Selasa, 10 November 2015

Kebijakan legislatif tanah untuk pertanian




10 Nopember 2015
 “ANALISIS  TERHADAP KEBIJAKAN LEGISLATIF  PENGGUNAAN TANAH UNTUK PERTANIAN”[1]
Oleh : Bayu Dwiwiddy Jatmiko[2]
Email: bayu.dj15@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan bertitik tolak dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan  Pasal 1 ayat (2) Undang-undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memberi  wewenang kepada negara antara lain untuk  mengatur  dan  menyelenggarakan  peruntukan,  penggunaan,  persediaan  dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
Namun kebijakan pertanahan dan  pangan pemerintah Indonesia yang banyak memberikan kesempatan impor bahan pangan dari Luar Negeri menggambarkan adanya kecemasan atas  penurunan produktivitas hasil pertanian  Indonesia.  Oleh karenanya negara memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan pembaruan agraria sejati yang menjamin akses dan kontrol petani atas sumber daya agraria, termasuk kebijakan legislatif  peruntukan tanah untuk pertanian.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji kebijakan legislatif yang mengatur peruntukan tanah untuk pertanian. Dengan menggunakan bahan hukum  primer berupa berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang peruntukan tanah untuk pertanian. Dan tehnik pengumpulan bahan hukum melalui  penelusuran kepustakaan (library research) berupa manual library and digital library  serta analisa deskriptif (deskription anality method)  melalui pendekatan perundang-undangan (statuta approach).
Kata Kunci: Kebijakan legislatif, Tanah, Pertanian. 

 Abstract
This research was conducted with the starting point of the article 33 paragraph (3) of the Constitution of 1945 and Article 1 ( 2 ) of Law No. 5 of 1960 on Basic Regulation of Agrarian give authority to the state , among others, to organize and administer allotment , usage , inventory and memeliharaan earth , water and air space is. 
But the land policy and the Indonesian government food provides many opportunities imported foodstuffs from abroad describe their concerns over the decline in agricultural productivity Indonesia. Therefore the state has an obligation to pay more attention to genuine agrarian reform that ensures access and control over resources agrarian farmers, including legislative policy for agricultural land designation. 
This research was conducted with normative juridical approach to assess legislative policies governing the allotment of land for agriculture. By using primary legal materials in the form of various statutory provisions governing the allotment of land for agriculture. And technical collection of legal materials through literature searches (library research) in the form of manual library and digital library as well as a descriptive analysis (deskription anality method) through an approach legislation (statute approach).
Keywords: Legislative Policy, Land, Agriculture.

1.    PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan di atas kemudian ditindak lanjuti oleh  Pasal 2 ayat (2) Undang-undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang memberi  wewenang kepada negara untuk: “mengatur  dan  menyelenggarakan  peruntukan,  penggunaan,  persediaan  dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; menentukan  dan  mengatur  hubungan-hubungan  hukum  antara  orang-orang  dengan  bumi, air dan ruang angkasa; menentukan  dan  mengatur  hubungan-hubungan  hukum  antara  orang-orang  dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,[3]  bahwa hak atas tanah apapun yang  ada  pada  seseorang tidak boleh dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya.  Pemakaian (atau tidak dipakainya) tanah dengan cara merugikan atau menyebabkan dirugikannya masyarakat, tidak dapat dibenarkan. Tanah  harus  dipergunakan sesuai dengan keadaan dan sifat haknya.  Maka  penggunaan itu dapat bermanfaat, baik bagi pemiliknya maupun masyarakat dan Negara.[4]
Namun ternyata ada kebijakan legislatif berupa berbagai peraturan yang secara implisit maupun eksplisit mengatur kemungkinan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian hanya bersifat penafsiran dari ketentuan undang-undang. Ketentuan itu membuka peluang perubahan penggunaan tanah, termasuk perubahan penggunaan tanah lahan pertanian menjadi alih fungsi untuk lainnya.
 Realitasnya perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian berjalan sangat cepat dan dalam areal yang luas. Bahkan perubahan penggunaan tanah dilakukan  dengan dalih pengadaan tanah demi kepentingan umum. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.[5]     
Dari Uraian di atas terlihat adanya Pengaturan tentang hukum pertanahan yang malah mendorong terjadinya berbagai perubahan penggunaan tanah khususnya tanah persawahan, yang tidak lagi dijadikan sebagai lahan pertanian.
b.   Rumusan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk mendapat pemahaman yang tepat  tentang Kebijakan Legislatif Penggunaan Tanah Untuk Pertanian yang berlaku di Indonesia di Era  Reformasi sekarang ini, dengan rumusan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana  kebijakan legislatif merumuskan Penggunaan Tanah Untuk Pertanian?
2. Bagaimana pembaharuan kebijakan legislatif tentang alih fungsi penggunaan tanah pertanian untuk kepentingan umum perlu dilakukan?

