Selasa, 10 November 2015

Regulasi pangan dan permasalahannya



TINJAUAN SINGKAT REGULASI TENTANG PANGAN DAN PERMASALAHANNYA[1]
Oleh :Bayu Dwiwiddy Jatmiko
Email: bayu.dj15@yahoo.com
Pendahuluan
Krisis pangan dunia dan kasus Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman mendapat tanggapan yang negative dari organisasi-organisasi petani Indonesia. Rancangan Permentan ini dinilai merugikan petani dan menyebabkan krisis pangan dikarenakan apabila petani harus membeli bibit sedangkan pada saat panen raya harga gabah turun maka petani merugi dan akibatnya lahan pertanian akan banyak berkurang karena terjual. Organisasi petani menghendaki negara hendaknya lebih mengedepankan pada pembelaan hak-hak petani atas sumberdaya agraria, serta didukung industri dan perdagangan yang mendukung pertanian.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka beberapa organisasi petani  membentuk Koalisi Anti Diskriminasi terhadap Petani dan menyerukan penolakan atas Rancangan Permentan tersebut dengan mengeluarkan pernyataan sikapnya dibahwa ini. Koalisi ini terdiri dari IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), Bina Desa (Yayasan Bina Desa Sadajiwa), KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), SPI (Serikat Petani Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), Petani Center, MAI  (Masyarakat Agro Bisnis dan Agro Industri), Pemuda HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Masyarakat Mandiri, LP2NU (Lembaga Pemberdayaan Petanu Nahdlatul Ulama), Pemuda Muhamadiyah, Petani Mandiri (Persatuan Petani dan Nelayan Mandiri Indonesia), SMERU, API (Aliansi Petani Indonesia), ADS (Aliansi Desa Sejahtera).
Penolakan tersebut diwujudkan dalam bentuk Pernyataan Sikap Koalisi Anti Diskriminasi terhadap Petani (Sikap Tani) yaitu menyerukan Krisis pangan dunia dan masih banyaknya kasus kerawanan pangan[2]  serta kasus balita gizi buruk  Indonesia, seharusnya tidak malah menjadikan pangan sebagai komoditas dengan negara semakin memperluas kesempatan modal untuk mencari laba tertinggi dan akumulasi modal di pertanian pangan[3].
    Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman perlu ditinjau ulang. Sebab, menyerahkan usaha budidaya pangan sepenuhnya kepada swasta akan menimbulkan masalah serius dalam pengendalian pangan di kemudian hari. kewenangan pemberian izin pengelolaan lahan oleh bupati/wali kota seperti tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2). Hal ini akan memicu terjadinya jual beli surat izin. Sulit bagi Indonesia untuk berdaulat jika yang menguasai pangan rakyat adalah negara lain. Pasal 2 huruf (b) PP No 18/2010, yang menyatakan usaha budidaya pangan food estate untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, kurang tepat, perlu dipertimbangkan budaya lokal dan perlindungan aneka ragam varietas tanaman pertanian.


