TINJAUAN
SINGKAT REGULASI TENTANG PANGAN DAN PERMASALAHANNYA[1]
Oleh :Bayu Dwiwiddy Jatmiko
Email: bayu.dj15@yahoo.com
Pendahuluan
Krisis
pangan dunia dan kasus Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman mendapat tanggapan yang
negative dari organisasi-organisasi petani Indonesia. Rancangan Permentan ini
dinilai merugikan petani dan menyebabkan krisis pangan dikarenakan apabila
petani harus membeli bibit sedangkan pada saat panen raya harga gabah turun
maka petani merugi dan akibatnya lahan pertanian akan banyak berkurang karena
terjual. Organisasi petani menghendaki negara hendaknya lebih mengedepankan
pada pembelaan hak-hak petani atas sumberdaya agraria, serta didukung industri
dan perdagangan yang mendukung pertanian.
Berangkat
dari permasalahan tersebut maka beberapa organisasi petani membentuk Koalisi Anti Diskriminasi terhadap
Petani dan menyerukan penolakan atas Rancangan Permentan tersebut dengan
mengeluarkan pernyataan sikapnya dibahwa ini. Koalisi ini terdiri dari IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social
Justice), Bina Desa (Yayasan Bina Desa Sadajiwa), KRKP (Koalisi Rakyat
untuk Kedaulatan Pangan), SPI (Serikat Petani Indonesia), KPA (Konsorsium
Pembaruan Agraria), Petani Center, MAI
(Masyarakat Agro Bisnis dan Agro Industri), Pemuda HKTI (Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia), Masyarakat Mandiri, LP2NU (Lembaga Pemberdayaan
Petanu Nahdlatul Ulama), Pemuda Muhamadiyah, Petani Mandiri (Persatuan Petani
dan Nelayan Mandiri Indonesia), SMERU, API (Aliansi Petani Indonesia), ADS (Aliansi
Desa Sejahtera).
Penolakan
tersebut diwujudkan dalam bentuk Pernyataan Sikap Koalisi Anti Diskriminasi
terhadap Petani (Sikap Tani) yaitu menyerukan Krisis pangan dunia dan masih
banyaknya kasus kerawanan pangan[2] serta kasus balita gizi buruk Indonesia, seharusnya tidak malah menjadikan
pangan sebagai komoditas dengan negara semakin memperluas kesempatan modal
untuk mencari laba tertinggi dan akumulasi modal di pertanian pangan[3].
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010
tentang Usaha Budidaya Tanaman perlu ditinjau ulang. Sebab, menyerahkan usaha
budidaya pangan sepenuhnya kepada swasta akan menimbulkan masalah serius dalam
pengendalian pangan di kemudian hari. kewenangan pemberian izin pengelolaan
lahan oleh bupati/wali kota seperti tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2). Hal ini
akan memicu terjadinya jual beli surat izin. Sulit bagi Indonesia untuk
berdaulat jika yang menguasai pangan rakyat adalah negara lain. Pasal 2 huruf
(b) PP No 18/2010, yang menyatakan usaha budidaya pangan food estate untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri, kurang tepat, perlu dipertimbangkan
budaya lokal dan perlindungan aneka ragam varietas tanaman pertanian.
Konsepsi
Ketahanan
pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan negara
sebagai negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda yaitu:
1.
Salah satu sasaran
utama pembangunan,
2.
Salah satu instrumen
utama pembangunan ekonomi (Simatupang, 1999).
Konsep
ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan
secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Ketahanan
pangan merupakan konsep yang multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan
dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara
ringkas ketahanan pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu
ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan (Khomsan, 2008).
Definisi
Formal ketahanan pangan menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.
World
Food Conference 1974, UN 1975 : Ketahanan Pangan
adalah ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga
keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.
2.
FAO
1992 : Ketahanan Pangan adalah situasi di
mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang
aman (safe) dan bergizi demi
kehidupan yang sehat dan aktif.
3.
World
Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua orang pada segala waktu atas
pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
Indonesia
UU No.7/1996 Ketahanan Pangan adalah Kondisi
di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur
dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan
atas keamanan (safety), distribusi
yang merata dan kemampuan membeli. (Lassa, 2005).
Kondisi
ketiadaan akses terhadap komoditas pangan yang menyebabkan rawan pangan. Naik
turunnya jumlah masyarakat yang tergolong rawan pangan biasanya mengikuti naik
turunnya jumlah orang miskin di Indonesia. Masih banyaknya penduduk miskin yang
rentan terhadap rawan pangan (diolah dari data BPS) yaitu tahun 2006 jumlah
penduduk miskin mencapai 39,3 juta (17,75 %) dan penduduk yang sangat rawan
pangan sekitar 10,04 juta (4,52 %), sedangkan di tahun 2007 jumlah penduduk
miskin 37,17 juta (16,58 %) dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 5,71
juta (2,55 %) (Anonymous, 2008).
