Jumat, 06 November 2015

catatan: Penyelenggaraan PILKADA



 Serpihan Kecil
Catatan dari Penyelenggaraan PILKADA[1]
Oleh: Bayu Dwiwiddy Jatmiko[2]

A.    Pendahuluan
Pemilu merupakan hak asasi warga negara hak-hak warga negara diantaranya, hak kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan persamaan di depan hukum, yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak asasi tersebut, adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan Pemilu. Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semua itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menetukannya. Suatu pelanggaran terhadap hak asasi warga negara apabila pemerintah tidak mengadakan Pemilu.[3]    
Tujuan diselenggarakannya Pemilu menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim adalah:
pertama, memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib;
kedua,    untuk melaksakan kedaulatan rakyat;
ketiga,    dalam rangka melaksanakan hak asasi warga negara;
keempat, terpilihnya wakil rakyat duduk diparlemen dan kepala pemerintahan atau kepala negara. Dalam mewujudkan tujuan Pemilu, maka Pemilu diselenggarakan berdasarkan asa langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.[4] 
Secara umum dalam peraturan perundang-undangan, Pemilu di Indonesia adalah Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten, dan memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik tingkat provinsi maupun kota atau kabupaten.
Pemilihan kepala Daerah (PILKADA)  merujuk pada Pasal 18 Ayat (4)  UUD 1945,  berbunyi, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Jadi dalam konteks Pemilu di daerah (Pilkada), pemilihan dilakukan untuk memilih kepala daerah yakni Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih secara demokratis. Pemilu tersebut untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[5]
Karenanya perlu dikaji permasalahan, bagaimana pelaksanaan PILKADA selama ini dan  kemungkinan PILKADA yang akan  dilakukan.


B.     Kilas Balik pelaksanaan PILKADA[6]
Bangsa Indonesia selama orde baru terkukung dalam politik sentralistik yang cenderung mengabaikan aspirasi lokal (daerah). Pemerintah orde baru menggunakan paradigma kekuasaan yang “satu, terpusat dan seragam” dalam tiga wujud yaitu :
1.     Sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, eksekutif dan presiden yang diyakini sebagai prakondisi bagi stabilitas politik untuk melaksanakan pembangunan nasional;
2.     Pembentukan budaya nasional oleh negara sebagai pengganti budaya lokal (penyeragaman budaya) sebagai prakondisi bagi persatuan dan kesatuan bangsa;
3.     Sentralisasi redistribusi kekayaan nasional yang dinilai akan menjamin pemerataan dan keadilan sosial.(Morisan,2005:179);
4.     Runtuhnya  orde baru, sesungguhnya bersamaan dengan pudarnya pemerintahan yang sentralistik di  Indonesia, yang kemudian menjadi otonomi. Paradigma state oriented  menjadi civil society oriented. Paradigma state oriented menjadi civil society oriented pun mulai ditunjukan konsistensinya melalui produk Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (UU No. 22/1999).
          Demikian halnya dengan pemilihan Kepala daerah, baik Gubernur, Bupati maupun walikota, semula berdasar UU No 5. Tahun 1974 Tentang  Pokok-Pokok Pemerintahan penyelenggaraan amat sentralistik. Sebab DPRD, waktu itu tak lebih sebagai panitia penyelenggara; Penentu siapa yang menjadi Gubernur, Walikota, dan Bupati adalah pemerintah Pusat. Lebih–lebih berdasar pada pasal 15 (3)  jo. Pasal 16 (3) UU No.5 tahun 1974 yang menentukan bahwa tata cara pemilihan kepala Daerah Tingkat I dan II diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Berdasar  pada ketentuan ini, maka pada masa itu  ruang publik benar-benar tertutup.
Namun berdasar pada UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, dari prespektif demokrasi mengalami kemajuan, sebab ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemilihan  pemilihan gubernur, bupati walikota diatur dalam Tata Tertib DPRD. Hal ini menunjukan ada ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses  sampai dengan pemilihan gubernur, baik itu pada bagaimana cara gubernur dipilih maupun figur yang akan dipilih.
Selanjutnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah di revisi  melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (UU no.32/2004). Salah satu hal yang paling urgen didalam undang-undang ini adalah Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkadal). Banyak hal yang meliputi perkembangan demokrasi modern ini dimana keberadaan undang-undang sebelumnya (UU No.22/1999) menjadi multitafsir mengenai pemilihan kepala daerah. Pilkadal sebagai implementasi amanat konstitusi UUD1945 Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa” Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Kemudian pelaksanaan Pilkadal diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada UU No.32/2004 melalui Pasal 24 ayat (5) jo Pasal 56 ayat (1) maka pola demokrasi di daerah menggunakan pemilihan secara langsung yang merubah sepenuhnya pola demokrasi kepala daerah yang sebelumnya diatur didalam UU No. 22/1999 yang menyebutkan bahwa pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD dalam rapat paripurna DPRD.
Hal yang melatarbelakangi  PILKADA tersebut perlu diketahui, yaitu :
 Pertama,bahwa pimpinan tertinggi negara (presiden) telah dipilih secara langsung dalam pemilu yang dilakukan pertama kali melalui pemilu tahun 2004, sementara pimpinan wilayah terendah (Kepala Desa) juga dilaksanakan secara langsung, dengan demikian tidak ada alasan pemilihan gubernur, walikota dan bupati dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Kedua,   pemilu kepala daerah akan lebih mewujudkan kedaulatan yang berada ditangan rakyat, sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (2) UUD 1945. dengan adanya kedaulatan di tangan rakyat di pemerintah daerah maka ongkos politik (money politik).
Ketiga,   secara yuridis, UU No. 22/1999 yang menentukan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD sudah tidak sesuai lagi karena undang-undang ini merupakan produk hukum sebelum amandemen UUD 1945. Sementara itu sudah ada Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No. 22/2003 yang menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat.(Morissan,2005:199)   
Sebagus apapun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya. Pelaksanaan pemilihan bisa bervariasi, namun intisarinya tetap sama untuk semua masyarakat demokratis (jurnal demokrasi:2001)
             Pemilihan Kepala Daerah memasuki era baru setelah hari senin tanggal 23 Juli 2007 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No.5/PUU-V/2007 tentang pencabutan terhadap ketentuan pasal 59 ayat 1 UU  No.32 tahun 2004. Ketentuan pasal 56 (2)”  UU no. 32 Tahun 2004” Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik”, dan lebih lanjut ketentuan pasal 59 ayat (1)” peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. 