2.    METODE PENELITIAN
a.    Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Pendekatan yuridis normative, terhadap  Sumber bahan hukum yang dijadikan sebagai sumber penelitian dalam penelitian ini adalah  bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dikumpulkan melalui penelusuran pustaka (library research) terhadap manual library melalui kajian buku-buku literatur dan digital library melalui browsing internet.  Kemudian dianalisa dengan menggunakan metode preskriptif anality untuk mendapatkan kesimpulan sehingga dapat ditemukan sebuah konsep yang sesuai dengan tujuan penelitian ini dilakukan.

3.    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Rumusan Penggunaan Tanah Untuk Pertanian
Pertanian merupakan suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat. Sedangkan pertanian dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan, peternakan dan perikanan. Semua itu merupakan hal yang penting. [6] kesemuanya diharapkan akan mendukung program ketersediaan pangan.
Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.[7]
Menurut Pasal 1 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2013 Tentang  Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bahwa Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan Komoditas Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem.
Secara garis besar pengertian pertanian dapat diringkas menjadi produksi, petani dan pengusaha, tanah tempat usaha dan usaha pertanian (farm busines). Pertanian yang baik ialah pertanian yang dapat memberikan produk jauh lebih baik daripada apabila tanaman, ternak atau ikan tersebut dibiarkan secara alami.[8] 
Tanah pertanian ialah semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berap luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah pertanian.[9]
Dari batasan tersebut jelas bahwa untuk dapat disebut sebagai pertanian perlu dipenuhi beberapa persyaratan:
a. adanya alam beserta isinya antara lain tanah sebagai tempat kegiatan, dan tumbuhan serta hewan sebagai obyek kegiatan.
b. adanya kegiatan manusia dalam menyempurnakan segala sesuatu yang telah diberikan oleh alam dan atau Yang Maha Kuasa untuk kepentingan/ kelangsungan hidup manusia melalui dua golongan yaitu tumbuhan/tanaman dan hewan/ternak serta ikan.
c. ada usaha manusia untuk mendapatkan produk/hasil ekonomis yang lebih besar daripada sebelum adanya kegiatan manusia.[10]
Sistem pembangunan yang berketanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan pertanian secara menyeluruh dan terpadu. Salah satu bagian dari pertanian adalah sistem budidaya tanaman  yang perlu dikembangkan sejalan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk mewujudkan pertanian maju, efisien, dan tangguh.
Sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.[11]
Sistem budidaya tanaman bertujuan:
a. meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;
b. meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c.mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.[12]
Ruang lingkup sistem budidaya tanaman meliputi proses kegiatan produksi sampai dengan pascapanen.[13] Karenanya diperlukan suatu perencanaan budidaya tanaman, yang dalam upaya pencapaian tujuannya,  pemerintah dengan memperhatikan kepentingan masyarakat perlu melakukan beberapa langkah sebagai berikut:
a. menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai dengan tahapan rencana pembangunan nasional;
b. menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman;
c. mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional;
d. menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat.[14]

b. Perubahan Rumusan “Penggunaan Tanah” Untuk Pertanian menjadi “Pengadaan Tanah”.
Fenomena perubahan penggunaan tanah pertanian ke penggunaan non pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan yang menempatkan sumber daya lahan sebagai faktor produksi. Karena faktor-faktor itu memiliki karakteristik tertentu, maka secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktivitas. [15]
Penggunaan tanah tidak hanya sebagai lahan pertanian saja tetapi juga untuk berbagai aktivitas tersebut mendorong terjadinya upaya penyesuaian kebijakan legislatif dalam merumuskan aktivutas  perbuatan yang terkait dengan masalah pertanahan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangan, yakni “penggunaan tanah” menjadi “pengadaan tanah”. Agar lebih dapat memudahkan pemahaman dan dalam penerapannya oleh aparat negara dan masyarakat.
Beberapa peraturan perundangan sebagai produk kebijakan legislatif yang kemudian ditengarai mengatur lebih lanjut tentang “penggunaan tanah” dalam konsep “pengadaan tanah”, sebagai wujud mendukung program pengadaan tanah untuk kepentingan umum, antara lain adalah sebagai berikut:
Tabel. 1
Bagan Perubahan Istilah “Pengadaan Tanah”[16]

