hasil Penelitian P2I: Kajian Kritis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi NO.5/PUU-V/2007
Tentang Calon Independen Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. FH UMM, 2008, Hal 4-5.
[7] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Laporan
Penelitian Block Grand: Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah
Konstitusi Dalam Sengketa Hasil PILKADA Tahun 2010 Dan 2011 yang Putusannya
Mengharuskan Pemilu Ulang. FH UMM, 2012, hal. 4.
[9]
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/07/17
[10]Nandang Alamsah Deliarnoor, Tinjauan
Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Makalah Disampaikan
dalam acara “Sosialisasi Pemilihan Umum Gubernur Dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008” bertempat di Pusat
Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama
KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD
[11] Sebagai
catatan: Pemilu 1955 diikuti 172
Kontestan dan partai Politik, Pemilu 1971 diikuti 10 kontestandan partai
politik, Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 diikuti 3 kontestan dan partai politik yang sama, Pemilu 1999 diikuti
48 partai politik, pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan pemilu 2009
diikuti 44 Partai politik.
[14]
http://regional.kompas.com/read/2011/12/03/
[15]
http://regional.kompas.com/read/2011/12/03/
[19] H. Alwi wahyudi, Peran Strategis
Birokrasi dalam Menentukan Pelayanan
Publik. Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011, hal 62.
0 komentar:
Posting Komentar