Konsepsi
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan negara sebagai negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda yaitu:
1.      Salah satu sasaran utama pembangunan,
2.      Salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi (Simatupang, 1999).
Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas ketahanan pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan (Khomsan, 2008).
Definisi Formal ketahanan pangan menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.      World Food Conference 1974, UN 1975 : Ketahanan Pangan adalah ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.
2.      FAO 1992 : Ketahanan Pangan adalah situasi di mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3.      World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah:  akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
Indonesia UU No.7/1996  Ketahanan Pangan adalah Kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli. (Lassa, 2005).
Kondisi ketiadaan akses terhadap komoditas pangan yang menyebabkan rawan pangan. Naik turunnya jumlah masyarakat yang tergolong rawan pangan biasanya mengikuti naik turunnya jumlah orang miskin di Indonesia. Masih banyaknya penduduk miskin yang rentan terhadap rawan pangan (diolah dari data BPS) yaitu tahun 2006 jumlah penduduk miskin mencapai 39,3 juta (17,75 %) dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 10,04 juta (4,52 %), sedangkan di tahun 2007 jumlah penduduk miskin 37,17 juta (16,58 %) dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 5,71 juta (2,55 %) (Anonymous, 2008).
Kondisi pangan lokal maupun nasional sedang terkena dampak perubahan iklim dan pemanasan global (global warming). Setelah terjadinya perubahan iklim dan global warming, kemandirian pangan pun menjadi isu global. Bahkan, petani di berbagai belahan dunia kini sedang menuntut adanya kemandirian pangan. Berbeda dengan konsep ketahanan pangan (food security), kini konsep kemandirian pangan (food sovereignty) lebih relevan untuk dikedepankan. Soalnya, paradigma kemandirian pangan bisa mengatasi berbagai kelemahan kebijakan ketahanan pangan yang selama ini lebih bersandar pada pemenuhan pangan secara modern melalui penerapan agrobisnis, perdagangan bebas dan privatisasi sumber-sumber produktif (Martaja, 2008).
Beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia antara lain :
1.      Menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Departemen Pertanian Tjuk Eko Haribasuki, Sebanyak 2,5 dari total penduduk Indonesia dalam kondisi rawan pangan. Artinya, ada sekitar 5 juta rakyat negara agraris ini yang makan kurang dari dua kali sehari (Anonymous, 2008).
2.      Daeng Basse (35 tahun), warga Makassar, meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya dan satu orang anaknya yang lain, Bahir (7 tahun) Jumat (29/2/2008) setelah tiga hari kelaparan (Sudarmawan, 2008).
3.      Sebanyak 17.835 balita di Kabupaten Ciamis diketahui masih kekurangan gizi. Rinciannya, ditemukan sebanyak 435 balita berstatus gizi buruk dan 17.400 balita lainnya gizi kurang. Sementara itu, balita berstatus gizi lebih mencapai 7.000 orang (Anonymous, 2008).
4.      Sebagai bagian dari perencanaan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian, tujuan dan sasaran pembangunan Badan Ketahanan Pangan tahun 2010 -2014 akan diwujudkan melalui kegiatan prioritas nasional dan bidang yaitu: (1) Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan; (2) Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan; (3) Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Peningkatan Keamanan Pangan segar; sedangkan kegiatan pendukungnya adalah Dukungan Manajemen dan Teknis lainnya termasuk Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID).
   Disadari bahwa untuk mencapai pembangunan ketahanan pangan tidaklah mudah, namun dengan tekad dan kerjasama lingkup Badan Ketahanan Pangan di Pusat dan Daerah, serta koordinasi dengan Eselon I lingkup Kementerian Pertanian dan instansi terkait, akan dapat tercapai tujuan dan sasaran pembangunan ketahanan pangan nasional.
   Implementasi Renstra Badan Ketahanan Pangan tahun 2010 – 2014  pada tahapan perencanaan pembangunan ketahanan 5pangan tahunan, masih dimungkinkan mengalami perbaikan dan penyempurnaan karena terjadinya perubahan kebijakan, permasalahan, dan hasil evaluasi dalam pelaksanaan program pembangunan ketahanan pangan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, Indonesia memiliki hirarkis hukum yang dijadikan pedoman dan rujukan dalam menyelesaikan kasus. Produk hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Surat Keputusan (SK) Menteri, dan bab ketentuan pidana atau sanksi. Yang dijadikan pijakan pertama adalah UU sebagai turunan pertama dari UUD, dimana kasus dapat ditindak bila sudah diterbitkan UU-nya. Kemudian Peraturan Pemerintah, yang merupakan petunjuk pelaksana dari UU, yaitu kasus dapat ditindak bila sudah ada PP. Dan SK Menteri yang merupakan pelengkap sebagai bahan pertimbangan dalam menangani kasus.
Beberapa regulasi dalam bidang pangan yang ada di In donesia, antara lain:
1.        Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman.
2.        UU RI No.7 Tahun.1996 tentang perlindungan pangan.
3.        Peraturan pemerintah republik indonesia nomor  No.44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman
4.        Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun 2010 tentang usaha budidaya tanaman.
5.        Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 68 tahun 2002 Tentang Ketahanan pangan
6.        Peraturan Menteri Pertanian Nomor  54/Permentan/Ot.140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice).
7.        Peraturan menteri pertanian  Nomor 52/permentan/ot.140/10/2006  Tentang Persyaratan tambahan karantina tumbuhan
8.        KepMentan No.803/Kpts/ OT.210/7/97 tentang sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina,
9.        Kep Mentan No.1017/Kpts/OT/TP.120/ 12/1998 tentang ijin produksi benih bina, ijin pemasukan benih dan pengeluaran benih bina
10.    Keputusan Menteri Pertanian Nomor 338.1 /Kpts /PD.620/9/2005.