C.    Catatan Substansi Pengaturan
Mengenai PILKADA dapat dikemukakan beberapa catatan substansi pengaturan tentang pelaksanaannya, sebagai berikut:
1.    UU No. 22/1999 yang menyebutkan bahwa pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD dalam rapat paripurna DPRD. (PILKADA oleh DPRD).
2.    Menurut Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (PILKADA secara Langsung oleh Rakyat).
3.    Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah
4.    Ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut telah diganti dengan Pasal 62 UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, yang berbunyi, “Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang”.
5.    Menurut Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota, bahwa, “(1) Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan Adil; (2) Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil”. (PILKADA oleh DPRD).
6.    Pasal 1 ayat (1) PERPU No. 1 Tahun 2014, menyebut: “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis”. Yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015, (PILKADA secara langsung oleh Rakyat).
7.    Pasal I angka 1 tentang bunyi pasal 1 dari UU No. 8 Tahun 2015, yaitu “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. (PILKADA secara langsung oleh Rakyat).

D. Pembahasan
Pasca perubahan dalam pasal 1 ayat (2) ) UUD 1945,  mengatur bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang, menunjukkan  adanya sebuah hukum dasar bahwa segala hukum dan kekuasaan adalah dalam segala serba-serbinya haruslah mengabdi demi kepentingan rakyat. Yakni sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam UUD 1945. [7]
Karena itu jika kemudian pasal 1 ayat (3) telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum.[8]
Upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut,  melalui berbagai pemilihan umum, sebagaimana apa yang diatur dalam pasal 6A ayat (3)tentang pemilu presiden, Pasal 19 ayat (1) tentang pemilu DPR, pasal 22C ayat (1) tentang pemilu DPD, dan pasal 18 ayat (3) tentang pemilu DPRD  dan ayat (4) tentang pemilu kepada daerah yang dilakukan secara demokratis.
Apa makna Demokratis dalam PILKADA dalam Pasal 18 UUD 1945 di atas? Demokrasi berasal dari kata “demos” dan “cratein” (bahasa Yunani) yang berarti “rakyat” dan “kekuasaan”. Sejarah istilah demokrasi sudah muncul pada tahun 431 SM, ketika Pericles, seorang negarawan Athena, mendefinisikan demokrasi dengan beberapa kriteria sebagai berikut :
1.  Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung.
2.  Kesamaan didepan hukum.
3.  Pluralisme yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan, dan pandangan.
4.  Penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi.[9]
Bagaimana pelaksanaannya di Indonesia?
Dalam Pelaksanaan Pemilu sering Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. [10]
Perlu diingat sebelumnya, bahwa Indonesia dalam melaksanakan pemilu, sampai dengan tahun 2002 yakni selesainya perubahan ke empat terhadap UUD 1945, telah  delapan (8) kali Pemilu yang telah dilaksanakan Indonesia (Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), dan Pemilu yang dinilai paling demokratis oleh political scientists sepanjang sejarah pemilu Indonesia, yakni Pemilu 1955,  Pemilu 1999 dan pemilu 2004,  merupakan pemilu untuk memlilih anggota Legislatif yaitu termasuk memilih DPRD Propinsi, Kabupaten/ Kota yang kemudian berwenang memilih Gubernur, bupati / walikota pada masa itu. Dan Pemilu 2005 dan 2009 untuk memlih Presiden dan Wakil Presiden. [11]
 Kilas balik pengkajian terhadap pemilihan umum yang lalu, mendapati bahwa Pasca pemilu 2004, Mahkamah Konstitusi (MK)  menangani 257 kasus,  selebihnya adalah  permohonan yang pada saat registrasi ditolak atau tidak dapat diterima. Pada Pemilu 2004, penetapan hasil pemilu dilakukan terpusat. Penetapan hasil pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, dan presiden/wakil presiden dilakukan oleh KPU (pusat) sehingga pihak yang diperkarakan di MK hanya satu, yaitu KPU.
Sedangkan untuk pemilu 2009, mantan Ketua MK  Jimly Asshiddiqie, pernah memperkirakan sengketa perselisihan hasil Pemilu 2009 akan lebih rumit dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2004. Mahkamah Konstitusi (MK) memperkirakan jumlah gugatan yang akan diterima nantinya sekitar 2.170 kasus berdasarkan daerah pemilihan.