NO
Peraturan
Dasar Hukum
Rumusan “pengadaan Tanah”
1
Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 1 angka 1
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut
2
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 1 angka 3
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
Pasal 1 angka 3
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Pasal 1 angka 2
Pengadaan tanah adalah kegiatan penyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Hal mana sebagai suatu upaya untuk mewadahi perbagai perbuatan yang mendorong perubaan peruntukan penggunaan lahan agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang menuntut agar hukum dalam hal ini adalah peraturan perundangan yang selama ini telah bertindak sebagai tool of social control yang mengatur  “penggunaan tanah”, segera dapat bertindak sebagai tool of social engginering yang juga mengatur “pengadaan tanah”.
Dalam kondisi inilah akan terjadi perubahan dalam penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang mempunyai land rent yang paling tinggi. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa persediaan lahan bersifat tetap sedangkan permintaannya terus tumbuh dengan cepat terutama di kawasan perkotaan. Pertumbuhan kebutuhan lahan ini didorong oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial - ekonomi yang menyertainya. Interaksi antara permintaan dan penawaran lahan ini akan menghasilkan pola penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang menguntungkan. Dalam konteks inilah fenomena perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian terjadi.[17]
Jelasnya perubahan aktivitas Penggunaan tanah dari semula untuk lahan pertanian menjadi pengadaan tanah untuk banyak hal dalam konteks kepentingan umum.