Dalam perbenihan, regulasi yang berlaku meliputi UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 tahun 1992, PP tentang Perbenihan Tanaman No.44 tahun 1995, KepMentan No.803/Kpts/ OT.210/7/97 tentang sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina, Kep Mentan No.1017/Kpts/OT/TP.120/ 12/1998 tentang ijin produksi benih bina, ijin pemasukan benih dan pengeluaran benih bina
Krisis pangan yang terjadi pada tahun-tahun belakangan menggambarkan penurunan produktivitas hasil pertanian, selain dikarenakan tidak meratanya distribusi bahan pangan juga akibat penimbunan bahan pangan oleh swasta. Oleh karenannya negara memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan pembaruan agraria sejati yang menjamin akses dan kontrol petani atas sumber daya agraria, serta didukung industri dan perdagangan yang mendukung pertanian. Permasalahan pangan ini menguat sejak dilakukannya penyeragaman bahan makanan pokok masyarakat, masyarakat yang secara adat dan turun temurun sesungguhnya sudah memiliki makanan pokoknya seperti jagung, sagu, gaplek dan lain sebagainya diarahkan pada mngkonsumsi beras sebagai sumber bahan pangan pokok, pada era saat ini negara yang kuat adalah negara yang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, sehingga arti bahan makanan pokok bagi Indonesia sebagai negara agraris sangatlah penting .
Draft permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman, merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, dalam melaksanakan amanah dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Di dalam UU SBT, pada Pasal 3 disebutkan sistem budidaya tanaman bertujuan :
a)      Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;
b)      Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani;
c)      Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Ketentuan pada Pasal 3 tersebut diperkuatoleh Pasal 5 yang mengatur bahwasannya dalam melaksanakan ketentuan Pasal 3 pemerintah juga diwajibkan menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat.
Mengacu ketentuan Pasal 3 dan 5 UU Sistem Budidaya Tanaman Pembangunan pertanian akan melibatkan pihak pemerintah, badan usaha dan petani, oleh karena itu pembuatan aturan harus peraturan yang berpihak dan menguntungkan petani karena sangat tidak mungkin petani bersaing dengan badan usaha melainkan mendapat bantuan baik pendampingan, pembinaan dalam peningkatan hasil produksi dengan bibit yang baik. Maka idealnya Badan Usaha dapat berperan dalam pengembangan alsintan (alat mesin pertanian) dan saprotan (sarana produksi Pertanian)  yang dapat meningkatkan produktivitas petani yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Sedangkan petani diberi peran dalam pengelolaan lahan sebesar-besarnya yang didukung oleh teknologi dan permodalan sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal yang juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Dalam kenyataannya peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2010 dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memonopoli secara legal melalui HKI terhadap bibit tanaman khususnya padi, karena dengan sistem sertifikasi akan menyulitkan bagi petani Indonesia yang secara rata-rata berpendidikan rendah untuk melakukan sertifikasi, selain permasalahan biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan sertifikasi.
Pada kenyataan dilapangan ada budaya masyarakat yang melakukan pembenihan dengan menggunakan benih-benih terbaik hasil panennya untuk kemudian dijual atau ditukar (dengan pupuk atau sewa alat bajak sawah) kepada pemilik lahan disekitarnya, dengan tujuan agar dengan bibit yang sama baik maka akan mendapat hasil yang baik, karena penyerbukan dapat terjadi baik akibat angin, belalang, kupu-kupu atau secara alamiah lainnya.