Kondisi
pangan lokal maupun nasional sedang terkena dampak perubahan iklim dan
pemanasan global (global warming). Setelah terjadinya perubahan iklim dan
global warming, kemandirian pangan pun menjadi isu global. Bahkan, petani di
berbagai belahan dunia kini sedang menuntut adanya kemandirian pangan. Berbeda
dengan konsep ketahanan pangan (food security), kini konsep kemandirian pangan
(food sovereignty) lebih relevan untuk dikedepankan. Soalnya, paradigma
kemandirian pangan bisa mengatasi berbagai kelemahan kebijakan ketahanan pangan
yang selama ini lebih bersandar pada pemenuhan pangan secara modern melalui
penerapan agrobisnis, perdagangan bebas dan privatisasi sumber-sumber produktif
(Martaja, 2008).
Beberapa
contoh kasus yang terjadi di Indonesia antara lain :
1.
Menurut Kepala Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Departemen Pertanian Tjuk Eko Haribasuki,
Sebanyak 2,5 dari total penduduk Indonesia dalam kondisi rawan pangan. Artinya,
ada sekitar 5 juta rakyat negara agraris ini yang makan kurang dari dua kali
sehari (Anonymous, 2008).
2.
Daeng Basse (35 tahun),
warga Makassar, meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya dan satu orang
anaknya yang lain, Bahir (7 tahun) Jumat (29/2/2008) setelah tiga hari
kelaparan (Sudarmawan, 2008).
3.
Sebanyak 17.835 balita
di Kabupaten Ciamis diketahui masih kekurangan gizi. Rinciannya, ditemukan
sebanyak 435 balita berstatus gizi buruk dan 17.400 balita lainnya gizi kurang.
Sementara itu, balita berstatus gizi lebih mencapai 7.000 orang (Anonymous,
2008).
4.
Sebagai bagian dari
perencanaan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian, tujuan dan sasaran
pembangunan Badan Ketahanan Pangan tahun 2010 -2014 akan diwujudkan melalui
kegiatan prioritas nasional dan bidang yaitu: (1) Pengembangan Ketersediaan
Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan; (2) Pengembangan Sistem Distribusi dan
Stabilitas Harga Pangan; (3) Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan
Peningkatan Keamanan Pangan segar; sedangkan kegiatan pendukungnya adalah
Dukungan Manajemen dan Teknis lainnya termasuk Peningkatan Kesejahteraan Petani
Kecil (SOLID).
Disadari bahwa untuk mencapai pembangunan
ketahanan pangan tidaklah mudah, namun dengan tekad dan kerjasama lingkup Badan
Ketahanan Pangan di Pusat dan Daerah, serta koordinasi dengan Eselon I lingkup
Kementerian Pertanian dan instansi terkait, akan dapat tercapai tujuan dan
sasaran pembangunan ketahanan pangan nasional.
Implementasi Renstra Badan Ketahanan Pangan
tahun 2010 – 2014 pada tahapan
perencanaan pembangunan ketahanan 5pangan tahunan, masih dimungkinkan mengalami
perbaikan dan penyempurnaan karena terjadinya perubahan kebijakan,
permasalahan, dan hasil evaluasi dalam pelaksanaan program pembangunan
ketahanan pangan.
Sebagai
negara yang menjunjung tinggi hukum, Indonesia memiliki hirarkis hukum yang
dijadikan pedoman dan rujukan dalam menyelesaikan kasus. Produk hukum yang
dimaksud adalah Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU), Peraturan
Pemerintah (PP), Surat Keputusan (SK) Menteri, dan bab ketentuan pidana atau
sanksi. Yang dijadikan pijakan pertama adalah UU sebagai turunan pertama dari
UUD, dimana kasus dapat ditindak bila sudah diterbitkan UU-nya. Kemudian
Peraturan Pemerintah, yang merupakan petunjuk pelaksana dari UU, yaitu kasus
dapat ditindak bila sudah ada PP. Dan SK Menteri yang merupakan pelengkap
sebagai bahan pertimbangan dalam menangani kasus.
Beberapa
regulasi dalam bidang pangan yang ada di In donesia, antara lain:
1.
Undang Undang
No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman.
2.
UU RI No.7
Tahun.1996 tentang perlindungan pangan.