c. Alih Fungsi Penggunaan Tanah Pertanian Untuk Kepentingan Umum
Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”.  Kemudian ditegaskan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki.
Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Karenanya Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang.[18]
   Menteri  Pekerjaan Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam tahapan lima tahanan.
Adapun fasilitas/fungsi perkotaan, antara lain sebagai berikut :
a. Pusat perdagangan;
b. Pusat pelayanan jasa;
c. Tersedianya prasarana perkotaan;
d. Pusat penyediaan fasilitas sosial;
e. Pusat pemerintahan;
f. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi; dan
g. Lokasi pemukiman yang tertata.
Sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :
a. Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota;
b. Rencana pemanfaatan ruang kota;
c. Rencana struktur pelayanan kegiatan kota;
d. Rencana sistem transportasi;
e. Rencana sistem jaringan utilitas kota;
f. Rencana kepadatan bangunan;
g. Rencana ketinggian bangunan;
h. Rencana pemanfaatan air baku;
i.  Rencana penanganan lingkungan kota;
j.  Tahapan pelaksanaan bangunan; dan 
k. Indikasi unit pelayanan kota
Dari RUTRK diatas tidak secara gamblang penyebutkan adanya peruntukan tanah untuk pertanian. Padahal berkaitan dengan itu Yohanes G. Bulu menyatakan “Sampai hari ini pertanian masih merupakan kekuatan ekonomi bagi masyarakat pedesaan dan harapan hidup bagi masyarakat perkotaan”. [19]
Meskipun pembangunan pertanian masih menjadi prioritas dalam rangka menunjang perekonomian masyarakat, akan tetapi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian terus meningkat seiring dengan perkembangan dan kemajuan sistem pertanian itu sendiri. [20]
Yohanes G. Bulu mengutip pendapat Kaharuddin yang  mengatakan bahwa pengelolaan pertanian tidak lagi menjadi sederhana, melainkan terkait dengan sektor-sektor lain sebagai suatu sistem yang tidak mungkin terlepas satu sama lain. Masalah pembangunan pertanian tidak hanya merupakan beban para petani, melainkan secara tidak langsung sudah menjadi masalah yang terkait dengan segala aspek kehidupan masyarakat. [21]
Lebih lanjut Kaharuddin mengatakan bahwa permasalahan dalam pembangunan pertanian, yaitu;
(1) mengecilnya lahan pertanian dan fragmentasi tanah;
(2) sikap mental masyarakat masih merupakan penghambat dalam pembangunan;
(3) keterbatasan pengetahuan masyarakat;
(4) masalah sosial budaya belum sejalan dengan konsep perencanaan pembangunan; dan
(5) faktor ekonomi sebagai penghambat pembangunan. Fragmentasi lahan umumnya disebabkan oleh pewarisan.
Fenomena tersebut merupakan bukti nyata bahwa tekanan penduduk muncul ketika pertumbuhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian menekan penggunaan sumber daya lahan pertanian sehingga akan menimbulkan kemiskinan dan pengangguran. [22]
Sedangkan Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan negara sebagai negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda yaitu:
1.      Salah satu sasaran utama pembangunan,
2.      Salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi (Simatupang, 1999).
Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas ketahanan pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.[23]
Definisi Formal ketahanan pangan menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.      World Food Conference 1974, UN 1975 : Ketahanan Pangan adalah ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.
2.      FAO 1992 : Ketahanan Pangan adalah situasi di mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3.      World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah:  akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