Isu Nasional
  Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman perlu ditinjau ulang. Sebab, menyerahkan usaha budidaya pangan sepenuhnya kepada swasta akan menimbulkan masalah serius dalam pengendalian pangan di kemudian hari.
  Krisis pangan dunia dan kasus Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman mendapat tanggapan yang negative dari organisasi-organisasi petani Indonesia. Rancangan Permentan ini dinilai merugikan petani dan menyebabkan krisis pangan dikarenakan apabila petani harus membeli bibit sedangkan pada saat panen raya harga gabah turun maka petani merugi dan akibatnya lahan pertanian akan banyak berkurang karena terjual. Organisasi petani menghendaki negara hendaknya lebih mengedepankan pada pembelaan hak-hak .

Permasalahan
Dalam kenyataannya peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2010 dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memonopoli secara legal melalui HKI terhadap bibit tanaman khususnya padi, karena dengan sistem sertifikasi akan menyulitkan bagi petani Indonesia yang secara rata-rata berpendidikan rendah untuk melakukan sertifikasi, selain permasalahan biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan sertifikasi


Kepustakaan
Anonymous, konsep ketahanan pangan rumah tangga, 2008. http://www.damandiri.or.id/file /wahidipbtinjauan.pdf. (22 Maret 2008).

Lassa, Jonatan. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005. http://www.zef.de/ (22 Maret 2008).

Martaja, Urgensi Membangun Kemandirian Pangan, 2008.  http://www.suarakarya-online.com/news.htm (22 Maret 2008).


SAMPAH DAN ALTERNATIVE ENERGY BARU YANG TERBARUKAN[4]

Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum[5]. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Produksi sampah di Indonesia sebanyak 167 ribu ton/hari yang dihasilkan dari 220 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia atau produksi sampah 800 gram/hari/orang.  JENIS dan jumlah sampah kota di Indonesia sangat tipikal, didominasi oleh jenis sampah organik dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan dalam dua dekade ini komposisi tersebut masih akan berkisar pada persentase 60-75% sampah organik dengan timbunan sampah 0,50-0,67 kg / orang / hari dan kepadatan 200 kg/m3. ( Pusat  Data  Kementerian Komunikasi Dan Informatika 2009) [6].
Universitas Muhammadiyah Malang sejak tahun 2005 telah melakukan berbagai riset, kajian dan pelatihan berkenaan dengan penanganan dan pengelolaan sampah melalui Center for Energy Environment and Regional Development  (CEERD) Universitas Muhammadiyah Malang, melalui berbagai kerjasama baik Nasional maupun Internasional yang menghasilkan tekhnologi dan sumber daya manusia yang mampu untuk melakukan pengelolaan sampah khususnya untuk didaur ulang dan menjadi energy alternative, dalam pelaksanannya dilapang terkendala oleh belum siapnya kota dan kabupaten sebagai pengambil kebijakan (decision maker) yang menguasai asset dan infrastruktur sampah terhadap kebutuhan peraturan daerah berkenaan dengan penanganan sampah secara terpadu sehingga perlu dibuat legal framework pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah khususnya pengelolaan sampah terpadu yang menjanjikan bisnis sampah sebagai sumber energy baru terbarukan.
Dilihat dari aspek ekonomi, jumlah sampah di Indonesia mampu memproduksi gas metan sebanyak 8.800 ton/hari pada tahun tahun 2008. (Pusat Data Kementerian Komunikasi Dan Informatika 2009)[7]. Selain itu, berdasarkan data KLH pada tahun 2008, sampah yang diolah menjadi kompos dari produksi sampah tersebut hampir 5 persen atau 12.800 ton/hari, sehingga bila dikelola dengan baik akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan negara.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, pengelolaan sampah yang mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis serta mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup menjadi urgent[8] dan hal tersebut memerlukan Peraturan dalam pengelolaan yang komprehensif pengelolaan sampah terpadu dari hulu sampai hilir, baik yang dilakukan swakelola oleh Pemerintah maupun kerjasama dengan investor, agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan serta menghasilkan energy yang layak. Sehingga tujuan khusus dari kegiatan ini adalah merumuskan model pengelolaan sampah yang berbasis sumber energy baru terbarukan, yang pada dasarnya  merupakan analisis untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai regulasi yang ada, antara lain:
1.      Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup
2.      Undang-undang nomor 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan,,
3.      Undang –undang no 30 tahun 2007 tentang Energi
4.      Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,
5.      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
6.      Perpres no 05 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
7.      Perpres 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim
8.      Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, dan
9.      Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2010 tentang penjaminan infrastruktur dalam proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha yang dilakukan melalui badan usaha penjamin infrastruktur, dengan menemukan terlebih dahulu Model Pengelolaan Sampah terpadu yang berbasis sumber energy baru terbarukan
10.  Perpres no 07 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.