3.
Peraturan
pemerintah republik indonesia nomor No.44
tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman
4.
Peraturan
pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun 2010 tentang usaha budidaya
tanaman.
5.
Peraturan
pemerintah republik indonesia Nomor 68 tahun 2002 Tentang Ketahanan pangan
6.
Peraturan
Menteri Pertanian Nomor
54/Permentan/Ot.140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang
Baik (Good Breeding Practice).
7.
Peraturan
menteri pertanian Nomor 52/permentan/ot.140/10/2006 Tentang Persyaratan tambahan karantina
tumbuhan
8.
KepMentan No.803/Kpts/ OT.210/7/97
tentang sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina,
9.
Kep Mentan No.1017/Kpts/OT/TP.120/
12/1998 tentang ijin produksi benih bina, ijin pemasukan benih dan pengeluaran
benih bina
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 338.1 /Kpts
/PD.620/9/2005.
Dalam
perbenihan, regulasi yang berlaku meliputi UU Sistem Budidaya Tanaman No.12
tahun 1992, PP tentang Perbenihan Tanaman No.44 tahun 1995, KepMentan No.803/Kpts/
OT.210/7/97 tentang sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina, Kep Mentan
No.1017/Kpts/OT/TP.120/ 12/1998 tentang ijin produksi benih bina, ijin
pemasukan benih dan pengeluaran benih bina
Krisis
pangan yang terjadi pada tahun-tahun belakangan menggambarkan penurunan
produktivitas hasil pertanian, selain dikarenakan tidak meratanya distribusi
bahan pangan juga akibat penimbunan bahan pangan oleh swasta. Oleh karenannya
negara memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan pembaruan agraria sejati
yang menjamin akses dan kontrol petani atas sumber daya agraria, serta didukung
industri dan perdagangan yang mendukung pertanian. Permasalahan pangan ini
menguat sejak dilakukannya penyeragaman bahan makanan pokok masyarakat,
masyarakat yang secara adat dan turun temurun sesungguhnya sudah memiliki
makanan pokoknya seperti jagung, sagu, gaplek dan lain sebagainya diarahkan
pada mngkonsumsi beras sebagai sumber bahan pangan pokok, pada era saat ini
negara yang kuat adalah negara yang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri,
sehingga arti bahan makanan pokok bagi Indonesia sebagai negara agraris
sangatlah penting .
Draft
permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman, merupakan
aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha
Budidaya Tanaman, dalam melaksanakan amanah dari Undang-Undang No. 12 Tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Di dalam UU SBT, pada Pasal 3 disebutkan
sistem budidaya tanaman bertujuan :
a)
Meningkatkan dan
memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;
b)
Meningkatkan pendapatan
dan taraf hidup petani;
c)
Mendorong perluasan dan
pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Ketentuan
pada Pasal 3 tersebut diperkuatoleh Pasal 5 yang mengatur bahwasannya dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 3 pemerintah juga diwajibkan menciptakan kondisi
yang menunjang peran serta masyarakat.
Mengacu
ketentuan Pasal 3 dan 5 UU Sistem Budidaya Tanaman Pembangunan pertanian akan
melibatkan pihak pemerintah, badan usaha dan petani, oleh karena itu pembuatan
aturan harus peraturan yang berpihak dan menguntungkan petani karena sangat
tidak mungkin petani bersaing dengan badan usaha melainkan mendapat bantuan
baik pendampingan, pembinaan dalam peningkatan hasil produksi dengan bibit yang
baik. Maka idealnya Badan Usaha dapat berperan dalam pengembangan alsintan
(alat mesin pertanian) dan saprotan (sarana produksi Pertanian) yang dapat meningkatkan produktivitas petani
yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Sedangkan petani diberi
peran dalam pengelolaan lahan sebesar-besarnya yang didukung oleh teknologi dan
permodalan sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal yang juga untuk
meningkatkan kesejahteraan petani.
Dalam
kenyataannya peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2010 dimanfaatkan oleh
pengusaha untuk memonopoli secara legal melalui HKI terhadap bibit tanaman
khususnya padi, karena dengan sistem sertifikasi akan menyulitkan bagi petani
Indonesia yang secara rata-rata berpendidikan rendah untuk melakukan
sertifikasi, selain permasalahan biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan sertifikasi.
Pada
kenyataan dilapangan ada budaya masyarakat yang melakukan pembenihan dengan
menggunakan benih-benih terbaik hasil panennya untuk kemudian dijual atau
ditukar (dengan pupuk atau sewa alat bajak sawah) kepada pemilik lahan
disekitarnya, dengan tujuan agar dengan bibit yang sama baik maka akan mendapat
hasil yang baik, karena penyerbukan dapat terjadi baik akibat angin, belalang,
kupu-kupu atau secara alamiah lainnya.