Kondisi ketiadaan akses terhadap komoditas pangan yang menyebabkan rawan pangan. Naik turunnya jumlah masyarakat yang tergolong rawan pangan biasanya mengikuti naik turunnya jumlah orang miskin di Indonesia. Masih banyaknya penduduk miskin yang rentan terhadap rawan pangan (diolah dari data BPS) yaitu tahun 2006 jumlah penduduk miskin mencapai 39,3 juta (17,75 %) dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 10,04 juta (4,52 %), sedangkan di tahun 2007 jumlah penduduk miskin 37,17 juta (16,58 %) dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 5,71 juta (2,55 %).[24]
Kondisi pangan lokal maupun nasional sedang terkena dampak perubahan iklim dan pemanasan global (global warming). Setelah terjadinya perubahan iklim dan global warming, kemandirian pangan pun menjadi isu global. Bahkan, petani di berbagai belahan dunia kini sedang menuntut adanya kemandirian pangan. [25]
Berbeda dengan konsep ketahanan pangan (food security), kini konsep kedaulatan/ kemandirian pangan (food sovereignty) lebih relevan untuk dikedepankan. Soalnya, paradigma kemandirian pangan bisa mengatasi berbagai kelemahan kebijakan ketahanan pangan yang selama ini lebih bersandar pada pemenuhan pangan secara modern melalui penerapan agrobisnis, perdagangan bebas dan privatisasi sumber-sumber produktif.[26]
   Disadari bahwa untuk mencapai pembangunan ketahanan pangan tidaklah mudah, namun dengan tekad dan kerjasama lingkup Badan Ketahanan Pangan di Pusat dan Daerah, serta koordinasi dengan Eselon I lingkup Kementerian Pertanian dan instansi terkait, akan dapat tercapai tujuan dan sasaran pembangunan ketahanan pangan nasional.
   Implementasi Renstra Badan Ketahanan Pangan tahun 2010 – 2014  pada tahapan perencanaan pembangunan ketahanan pangan tahunan, masih dimungkinkan mengalami perbaikan dan penyempurnaan karena terjadinya perubahan kebijakan, permasalahan, dan hasil evaluasi dalam pelaksanaan program pembangunan ketahanan pangan.
Dalam kenyataan bahwa sebagian besar alih fungsi lahan pertanian adalah di­pergunakan untuk pemukiman, penyediaan industri, jalan raya maupun fasilitas umum lainnya. Dimana semua peruntukan dari usaha alih fungsi lahan tersebut disebabkan adanya pertumbuhan penduduk / natalitas, perkembangan dan pertumbuhan pemban­gunan ekonomi.[27]
Apabila hal ini terus saja berlangsung dampak serta resiko kerawanan pangan / kelangkaan pangan suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan lahan maupun upaya untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, namun melihat apa fenomena perkembangan dari alih fungsi tanah / konversi lahan pertanian yang sudah sedemikian cepat, menunjukkan bahwa pe­raturan tersebut kurang efektif.
Berbagai permasalahan tersebut merupakan Isu yang berkembang saat ini yang kemudian banyak dijadikan bahan kajian di bidang pertanahan. Isu yang berkai­tan erat dengan konversi / alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian. Alih fungsi tanah pertanian / konversi lahan pertanian sangat tidak menguntungkan khususnya di sektor pertanian, berkaitan dengan produk­tivitas hasil pertanian. Konversi/alih fungsi lahan pertanian mempunyai kecenderungan yang meningkat seiring dengan semakin tum­buh dan berkembangnya sektor perekonomi­an dan pertambahan penduduk.[28]
Pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku konversi, maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif pada umumnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, atau kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan yaitu pemilik menjual kepada pihak lain.[29]

d.   Kebijakan Legislatif Tentang Alih Fungsi Penggunaan Tanah Pertanian.
Menurut hukum Agraria, perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan proses yang harus diatur oleh hukum, artinya perubahan penggunaan tanah itu adalah suatu yang di perbolehkan sepanjang perubahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku .[30]
Dalam rangka  mengendalikan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian yang memungkinkan alih fungsi lahan, telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebagai suatu bentuk dari kebijakan legislatif di bidang pertanahan. Berbagai Peraturan tersebut  antara lain :