Saat ini sebagian besar tempat pengelolaan sampah terpadu di Indonesia masih bersifat terpisah-pisah untuk kepentingan masing-masing daerah hal ini sejalan dengan system otonomi daerah hal ini menjadikannya kurang menarik bagi infestor khususnya infestor asing karena sumber energy yang dihasilkan oleh sampah menjadi relative kecil.
Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kota dan kabupaten untuk melaksanakan pengelolaan sampah dengan baik dan benar seain kewenangan yang diberikan juga terdapat ancaman pidana untuk pengelola sampah agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat, pada kenyataannya baru beberapa pemerintah daerah yang mampu melaksanakan amanah undang-undang tersebut hal ini dikarenakan untuk melaksanakan UU no 18 tahun 2008 dibutuhkan infrastruktur yang cukup besar yang tidak sebanding dengan pendanaan infrastruktur melalui APBD yang rata-rata hanya mampu memenuhi 35% dari kebutuhan sehingga untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dapat dilakukan melalui sekema kerjasama pemerintah swasta (KPS), privatisasi, Coorporate Social Responsibility (CSR) serta partisipasi masyarakat baik investor nasional maupun internasional.
Pemerintah telah mempromosikan proyek infrastruktur dengan skema KPS selama 5 tahun terakhir namun dari data badan kebijakan fiskal Kementrian Keuangan hingga akhir tahun 2012 baru ada tiga proyek infrastruktur yang berjalan dengan skema KPS dikarenakan ada beberapa faktor penghambat, yang salah satunya adalah besaran sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan infrastruktur yang dibutuhkan sehingga dalam peraturan pemerintah kota dan kabupaten tentang sampah harus dapat memecahkan permasalahan tersebut, masalah yang lain adalah skema KPS yang dijalankan belum mampu memberikan jaminan keamanan baik terhadap asset maupun keberlanjutan kegiatan, serta kendala terhadap keberadaan jaminan pemerintah (government obligation) apabila merupakan kerjasama dengan lembaga asing, padahal jelas dalam ketentuan pemerintah bahwasannya asset pemerintah tidak dapat dijaminkan.
Secara Umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu Model Tempat Pengelolaan Sampah terpadu yang berbasis energy baru terbarukan, dengan demikian penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada berbagai pihak khususnya para pihak yang terlibat dalam tempat pengelolaan sampah terpadu sehingga dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pemerintah daerah dan propinsi dalam rangka pengelolaan sampah menjadi sumber energy baru terbarukan.
 Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian ini dilakukan dengan Reseach and Development, dengan tujuan (1) Mengeksplorasi Mekanisme Model Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu di Malang Raya. (2) mengeksplorasi sejauh mana interpretasi Model Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu dijalankan di Malang raya dengan melihat jumlah sampah dan kebutuhan sampah serta ketertarikan investor. (3) Menyusun draft Model Kebijakan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu yang berbasis energy baru terbarukan sehingga tercipta ketertarikan investor.