Isu Nasional
Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman perlu ditinjau
ulang. Sebab, menyerahkan usaha budidaya pangan sepenuhnya kepada swasta akan menimbulkan
masalah serius dalam pengendalian pangan di kemudian hari.
Krisis
pangan dunia dan kasus Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman mendapat tanggapan yang
negative dari organisasi-organisasi petani Indonesia. Rancangan Permentan ini
dinilai merugikan petani dan menyebabkan krisis pangan dikarenakan apabila
petani harus membeli bibit sedangkan pada saat panen raya harga gabah turun
maka petani merugi dan akibatnya lahan pertanian akan banyak berkurang karena
terjual. Organisasi petani menghendaki negara hendaknya lebih mengedepankan
pada pembelaan hak-hak .
Permasalahan
Dalam
kenyataannya peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2010 dimanfaatkan oleh
pengusaha untuk memonopoli secara legal melalui HKI terhadap bibit tanaman
khususnya padi, karena dengan sistem sertifikasi akan menyulitkan bagi petani
Indonesia yang secara rata-rata berpendidikan rendah untuk melakukan
sertifikasi, selain permasalahan biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
sertifikasi
Kepustakaan
Anonymous, konsep ketahanan
pangan rumah tangga, 2008. http://www.damandiri.or.id/file
/wahidipbtinjauan.pdf. (22 Maret 2008).
Lassa, Jonatan. Politik Ketahanan
Pangan Indonesia 1950-2005. http://www.zef.de/ (22 Maret 2008).
Martaja, Urgensi Membangun
Kemandirian Pangan, 2008.
http://www.suarakarya-online.com/news.htm (22 Maret 2008).
SAMPAH DAN ALTERNATIVE
ENERGY BARU YANG TERBARUKAN[4]
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 menentukan secara tegas bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum[5]. Prinsip negara hukum menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut antara lain, bahwa lalu
lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam
masyarakat.
Sampah
merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Produksi sampah di
Indonesia sebanyak 167 ribu ton/hari yang dihasilkan dari 220 juta jiwa jumlah
penduduk Indonesia atau produksi sampah 800 gram/hari/orang. JENIS dan jumlah sampah kota di Indonesia
sangat tipikal, didominasi oleh jenis sampah organik dalam jumlah yang cukup
besar. Diperkirakan dalam dua dekade ini komposisi tersebut masih akan berkisar
pada persentase 60-75% sampah organik dengan timbunan sampah 0,50-0,67 kg / orang / hari dan kepadatan 200
kg/m3. ( Pusat Data Kementerian Komunikasi Dan Informatika 2009) [6].
Universitas Muhammadiyah Malang sejak tahun 2005 telah
melakukan berbagai riset, kajian dan pelatihan berkenaan dengan penanganan dan
pengelolaan sampah melalui Center for Energy
Environment and Regional Development
(CEERD) Universitas Muhammadiyah Malang, melalui berbagai kerjasama baik Nasional maupun Internasional yang
menghasilkan tekhnologi dan sumber daya manusia yang mampu untuk melakukan
pengelolaan sampah khususnya untuk didaur ulang dan menjadi energy alternative,
dalam pelaksanannya dilapang terkendala oleh belum siapnya kota dan kabupaten
sebagai pengambil kebijakan (decision maker) yang menguasai asset dan
infrastruktur sampah terhadap kebutuhan peraturan daerah berkenaan dengan penanganan
sampah secara terpadu sehingga perlu dibuat legal framework pemerintah
daerah dalam pengelolaan sampah khususnya pengelolaan
sampah terpadu yang menjanjikan bisnis
sampah sebagai sumber energy baru terbarukan.
Dilihat
dari aspek ekonomi, jumlah sampah di
Indonesia mampu memproduksi gas metan sebanyak
8.800 ton/hari pada tahun tahun 2008. (Pusat Data Kementerian Komunikasi Dan Informatika
2009)[7]. Selain itu,
berdasarkan data KLH pada tahun 2008, sampah yang diolah menjadi kompos dari
produksi sampah tersebut hampir 5 persen atau 12.800 ton/hari, sehingga bila
dikelola dengan baik akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan negara.