Tabel 2.
Inventarisasi peraturan perundangan  terkait  alih fungsi tanah pertanian yang bersifat Nasional  [31]

No.
Peraturan/ Perundangan
Garis besar isi, khususnya yg terkait dengan alih guna lahan pertanian
1
Undang-undang No. 5 tahun 1960
Undang-undang Pokok Agraria
2
Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 yang merupakan u n d a n g - u n d a n g landreform di Indonesia. Dalam Undang-undang ini terdapat tiga soal yang diaturnya, yaitu (Budi Harsono, 197: 335)
a. penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
b. penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;
c. soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Meski dalam pasal 17 mengatur dan menunjuk pada semua macam tanah, namun dalam Undang-undang No. 56 tersebut baru mengatur soal tanah pertanian saja. Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur tersendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah.
3
Undang-undang no. 51 Prp.tahun 1960
Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya
4
UU No. 24 / 1992
Penyusunan RTRW harus mempertimbangkan budidaya Pangan / SIT
Perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah dan terpusat.
5
Undang-undang No. 23 tahun 1997
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
6
Undang-undang No. 26 tahun 2007
Penataan Ruang ( perubahan atas Undang-Undang No 24 tahun 1993 Tentang Penataan Ruang)
7
Undang-undang No. 16 tahun 2007
Penatagunaan Tanah (LN. tahun 2004 No. 45)

UU No. 1 Tahun 2009
Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan

PP No. 16 Tahun 2004
Penatagunaan Tanah
8
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974
Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Persawahan
9
Keppres No. 53 / 1989
Pembangunan kawasan industri, tidak boleh konversi SIT / Tanah Pertanian Subur:
Pembangunan kawasan industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya.
10
Keppres No. 33/1990
Pelarangan Pemberian Ijin Perubahan Fungsi Lahan Basah dan Pengairan Beririgasi Bagi Pembangunan Kawasan Industri:
Pemberian ijin pembebasan tanah untuk industri dilakukan dengan pertimbangan tidak akan mengurangi areal tanah pertanian dan tidak boleh di kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah berupa sawah dengan pengairan irigasi serta lahan yang dicadangkan untuk usaha tani irigasi.
11
Peraturan KBPN No. 2/1993
Tata cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal
No.
Peraturan/ Perundangan
Garis besar isi, khususnya yg terkait dengan alih guna lahan pertanian
12
SE Menteri Dalam Negeri No. 590/ 11108/Sj tanggal 29 Oktober 1984
Perubahan Tanah Pertanian ke Non Pertanian
13
SE MNA / KBPN 410- 1851/1994
Pencegahan Penggunaan Tanah sawah Beririgasi Tekhnis untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan RTR:
Dalam menyusun RTRW Dati I dan Dati II, agar tidak memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis guna penggunaan non pertanian, kecuali terpaksa atas pertimbangan tertentu dengan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
14
SEMN/KBPN 410- 2261/1994
Ijin Lokasi Tidak Boleh Mengkonversi Sawah Irigasi Teknis (SIT)
15
S E / K B A P P E N A S 5334/MK/9/1994
Pelarangan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Untuk Non Pertanian
16
SE MNA/KBPN5335/ MK/1994
Penyusunan RTRW Dati II Melarang Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non Pertanian:
BKTRN pada prinsipnya tidak mengijinkan perubahan penggunaan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan diluar pertanian, dan kesepakatan tersebut telah dilaporkan kepada Presiden. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di beberapa Daerah Tingkat II perlu disempurnakan, karena di dalamnya tercantum rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian.
17
SEMNA/KBPN5417/ MK/10/1994
Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi Pembangunan Perumahan:
Pada prinsipnya perubahan penggunaan tanah pertanian/sawah beririgasi teknis untuk keperluan selain pertanian tidak diijinkan. Untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan, pembangunan perumahan baru diarahkan ke lahan yang telah mempunyai ijin lokasi dan ke lokasi di luar lahan beririgasi teknis.
18
SE MENDAGRI
474/4263/SJ/1994
Mempertahankan sawah Beririgasi Teknis untuk mendukung Swasembada Pangan
19
SE MNA/KBPN 460- 3364
Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian
20
SE MNA/KBPN No. 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994
Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgrasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian
21
SE MNA/KBPN 460- 1594/1996
Mencegah Konversi Tanah Sawah dan Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering:
Perubahan sawah irigasi teknis ke tanah kering dalam sepuluh tahun teralhir diperkirakan lebih dari 500.000 Ha, melalui cara menutup saluran irigasi.
Untuk hal tersebut di atas kepada Gubernur / Bupati / Walikota untuk memberikan petunjuk:
a. Tidak menutup saluran irigasi
b. Tidak mengeringkan sawah irigasi menjadi tanah kering
c. Tidak menimbun sawah untuk membangun
d. Banyak sawah irigasi yang sudah menjadi tanah kering, untuk mengembalikan lagi seperti semula
e. Gubernur dapat memberikan petunjuk pada Walikota agar meninjau kembali dan merevisi RTRW Dati II




