Konsepsi
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan , pendaur-ulangan , atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam . Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas , atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal , diantaranya tipe zat sampah , tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area
Dari data KLH 2007 menunjukkan, volume timbunan sampah di 194 kabupaten dan kota di Indonesia mencapai 666 juta liter atau setara 42 juta kilogram, dimana komposisi sampah plastik mencapai 14 persen atau enam juta ton, jika dilakukan perhitungan berdasarkan produksi sampah per orang yaitu 800 gram per hari dan dengan 220 juta jumlah penduduk maka diperkirakan jumlah timbunan sampah nasional bertambah 176 ribu ton per hari.
Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah selama ini baik pada tingkat keluarga hingga industri masih bersifat konvensional terbukti bahwa Indonesia memiliki sekitar 460 TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang masih menggunakan sistem open dumping, yaitu pembuangan sampah dengan cara ditimbun di tanah lapang terbuka,  cara seperti ini sudah tidak layak lagi diterapkan, dimana tanpa ada pemilahan sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir menjadi satu, baik sampah organik Contoh : Sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau sisa buah dll yang dapat mengalami pembusukan secara alami, sampah non organik Contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol, dll yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami., dan sampah berbahaya Contoh : Baterai, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas dll. Minimnya jumlah mobil pengangkut sampah yang dimiliki dinas kebersihan diikuti dengan gerobak dan keberadaan tempat sampah yang juga masih minim seringkali membuat masyarakat membuat alternatif pembuangan sampah yang antara lain dilakukan dengan pembakaran atau dilakukan dengan pembuangan sampah kesungai[9].
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia. Penimbunan ini biasanya dilakukan di tanah yg ditinggalkan , lubang bekas pertambangan , atau lubang lubang dalam. Sebuah situs penimbunan darat yg di desain dan di kelola dengan baik akan menjadi tempat penimbunan sampah yang hiegenis dan murah. Sedankan penimbunan darat yg tidak dirancang dan tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan berbagai masalah lingkungan , diantaranya angin berbau sampah , menarik berkumpulnya Hama , dan adanya genangan air sampah. Efek samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang juga sangat berbahaya. (di bandung kandungan gas methan ini meledak dan melongsorkan gunung sampah)
Karakter desain dari penimbunan darat yang modern diantaranya adalah metode pengumpulan air sampah menggunakan bahan tanah liat atau pelapis plastik.Sampah biasanya dipadatkan untuk menambah kepadatan dan kestabilannya , dan ditutup untuk tidak menarik hama (biasanya tikus). Banyak penimbunan samapah mempunyai sistem pengekstrasi gas yang terpasang untuk mengambil gas yang terjadi. Gas yang terkumpul akan dialirkan keluar dari tempat penimbunan dan dibakar di menara pemabakar atau dibakar di mesin berbahan bakar gas untuk membangkitkan listrik.
Sampah telah menjadi masalah klasik di dalam kehidupan manusia yang bermukim menetap. Selain menimbulkan bau tidak sedap, sampah pun berpotensi menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan kesehatan, pengelolaan yang dilakukan dengan sistem open dumping menjadikan masyarakat yang tinggal disekitar tempat pembuangan sampah menjadi tidak nyaman, keterlambatan pengambilan sampah pada tingkat keluarga juga menimbulkan permasalahan bagi masyarakat, dan jika sampah dibuang kesungai akan menimbulkan permasalahan yang lebih dalam berkenaan dengan banjir, dan pencemaran air sungai. Pemerintah melalui Undang-undang nomor 18 Tahun 2008 telah mengamanatkan pengelolaan sampah kepada pemerintah daerah namun pemerintah daerah masih belum dapat menjawab tantangan tersebut, kenyataan yang berlarut-larut inilah yang kemudian membangun budaya tidak peduli terhadap sampah, yang akhirnya rakyat dan pemerintahan kita tidak berdaya lagi menghadapi permasalahan sampahnya .
Pembuangan sampah yang tidak diurus  dengan baik, akan mengakibatkan masalah besar. Karena penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan terbuka akan mengakibatkan pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran air tanah. Demikian juga pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, pembuangan sampah ke sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya saluran air dan banjir[10].
Tiga isu yang sebagai konsekuensi kemajuan teknologi dan modernisasi adalah Pemanasan Global, Kelangkaan Bahan bakar, dan Pengelolaan Sampah. Polusi yang tidak terkendali menyebabkan energi matahari yang terperangkap di atmosfer bertambah sehingga menaikkan suhu bumi. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan iklim yang mengacaukan pola tanam dan menimbulkan banjir; mencairnya es di kutub menaikkan air laut sehingga menenggelamkan pantai dan pulau pulau; peningkatan kualitas dan kuantitas badai dan angin puting beliung sehingga menimbulkan kerusakan lebih besar dan parah serta sejumlah dampak lainnya.
Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali disebut sebagai daur ulang. Ada beberapa cara daur ulang , pertama adalah mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi atau mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar utnuk membangkitkan listik.
Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminum , kaleng baja makanan/minuman, Botol HDPE dan PET , botol kaca , kertas karton, koran, majalah, dan kardus. Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga bisa di daur ulang. Daur ulang dari produk yang komplek seperti komputer atau mobil lebih susah, karena harus bagian bagiannya harus diurai dan dikelompokan menurut jenis bahannya
Material sampah organik , seperti zat tanaman , sisa makanan atau kertas, bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya menajdi bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebakai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator. Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakukan panas yang berhubungan , dimana sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi produk berzat padat , gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif. Gasifikasi dan Gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara karbon monoksida dan hidrogen), Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan listrik dan uap.
Manfaat dari Pengelolaan tempat Pembuangan sampah terpadu :
1.      Penghematan sumber daya alam
2.      Penghematan energi
3.      Penghematan lahan TPA
4.      Lingkungan asri (bersih, sehat, nyaman)
Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism – CDM) merupakan salah satu mekanisme Protocol Kyoto yang diperbaharui di Bali lewat UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change), dan terakhir Konferensi Kopenhagen, dalam rangka menanggulangi pemanasan Global. Melalui CDM ini negara berkembang dapat melakukan program pengurangan emisi karbon sehingga memperoleh (Certified Emission Reduction - CER) yang bernilai moneter dan dapat diperdagangkan. Sebaliknya negara negara maju yang tergabung dalam Annex I country berkewajiban menyelenggarakan program dan pendanaan (Tim CEERD UMM, Artikel).
Pengurangan emisi karbon ke atmosfer menjadi cara baku Penanggulangan Pemanasan Global di negara berkembang sehingga mendapatkan subsidi dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (Certified Emission Reduction - CER) yang memiliki nilai moneter dan dapat diperjualbelikan dengan mengikuti prosedur  yang diatur dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism – CDM) yang merupakan salah satu mekanisme Protocol Kyoto dan diperbaharui di Bali lewat UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Pegurangan emisi karbon ini dapat dilakukan dengan pengurangan pembakaran bahan bakar fosil, penanaman tumbuhan, maupun melalui penangkapan gas metan untuk bahan bakar.
Menyadari bahwa Indonesia bagaimanapun juga mengalami dampak dari Pemanasan Global (Perubahan Iklim) dan terbukanya kesempatan bagi Indonesia untuk memperoleh kemanfaatan dari Perdagangan Karbon maka Pemerintah Indonesia menetapkan untuk berperan serta dalam menanggulagi Pemanasan Global, salah satunya melalui program manajemen sampah dengan diundangkanya Undang-undang nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ketentuan Pasal 9 Undang-undang nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mendelegasikan kewenangan pengelolaan sampah pada pemerintah daerah Kota dan Kabupaten, yang hingga saat ini Kota dan Kabupaten yang ada belum mampu mengatasi permasalahan sampah tersebut karena pada saat ini pemerintah daerah belum memiliki perda sampah yang komperhensif sesuai ketentuan dari Undang-undang pengelolaan sampah karena masih berfungsi memberikan pendapatan daerah melalui restribusi sehingga terkesan sampah tidak bermanfaat, sampah yang selama ini dianggap tidak bermanfaat dengan cara baru Undang-undang pengelolaan sampah akan memiliki nilai ekonomis baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah daerah apabila dikelola dengan baik dan secara komperhensif mulai dari pembentukan kesadaran masyarakat, hingga potensi usaha dan kerjasama melaui peraturan daerah.
Saat ini pemerintah daerah masih terkendala dengan belum adanya mekanisme penunjukan investor, untuk mengikuti mekanisme CDM, pendaftaran GRK telah berakhir pada tahun 2011 dan memang sebaiknya sebagai Negara berdaulat Indonesia tidak bergantung pada bantuan, Tempat pengelolaan sampah terpadu jika dikelola dengan konsep yang baik akan memberikan keuntungan, untuk dapat memberikan keuntungan yang menarik bagi investor maka ketersediaan sumber energy yang akan dikelola harus mencukupi,  sebagai contoh pada tahun 2011 perusahaan Korea Hanwa melakukan analisis terhadap ketersediaan gas methan pada TPA Supit Urang Malang dan hasilnya jika dikelola maka energy yang dihasilkan akan meningkat dari tahun pertama hingga tahun keempat dan tahun-tahun berikutnya akan terus menurun, dan kondisi tersebut menurut perhitungan Hanwa akan merugi jika dikelola untuk energy listrik.
Tempat pengelolaan sampah terpadu idealnya mampu lebih menghemat tempat, mampu menarik investor, menghasilkan energy yang besar, dan aman bagi lingkungan.