Sehubungan
dengan permasalahan tersebut, pengelolaan
sampah yang mengubah sampah menjadi material
yang memiliki nilai ekonomis serta mengolah sampah agar menjadi material
yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup
menjadi urgent[8]
dan hal tersebut
memerlukan Peraturan dalam pengelolaan yang komprehensif pengelolaan sampah
terpadu dari hulu sampai hilir, baik yang dilakukan swakelola oleh Pemerintah
maupun kerjasama dengan investor, agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat
bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan serta menghasilkan energy yang layak. Sehingga tujuan khusus dari kegiatan ini adalah
merumuskan model pengelolaan sampah yang berbasis
sumber energy baru terbarukan, yang pada
dasarnya merupakan analisis untuk melakukan evaluasi
terhadap berbagai regulasi yang ada, antara lain:
1.
Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
lingkungan hidup
2.
Undang-undang nomor 20 tahun 2002 tentang
ketenagalistrikan,,
3. Undang –undang no 30 tahun
2007 tentang Energi
4. Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
6. Perpres no 05 tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional
7.
Perpres 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim
8.
Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2010 tentang perubahan
atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan
badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, dan
9. Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2010 tentang penjaminan infrastruktur
dalam proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha yang dilakukan melalui
badan usaha penjamin infrastruktur, dengan menemukan terlebih dahulu Model
Pengelolaan Sampah terpadu yang
berbasis sumber energy baru terbarukan
10. Perpres no 07 tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Saat ini sebagian besar tempat pengelolaan sampah terpadu di Indonesia masih bersifat
terpisah-pisah untuk kepentingan masing-masing daerah hal ini sejalan dengan
system otonomi daerah hal ini menjadikannya kurang menarik bagi infestor
khususnya infestor asing karena sumber energy yang dihasilkan oleh sampah
menjadi relative kecil.
Undang-undang nomor 18 tahun 2008
tentang pengelolaan sampah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
kota dan kabupaten untuk melaksanakan pengelolaan sampah dengan baik dan benar
seain kewenangan yang diberikan juga terdapat ancaman pidana untuk pengelola
sampah agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat, pada kenyataannya baru beberapa pemerintah daerah yang
mampu melaksanakan amanah undang-undang tersebut hal ini dikarenakan untuk
melaksanakan UU no 18 tahun 2008 dibutuhkan infrastruktur yang cukup besar yang
tidak sebanding dengan pendanaan infrastruktur melalui APBD yang rata-rata
hanya mampu memenuhi 35% dari kebutuhan sehingga untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dapat
dilakukan melalui sekema kerjasama pemerintah swasta (KPS), privatisasi, Coorporate
Social Responsibility (CSR) serta partisipasi masyarakat baik investor
nasional maupun internasional.
Pemerintah telah mempromosikan
proyek infrastruktur dengan skema KPS selama 5 tahun terakhir namun dari data
badan kebijakan fiskal Kementrian Keuangan hingga akhir tahun 2012 baru ada tiga proyek infrastruktur yang berjalan dengan skema KPS dikarenakan ada
beberapa faktor penghambat, yang salah satunya adalah besaran sampah yang dihasilkan tidak sebanding
dengan infrastruktur yang dibutuhkan sehingga dalam peraturan pemerintah kota dan kabupaten
tentang sampah harus dapat memecahkan permasalahan tersebut, masalah yang lain adalah skema KPS yang dijalankan
belum mampu memberikan jaminan keamanan baik terhadap asset maupun
keberlanjutan kegiatan, serta kendala terhadap keberadaan jaminan pemerintah
(government obligation) apabila merupakan kerjasama dengan lembaga asing,
padahal jelas dalam ketentuan pemerintah bahwasannya asset pemerintah tidak
dapat dijaminkan.
Secara Umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan
suatu Model Tempat Pengelolaan Sampah terpadu
yang berbasis energy baru terbarukan, dengan
demikian penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada berbagai pihak
khususnya para pihak yang terlibat dalam tempat
pengelolaan sampah terpadu sehingga dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pemerintah
daerah dan propinsi dalam rangka pengelolaan sampah menjadi sumber energy baru
terbarukan.
Untuk mencapai
tujuan tersebut penelitian ini dilakukan dengan Reseach and Development,
dengan tujuan (1) Mengeksplorasi Mekanisme Model
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu di Malang Raya. (2) mengeksplorasi sejauh mana interpretasi Model
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu dijalankan di Malang raya dengan melihat
jumlah sampah dan kebutuhan sampah serta ketertarikan investor. (3) Menyusun draft Model
Kebijakan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu yang berbasis energy baru
terbarukan sehingga tercipta
ketertarikan investor.
Konsepsi
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan , pendaur-ulangan ,
atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada
material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola
untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan.
Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam .
Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas , atau radioaktif
dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan
sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga
antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda juga antara daerah
perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari
pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri
biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Metode pengelolaan
sampah berbeda beda tergantung banyak hal , diantaranya tipe zat sampah , tanah
yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area
Dari data KLH 2007 menunjukkan, volume timbunan sampah di 194 kabupaten
dan kota di Indonesia mencapai 666 juta liter atau setara 42 juta kilogram,
dimana komposisi sampah plastik mencapai 14 persen atau enam juta ton, jika dilakukan perhitungan berdasarkan produksi sampah
per orang yaitu 800 gram per hari dan dengan 220 juta jumlah penduduk maka
diperkirakan jumlah timbunan sampah nasional bertambah 176 ribu ton per hari.
Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah selama
ini baik pada tingkat keluarga hingga industri masih bersifat konvensional
terbukti bahwa Indonesia memiliki
sekitar 460 TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang masih menggunakan sistem open
dumping, yaitu pembuangan sampah dengan cara ditimbun di tanah lapang
terbuka, cara seperti ini sudah tidak
layak lagi diterapkan, dimana tanpa ada pemilahan sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir menjadi satu, baik sampah organik Contoh : Sampah
dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau sisa buah dll yang
dapat mengalami pembusukan secara alami, sampah non
organik Contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol,
dll yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami., dan sampah berbahaya Contoh : Baterai, botol racun nyamuk, jarum suntik
bekas dll. Minimnya jumlah mobil
pengangkut sampah yang dimiliki dinas kebersihan diikuti dengan gerobak dan
keberadaan tempat sampah yang juga masih minim seringkali membuat masyarakat
membuat alternatif pembuangan sampah yang antara lain dilakukan dengan
pembakaran atau dilakukan dengan pembuangan sampah kesungai[9].
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk
menguburnya untuk membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di
dunia. Penimbunan ini biasanya dilakukan di tanah yg ditinggalkan , lubang
bekas pertambangan , atau lubang lubang dalam. Sebuah situs penimbunan darat yg
di desain dan di kelola dengan baik akan menjadi tempat penimbunan sampah yang
hiegenis dan murah. Sedankan penimbunan darat yg tidak dirancang dan tidak
dikelola dengan baik akan menyebabkan berbagai masalah lingkungan , diantaranya
angin berbau sampah , menarik berkumpulnya Hama ,
dan adanya genangan air sampah. Efek samping lain dari sampah adalah gas methan
dan karbon dioksida yang juga sangat berbahaya. (di bandung kandungan gas methan
ini meledak dan melongsorkan gunung sampah)
Karakter desain dari penimbunan darat yang modern
diantaranya adalah metode pengumpulan air sampah menggunakan bahan tanah liat
atau pelapis plastik.Sampah biasanya dipadatkan untuk menambah kepadatan dan kestabilannya
, dan ditutup untuk tidak menarik hama (biasanya tikus). Banyak penimbunan
samapah mempunyai sistem pengekstrasi gas yang terpasang untuk mengambil gas
yang terjadi. Gas yang terkumpul akan dialirkan keluar dari tempat penimbunan
dan dibakar di menara pemabakar atau dibakar di mesin berbahan bakar gas untuk
membangkitkan listrik.
Sampah telah menjadi masalah klasik di dalam
kehidupan manusia yang bermukim menetap. Selain menimbulkan bau tidak sedap,
sampah pun berpotensi menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan kesehatan, pengelolaan yang dilakukan dengan sistem open
dumping menjadikan masyarakat yang tinggal disekitar tempat pembuangan
sampah menjadi tidak nyaman, keterlambatan pengambilan sampah pada tingkat
keluarga juga menimbulkan permasalahan bagi masyarakat, dan jika sampah dibuang
kesungai akan menimbulkan permasalahan yang lebih dalam berkenaan dengan
banjir, dan pencemaran air sungai. Pemerintah melalui Undang-undang nomor 18
Tahun 2008 telah mengamanatkan pengelolaan sampah kepada pemerintah daerah
namun pemerintah daerah masih belum dapat menjawab tantangan tersebut,
kenyataan yang berlarut-larut inilah yang kemudian membangun budaya tidak
peduli terhadap sampah, yang akhirnya rakyat dan pemerintahan kita tidak
berdaya lagi menghadapi permasalahan sampahnya .
Pembuangan sampah yang tidak
diurus dengan baik, akan mengakibatkan masalah besar. Karena penumpukan
sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan terbuka akan mengakibatkan
pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran air tanah. Demikian juga
pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, pembuangan sampah ke
sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya saluran air dan banjir[10].