Di tahun 2009, Kenyataannya sampai pada tanggal 19 Mei 2009 saat MK mulai menyidangkan 16 sengketa perselisihan tentang  hasil pemilihan umum (PHPU) di gedung MK, telah ada  620 permohonan  yang diajukan ke MK.[12]
MK bisa menerima gugatan terkait hasil pemilu yang diajukan partai politik (DPR), calon Anggota DPD, pasangan calon presiden dan wakil presiden, ataupun sengketa terkait dengan pemilihan kepada daerah (PILKADA) . Semakin banyaknya permohonan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan umum dan sengketa PILKADA, ternyata justru semakin banyak yang ditolak dan tidak dapat diterima daripada yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. [13]
Sebelumnya, dalam UU Nomor  32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan, keberatan terhadap penetapan hasil pilkada diajukan pasangan calon ke MA dalam waktu paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil. Keberatan tersebut hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan ke MA disampaikan ke PT untuk pilkada provinsi dan ke pengadilan negeri (PN) untuk pilkada kabupaten/kota. MA dapat mendelegasikan kepada PT untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pilkada kabupaten/kota.[14]
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah dinyatakan, penanganan sengketa hasil penghitungan suara dalam pilkada oleh MA dialihkan ke MK. Klausul itu sejalan dengan prinsip bahwa pilkada merupakan rezim pemilu sehingga penanganan sengketa hasilnya pun mesti oleh MK.[15]
Permohonan penyelesaian PHPU didasarkan pada pokok perkara  yang menguraikan dengan jelas tentang adanya :
1.  kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.
2.  Permintaan untuk membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan komisi pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon.
Terhadap berbagai permohonan PHPU tersebut ada tiga kemungkinan putusan yang akan dikeluarkan oleh MK, yaitu:
1.  Permohonan tidak dapat diterima, apabila pemohon dan/ atau permohonannya tidak memenuhi syarat. Di sini pemohon tidak mempunyai legal standing  atau permohonannya tidak didukung alat bukti permulaan yang cukup.
2.  permohonan dikabulkan, apabila permohonannya terbukti beralasan,  Jika dikabulkan maka ada dua hal yang dilakukan MK, yakni pertama, membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh  KPU, dan kedua, menetapkan hasil perhitungan suara  yang benar.
3.  permohonan ditolak,  apabila permohonan tidak terbukti beralasan, di sini para pemohonnya tidak berhasil meyakinkan dengan alat-alat bukti yang ada bahwa dalil dan argumen permohonan yang diajukan tidak kuat. [16]
Dari uraian diatas, jika PILKADA dikembalikan kepada rakyat, maka harus diketahui secara jelas apa yang menjadi latar belakangnya, karena bisa jadi dalam pelaksanaannya nanti mungkin akan lebih banyak menimbulkan sengketa PHPU sebagaimana pelaksanaan-pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
PERPU No. 1 Tahun 2014 yang Kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 mengemukakan untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. [17]
Kedaulatan rakyat dan demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.[18]
Selain berdasarkan alasan tersebut di atas, terdapat pertimbangan mengenai kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang di dalamnya memuat tentang persyaratan perlunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang apabila:
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Namun UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan  UU No 1 Tahun 2015, menyebutkan catatan menarik, yaitu:
 “Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Putusan ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak berwenang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Untuk mengatasi masalah konstitusionalitas penyelenggara tersebut dan dengan mengingat tidak mungkin menugaskan lembaga penyelenggara yang lain dalam waktu dekat ini, maka di dalam Undang-Undang ini ditegaskan komisi pemilihan umum, badan pengawas pemilihan umum beserta jajarannya, dan dewan kehormatan penyelenggara pemilihan umum masing-masing diberi tugas menyelenggarakan, mengawasi, dan menegakkan kode etik sebagai satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara berpasangan berdasarkan Undang-Undang ini”.