Berdasarkan data dalam tabel di atas,  men­genai peraturan perundangan yang mengatur mengenai alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sesuai dengan tata urutan peraturan perundangan. Diawali  dari adanya peraturan pokok dari produk peraturan yang mengatur mengenai tanah pertanian sebagai bagian dari sumber daya agraria yaitu Undang-undang Pokok Ag­raria No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan nama UUPA. Kemudian terdapat peraturan teknis pertama yang mengatur mengenai pembatasan alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 yang juga merupakan undang-undang landreform di Indonesia. [32]
Menurut Budi Harsono,  Undang-undang landreform ini setidaknya mengatur mengenai tiga hal, yaitu:
1.    penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
2.    penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;
3.    pengemba­lian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. [33]
Meski dalam pasal 17 men­gatur dan menunjuk pada semua macam ta­nah, namun dalam Undang-undang No. 56 tersebut baru mengatur soal tanah pertanian saja. Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur tersendiri dengan suatu Peraturan Pe­merintah. [34]
Menurut Suhadi dan Rofi Wahanisa “Dengan adanya UU No. 56 Prp 1960 tersebut, setidaknya telah ada itikad baik pe­merintah untuk berperan aktif melakukan upaya pencegahan peralihan fungsi tanah pertanian ke non pertanian. Meski dalam UU No. 56 Prp 1960 tersebut mengatur men­genai tanah pertanian saja, namun dengan adanya amanat dalam peraturan perundan­gan untuk melakukan pengaturan yang lebih rinci dalam suatu peraturan pemerintah. Se­hingga apabila dilihat dari tata jenjang pera­turan perundang-undangan, peraturan yang mengatur mengenai alih fungsi tanah perta­nian telah sesuai dengan tata urutan perun­dang-undangan, dimana telah terdapat pera­turan puncak / peraturan pokok yang berupa undang-undang, kemudian sebagai pelaksa­naannya diatur dalam Peraturan Penerintah, maupu berupa Keppres, tergantung dengan kebutuhan, sifat dan kekuatan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan ter­sebut. Sebagai peraturan yang bersifat tek­nis, dan prosedur, pengaturannya dilakukan dengan berupa surat edaran maupun berupa Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional. “[35]
Sehingga jika dilihat dari tata jenjang­nya saja sepertinya tidak terdapat masalah, yaitu diatur dalam peraturan pokok sampai dengan tingkat yang paling rendah, namun jika dilihat dari kesinkronan isi dari masing-masing peraturan tersebut, sangat disayang­kan karena ketiadaan sinkronisasi tersebut. Dalam peraturan pokok yang yang diatur dengan undang-undang, dimana dalam pasal-pasal dari uundang-undang tersebut diamanatkan untuk pengaturan yang lebih lanjut dalam peraturan perundangan yang berupa PP, Keppres, maupun Surat Edaran, namun dalam kenyataannya hal tersebut ti­dak dilakukan. Sehingga terkesan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pera­lihan tahan / lahan pertanian ke non pertani­an tersebut ‘lepas’ antara peraturan yang satu dengan peraturan sejenis yang lain. [36]
Era otonomi daerah, adanya pemisa­han pengaturan dalam urusan antara peme­rintah kabupaten dan pemerintah propinsi. Hal ini juga mempengaruhi pengaturan pe­raturan perundangan dalam kegiatan alih fungsi tanah / lahan pertanian. Hal ini ber­hubungan dengan kebijakan dari masing-masing daerah dalam upayanya melakukan pengaturan mengenai pengendalian perali­han tanah / lahan pertanian ke non pertani­an. Sehingga dalam pelaksanaannya ditemu­kan adanya peraturan perundangannyayang berupa Surat Edaran Gubernur. Hal ini didas­ari bahwa upaya pengendalian / pembatasan peralihan tanah / lahan pertanian ke non per­tanian tidak hanya peran dan tugas dari satu instansi saja namun, upaya pengendalian / pembatasan serta pemberian ijin yang san­gat berkaitan dengan peralihan pemanfaatn tanah / lahan pertanian ke non pertanian di daerah dilakukan lintas instansi. Dalam ke­nyataan di lapangan untuk pemberian atau penolakan suatu ijin peralihan pemanfaatan tanah / lahan pertanian keputusannya adalah dilakukan antara intansi BPN / Kantor Perta­nahan, pemerintah Kabupaten / Kota (Bap­peda), Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Tata Kota. [37]
Untuk tanah pertanian yang terletak di desa, peruntukan tanah tersebut dapat diubah melalui RTRW menjadi tanah non pertanian dengan kondisi apabila ada investor yang bersedia mengembangkan tanahnya. Sebagai contoh tanah non pertanian diubah peruntukkannya menurut RTRW dapat dijadikan pemukiman. Peruntukkan tersebut tidak langsung berubah, tanah tersebut masih dapat dipergunakan untuk pertanian sampai ada investor/pengembang yang bermaksud menggunakan tanah tersebut sesuai RTRW yang ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut.
Penataan Ruang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, bahwa penataan ruang bertujuan untuk dapat[38]:
a. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budi daya;
c. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
1) Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera;
2) Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan suber daya manusia;
3) Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
4) Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Masyarakat berhak menikmati manfaat ruang tersebut termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang dan berhak pula untuk:
a.       Mengetahui rencana tata ruang;
b.      Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c.       Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.[39]
Selain mempunyai hak tersebut di atas, masyarakat berkewajiban pula untuk berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.[40]
Realitasnya perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian berjalan sangat cepat dan dalam areal yang luas. Cepat dan luasnya perubahan pemanfaatan tanah pertanian ke non pertanian ini menurut Nasution dan Rustandi disebabkan karena :
1. Besarnya tingkat urbanisasi akibat lambannya proses pembangunan di wilayah pedesaan;
2. Meningkatnya jumlah anggota kelompok golongan pendapatan golongan menengah dan atas di wilayah perkotaan, peningkatan tersebut mengakibatkan bertambah besarnya permintaan  terhadap sarana pemukiman;
3. terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sektor industri, yang pada gilirannya akan “mendepak” kegiatan pertanian dari lahan sawah.[41]