Tiga isu yang sebagai konsekuensi kemajuan teknologi dan
modernisasi adalah Pemanasan Global, Kelangkaan Bahan bakar, dan Pengelolaan
Sampah. Polusi yang tidak terkendali menyebabkan energi matahari yang terperangkap
di atmosfer bertambah sehingga menaikkan suhu bumi. Dampak yang ditimbulkan
adalah terjadinya perubahan iklim yang mengacaukan pola tanam dan menimbulkan
banjir; mencairnya es di kutub menaikkan air laut sehingga menenggelamkan
pantai dan pulau pulau; peningkatan kualitas dan kuantitas badai dan angin
puting beliung sehingga menimbulkan kerusakan lebih besar dan parah serta
sejumlah dampak lainnya.
Proses pengambilan
barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali disebut
sebagai daur ulang. Ada
beberapa cara daur ulang , pertama adalah mengambil bahan sampahnya untuk
diproses lagi atau mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar utnuk
membangkitkan listik.
Sampah yang biasa
dikumpulkan adalah kaleng minum aluminum , kaleng baja
makanan/minuman, Botol HDPE dan PET , botol kaca , kertas karton, koran, majalah, dan kardus.
Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga bisa di daur
ulang. Daur ulang dari produk yang komplek seperti
komputer atau mobil lebih susah, karena harus bagian bagiannya harus diurai dan
dikelompokan menurut jenis bahannya
Material sampah organik , seperti zat tanaman , sisa
makanan atau kertas, bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk
kompos, atau dikenal dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk
dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa
diambil langsung dengan cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak
langsung dengan cara mengolahnya menajdi bahan bakar tipe lain. Daur-ulang
melalui cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya
sebakai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk
memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator.
Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakukan panas yang berhubungan ,
dimana sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen. Proses
ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah
menjadi produk berzat padat , gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar
untuk menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa
selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif. Gasifikasi dan
Gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi material
organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara karbon monoksida dan hidrogen), Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan listrik dan
uap.
Manfaat
dari Pengelolaan tempat Pembuangan sampah terpadu :
1.
Penghematan sumber
daya alam
2.
Penghematan energi
3.
Penghematan lahan
TPA
4.
Lingkungan asri
(bersih, sehat, nyaman)
Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism – CDM) merupakan salah satu mekanisme Protocol Kyoto yang
diperbaharui di Bali lewat UNFCCC (United Nation Framework Convention on
Climate Change), dan terakhir Konferensi Kopenhagen, dalam rangka menanggulangi pemanasan
Global. Melalui CDM ini negara berkembang dapat melakukan program pengurangan
emisi karbon sehingga memperoleh (Certified Emission Reduction - CER) yang
bernilai moneter dan dapat diperdagangkan. Sebaliknya negara negara maju yang
tergabung dalam Annex I country berkewajiban
menyelenggarakan program dan pendanaan (Tim CEERD UMM, Artikel).
Pengurangan emisi karbon ke atmosfer menjadi cara baku
Penanggulangan Pemanasan Global di negara berkembang sehingga mendapatkan
subsidi dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (Certified Emission Reduction - CER) yang memiliki nilai moneter dan
dapat diperjualbelikan dengan mengikuti prosedur yang diatur dalam Mekanisme Pembangunan
Bersih (Clean Development Mechanism – CDM) yang merupakan salah satu mekanisme Protocol Kyoto dan diperbaharui di Bali
lewat UNFCCC (United Nation Framework
Convention on Climate Change). Pegurangan emisi karbon ini dapat dilakukan
dengan pengurangan pembakaran bahan bakar fosil, penanaman tumbuhan, maupun
melalui penangkapan gas metan untuk bahan bakar.
Menyadari bahwa Indonesia bagaimanapun juga mengalami
dampak dari Pemanasan Global (Perubahan Iklim) dan terbukanya kesempatan bagi
Indonesia untuk memperoleh kemanfaatan dari Perdagangan Karbon maka Pemerintah Indonesia menetapkan untuk berperan serta dalam menanggulagi
Pemanasan Global, salah satunya melalui program manajemen sampah dengan diundangkanya Undang-undang nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah.