Isu Nasional

  Perlu dirumuskan kebijakan  tentang pengelolaan sampah yang berbasis sumber energy baru terbarukan.
  Perlu dilakukan analisis untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, Undang-undang nomor 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan, Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, dan Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2010 tentang penjaminan infrastruktur dalam proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha yang dilakukan melalui badan usaha penjamin infrastruktur.
  Perlu diwujudkan Model Pengelolaan Sampah terpadu yang berbasis sumber energy baru terbarukan

Permasalahan
  Saat ini sebagian besar tempat pengelolaan sampah terpadu di Indonesia masih bersifat terpisah-pisah.
  kurang menarik bagi infestor
  sumber energy yang dihasilkan oleh sampah menjadi relative kecil


Kepustakaan
Subeki, N, 2010, ” Optimalisasi Gas Landfill sebagai Suplai Pembakaran Di Laboratorium Flaring System Di TPA Supit Urang” Proceeding Seminar Nasional, UMM, Malang
Subeki, N dan Helmi, 2011”Mekanisme dan Penanganan Kebersihan Di Kota Malang” Bintek DPRD Kota Malang, Sarangan, Magetan
http ://www.depkominfo.go.id /berita /bipnewsroom/ produksi-sampah-indonesia-mampu-produksi-gas-metan-8800-tonhari/ , diakses tanggal 20 Pebruari 2009)







[1] Bayu Dwiwiddy Jatmiko dan Ratri Novita Erdianti, Analisis Kebijakan Budidaya Tanaman  dalam  Effektifitas Budidaya Tanaman Petani Tradisional, DP2M UMM, 2014.
[2] Menurut Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo.
[3] Dengan Draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, di mana PP ini adalah turunan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

[4] Bayu Dwiwiddy Jatmiko dan Sofyan Arief.  Model Kebijakan  Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan. DP2M UMM, 2013.
[5] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, perubahan ketiga, 10 november tahun 2001
[6] http ://www.depkominfo.go.id /berita /bipnewsroom/ produksi-sampah-indonesia-mampu-produksi-gas-metan-8800-tonhari/ , diakses tanggal 20 Pebruari 2009)
[7] Loc.cit.
[9] Subeki, N dan Helmi, 2011”Mekanisme dan Penanganan Kebersihan Di Kota Malang” Bintek DPRD Kota Malang, Sarangan, Magetan
[10] Loc.cit

0 komentar:

Posting Komentar