4.    KESIMPULAN DAN SARAN
a.    Kesimpulan
1)   kebijakan legislatif sangat mempengaruhi perubahan Penggunaan Tanah sehingga cenderung merubah peruntukan tanah dari lahan Pertanian ke non pertanian.
2)   pembaharuan kebijakan legislatif tentang alih fungsi penggunaan tanah pertanian untuk kepentingan umum perlu segera dilakukan revisi agar tidak semakin banyak terjadi perubahan peruntukan tanah pertanian dengan dalih kepentingan umum

b.   Saran-Saran
1)   Diperlukan kejelasan arah kebijakan legislatif yang sesuai dengan politik pembinaan hukum nasional yang mendukung program kedaulatan/ kemandirian pangan di Indonesia.
2)   Harus Dibuat penyeragaman peraturan pelaksanaan yang memudahkan dalam penerapannya oleh aparat di lapangan, sehingga tidak terkesan semarawut
3)   Kebijakan legislatif hendaknya tidak semakin mengurangi fungsi lahan sehingga lahan pertanian semakin sempit.

.






DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, konsep ketahanan pangan rumah tangga, 2008. http://www.damandiri.or.id. (22 Maret 2008).
Bagir manan, pertumbuhan dan perkembangan konstitusi suatu Negara, 1995 masdar maju, bandung.
Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, 2007,  Metodologi Peneltitian, Bumi aksara,  Jakarta
Hestu cipto handoyo, prinsip-prinsip legal drafting dan desain naskah akademik, 2008, universitas atma jaya, yokyakarta.
http://indoprogress.blogspot.com (22 Maret 2008).
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 338.1 /Kpts /PD.620/9/2005
Lassa, Jonatan. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005. http://www.zef.de/ (22 Maret 2008).
Martaja, Urgensi Membangun Kemandirian Pangan, 2008.  http://www.suarakarya-online.com/news.htm (22 Maret 2008).
Peraturan menteri pertanian  Nomor 52/permentan/ot.140/10/2006  Tentang Persyaratan tambahan karantina tumbuhan Undang-undang republik indonesia Nomor 12 tahun 1992 Tentang Sistem budidaya tanaman.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor  54/Permentan/Ot.140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice).
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun 2010 tentang usaha budidaya tanaman.
Peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 68 tahun 2002 Tentang Ketahanan pangan
Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang,Sistem Budidaya Tanaman.
Undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman.
Undang-undang republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
UU RI No.7 Tahun.1996 tentang perlindungan pangan.



[1]Bayu Dwiwiddy jatmiko. Naskah Publikasi Penelitian “Analisis  Terhadap Kebijakan Legislatif  Penggunaan Tanah Untuk Pertanian”. DP2M UMM, Tahun anggaran 2014/ 2015.

[2] Dosen Fakultas Hukum universitas Muhammadiyah Malang, Jl. Raya Tlogomas No. 246  Telp. (0341) 464318.

[3] Pasal 6 Undang-undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
[4] Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetijarto, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria  (1960) dan Peraturan-peraturan Pelaksanannya (1996), Cet. 10 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 19.
[5] Lihat Pasal 1 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
[6] Rosianita Dewi AS. Kajian Yuridis Pelaksanaan Izin Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Di Kabupaten Madiun. FH UNS, 2011. Hal 38.
[7] Lihat konsideran “Menimbang” dari UU 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
[8] Ibid
[9] Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria Tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/ 1/ 12
[10] Elisa. Op.Cit.
[11] Lihat pasal 1 ayat (1) UU 12 tahun 1992 Tentang Sistem budidaya tanaman
[12] Lihat pasal 3 UU 12 tahun 1992 Tentang Sistem budidaya tanaman

[13] Lihat pasal 4 UU 12 tahun 1992 Tentang Sistem budidaya tanaman
[14] Lihat pasal 5 UU 12 tahun 1992 Tentang Sistem budidaya tanaman
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Suryani. Op.Cit.
[18] Mulyadi, Konsep Dasar Hukum Tata Ruang, http://trindonesia.blogspot.com. Accaes 2 September 2014.
[19] Yohanes G. Bulu, Pembangunan Pertanian, Strategi Dan Permasalahannya. http:// magammar. blogspot.com. Acces 12 Agustus 2014.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Khomsan, Ali. 2008. Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani. Retreived March 23, 2008. from http://www.unisosdem.org/
[24] Anonymous. 2008. Ketahanan Pangan dan Kemajuan Bangsa. Retreived March 22, 2008 from http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel_
[25] Martaja. 2008. Urgensi Membangun Kemandirian Pangan. Rtreived March 22,     2008 from http://www.suarakarya-online.com/news.htm.
[26] Ibid
[27]  Suhadi dan Rofi Wahanisa . Tinjauan Yuridis Normatif Berbagai Peraturan  Tentang Alih Fungsi Tanah Pertanian di Indonesia. journal.unnes.ac.id. Volume 6. Nomor 1. Januari 2011
[28] Ibid
[29] Rosianita. Op.Cit
[30] Suryani . Implikasi perubahan penggunaan tanah Pertanian ke non pertanian Di kabupaten batang. Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007. Hal 15.
[31] Suhadi dan Rofi Wahanisa, Op.Cit.
[32] Ibid
[33] Harsono, B. 1997. Hukum Agraria Indonesia.- Se­jarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta. Hal 335
[34] Suhadi dan Rofi Wahanisa, Op.Cit.

[35] Ibid
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Indonesia. Op.Cit
[39] Ibid, Pasal 4.
[40] Ibid, Pasal 5.
[41] Nasution dan Rustandi dalam Maria Sumarjono,  Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1983-1987, Makalah Seminar di Fakultas Hukum UNISRI Solo, tanggal 27 Januari 1992.

0 komentar:

Posting Komentar