Sehingga akhirnya dibuatlah Pasal 157 UU No. 8 Tahun 2015, sbb:
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Apalagi jika diingat bahwa pelaksanaan PILKADA secara langsung oleh rakyat nantinya akan diselenggarakan secara serentak (Pemungutan suara secara serentak) tahun 2019 ?). Tahun ini saja sekitar 269 daerah akan mengadakan PILKADA telah banyak menimbulkan catatan terkait pelaksanaannya mulai dari biaya pelaksanaannya sampai kepada pencalonan dan kemungkinan penyelesaian sengketa PHPUnya.
Padahal Konsepsi pemungutan suara menuju pemungutan suara serentak secara nasional yang diatur di dalam UU No 1 Tahun 2015  masih  perlu disempurnakan mengingat akan terjadi pemotongan periode masa jabatan yang sangat lama dan masa jabatan penjabat menjadi terlalu lama. Undang-Undang No 8 tahun 2015  ini memformulasikan ulang tahapan menuju pemilu serentak nasional tersebut dengan mempertimbangkan pemotongan periode masa jabatan yang tidak terlalu lama dan masa jabatan penjabat yang tidak terlalu lama; kesiapan penyelenggara pemilihan; serta dengan memperhatikan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD secara serentak pada tahun 2019.
Di atas telah dikemukakan bahwa pelaksanaan PILKADA secara langsung oleh rakyat, nanti mungkin akan lebih banyak menimbulkan sengketa PHPU sebagaimana pelaksanaan-pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Bagaimana Peluang keberhasilan pelaksanaannnya? dan penyelesaian sengketa PHPUnya  (tidak ditangani oleh MK yang telah berpengalaman menyelesaikan sengketa PHPU, tetapi oleh badan Peradilan Khusus yang belum berpengalaman dan sampai sekarangpun belum dibentuk.

E.     Catatan Akhir
Hukum disamping sebagai alat perubahan sosial juga sebagai sarana untuk mengontrol perubahan  sosial, sehingga perlu dibuat dengan arif termasuk dalam mengatur PILKADA secara langsung oleh rakyat dan serentak.
Karena, Hukum dalam bentuknya yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk memungkinkan terjadinya keseimbangan dalam hidup masyarakat. Berbeda dengan kekuasaan yang bersifat agresif dan ekspansionis. Hukum cenderung bersifat kompromistis, damai dan penuh dengan kesepakatan kesepakatan dalam kehidupan sosial dan politik[19]


[1] Disampaikan Dalam FGD penelitian HIKOM oleh DR. Sulardi. SH. M.Si “Dinamika Politik Hukum PILKADA Dalam Perspektif Demokrasi”, DP2M UMM, tanggal 4 Juni 2015 di FH UMM.
[2] Dosen Kopertis Wilayah VII Jawa Timur Dpk pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
[3] Suti Mulyani. Laporan Penelitian P2I: Wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mengatur Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) (Studi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 Tentang Perkara Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Terhadap UUD 1945). FH UMM, 2007, Hal. 32.
[4] Ibid Hal. 31. 
[5] Ibid, hal 33
[6] Catur Wido Haruni, Naskah Publikasi Hasil Penelitian P2I: Kajian Kritis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi NO.5/PUU-V/2007 Tentang Calon Independen Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung  Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. FH UMM, 2008, Hal 4-5.

[7] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Laporan Penelitian Block Grand: Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Hasil PILKADA Tahun 2010 Dan 2011 yang Putusannya Mengharuskan Pemilu Ulang. FH UMM, 2012, hal. 4.
[8] Ibid
[9] http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/07/17
[10]Nandang Alamsah Deliarnoor, Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Makalah Disampaikan dalam acara “Sosialisasi Pemilihan Umum Gubernur Dan Wakil  Gubernur Jawa Barat 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD
[11] Sebagai catatan: Pemilu 1955 diikuti  172 Kontestan dan partai Politik, Pemilu 1971 diikuti 10 kontestandan partai politik, Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 diikuti 3 kontestan dan  partai politik yang sama, Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik, pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan pemilu 2009 diikuti 44 Partai politik.
[14] http://regional.kompas.com/read/2011/12/03/
[15] http://regional.kompas.com/read/2011/12/03/
[16] Bayu Dwiwiddy Jatmiko. Op.Cit
[17] Lihat: Penjelasan Atas PERPU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota.
[18] Ibid
[19] H. Alwi wahyudi, Peran Strategis Birokrasi dalam Menentukan  Pelayanan Publik. Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011, hal 62.

0 komentar:

Posting Komentar