Ketentuan Pasal 9 Undang-undang nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah mendelegasikan kewenangan pengelolaan sampah pada
pemerintah daerah Kota dan Kabupaten, yang hingga saat ini Kota dan Kabupaten
yang ada belum mampu mengatasi permasalahan sampah tersebut karena pada saat
ini pemerintah daerah belum memiliki perda sampah yang komperhensif sesuai
ketentuan dari Undang-undang pengelolaan sampah karena masih berfungsi
memberikan pendapatan daerah melalui restribusi sehingga terkesan sampah tidak
bermanfaat, sampah yang selama ini dianggap tidak bermanfaat dengan cara baru
Undang-undang pengelolaan sampah akan memiliki nilai ekonomis baik bagi
masyarakat maupun bagi pemerintah daerah apabila dikelola dengan baik dan
secara komperhensif mulai dari pembentukan kesadaran masyarakat, hingga potensi usaha dan kerjasama melaui peraturan
daerah.
Saat ini pemerintah daerah masih terkendala dengan
belum adanya mekanisme penunjukan investor, untuk mengikuti mekanisme CDM,
pendaftaran GRK telah berakhir pada tahun 2011 dan memang sebaiknya sebagai
Negara berdaulat Indonesia tidak bergantung pada bantuan, Tempat pengelolaan
sampah terpadu jika dikelola dengan konsep yang baik akan memberikan
keuntungan, untuk dapat memberikan keuntungan yang menarik bagi investor maka
ketersediaan sumber energy yang akan dikelola harus mencukupi, sebagai contoh pada tahun 2011 perusahaan
Korea Hanwa melakukan analisis terhadap ketersediaan gas methan pada TPA Supit
Urang Malang dan hasilnya jika dikelola maka energy yang dihasilkan akan
meningkat dari tahun pertama hingga tahun keempat dan tahun-tahun berikutnya
akan terus menurun, dan kondisi tersebut menurut perhitungan Hanwa akan merugi
jika dikelola untuk energy listrik.
Tempat pengelolaan sampah terpadu idealnya mampu
lebih menghemat tempat, mampu menarik investor, menghasilkan energy yang besar,
dan aman bagi lingkungan.
Isu Nasional
Perlu dirumuskan
kebijakan tentang pengelolaan sampah yang berbasis
sumber energy baru terbarukan.
Perlu dilakukan analisis untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-undang nomor 18 tahun
2008 tentang pengelolaan sampah, Undang-undang nomor 20 tahun 2002 tentang
ketenagalistrikan, Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
lingkungan hidup, Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2010 tentang perubahan atas
Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan
badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, dan Peraturan Presiden nomor 78
tahun 2010 tentang penjaminan infrastruktur dalam proyek kerjasama pemerintah
dengan badan usaha yang dilakukan melalui badan usaha penjamin infrastruktur.
Perlu diwujudkan Model Pengelolaan Sampah terpadu yang berbasis sumber energy baru terbarukan
Permasalahan
Saat ini sebagian besar tempat pengelolaan sampah
terpadu
di Indonesia masih bersifat terpisah-pisah.
kurang menarik bagi infestor
sumber energy yang dihasilkan oleh sampah menjadi
relative kecil
Kepustakaan
Subeki, N, 2010, ” Optimalisasi Gas Landfill sebagai
Suplai Pembakaran Di Laboratorium Flaring System Di TPA Supit Urang” Proceeding
Seminar Nasional, UMM, Malang
Subeki, N dan Helmi, 2011”Mekanisme dan Penanganan
Kebersihan Di Kota Malang” Bintek DPRD Kota Malang, Sarangan, Magetan
http ://www.depkominfo.go.id /berita
/bipnewsroom/ produksi-sampah-indonesia-mampu-produksi-gas-metan-8800-tonhari/ ,
diakses tanggal 20 Pebruari 2009)
[1] Bayu Dwiwiddy Jatmiko dan Ratri Novita Erdianti,
Analisis Kebijakan Budidaya Tanaman dalam
Effektifitas Budidaya Tanaman Petani Tradisional, DP2M UMM, 2014.
[2] Menurut Ketua Badan
Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo
Husodo.
[3] Dengan Draft
Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman, yang merupakan
turunan dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman,
di mana PP ini adalah turunan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman
[4] Bayu Dwiwiddy Jatmiko dan Sofyan Arief. Model
Kebijakan Tempat Pengelolaan Sampah
Terpadu Sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan. DP2M UMM, 2013.
[6] http
://www.depkominfo.go.id /berita /bipnewsroom/
produksi-sampah-indonesia-mampu-produksi-gas-metan-8800-tonhari/ , diakses tanggal 20 Pebruari 2009)
[7] Loc.cit.
[9] Subeki, N dan Helmi, 2011”Mekanisme dan Penanganan
Kebersihan Di Kota Malang” Bintek DPRD Kota Malang, Sarangan, Magetan
[10] Loc.cit
0 komentar:
Posting Komentar