10 Nopember
2015
“ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN LEGISLATIF
PENGGUNAAN TANAH UNTUK PERTANIAN”[1]
Oleh : Bayu Dwiwiddy Jatmiko[2]
Email: bayu.dj15@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan bertitik tolak dari pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memberi wewenang
kepada negara antara lain untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
Namun kebijakan pertanahan dan pangan
pemerintah Indonesia yang banyak memberikan kesempatan impor bahan pangan dari
Luar Negeri menggambarkan adanya kecemasan atas penurunan produktivitas
hasil pertanian Indonesia. Oleh karenanya negara memiliki kewajiban
untuk lebih memperhatikan pembaruan agraria sejati yang menjamin akses dan
kontrol petani atas sumber daya agraria, termasuk kebijakan legislatif
peruntukan tanah untuk pertanian.
Penelitian
ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji kebijakan
legislatif yang mengatur peruntukan tanah untuk pertanian. Dengan menggunakan
bahan hukum primer berupa berbagai ketentuan perundang-undangan yang
mengatur tentang peruntukan tanah untuk pertanian. Dan tehnik pengumpulan bahan
hukum melalui penelusuran kepustakaan (library research) berupa manual
library and digital library serta analisa deskriptif (deskription
anality method) melalui pendekatan perundang-undangan (statuta
approach).
Kata Kunci: Kebijakan legislatif, Tanah,
Pertanian.
Abstract
This research was conducted with the starting point of
the article 33 paragraph (3) of the Constitution of 1945 and Article 1 ( 2 ) of
Law No. 5 of 1960 on Basic Regulation of Agrarian give authority to the state ,
among others, to organize and administer allotment , usage , inventory and
memeliharaan earth , water and air space is.
But the land policy and the Indonesian government food
provides many opportunities imported foodstuffs from abroad describe their
concerns over the decline in agricultural productivity Indonesia. Therefore the
state has an obligation to pay more attention to genuine agrarian reform that
ensures access and control over resources agrarian farmers, including
legislative policy for agricultural land designation.
This research was conducted with normative juridical
approach to assess legislative policies governing the allotment of land for
agriculture. By using primary legal materials in the form of various statutory
provisions governing the allotment of land for agriculture. And technical
collection of legal materials through literature searches (library research) in
the form of manual library and digital library as well as a descriptive
analysis (deskription anality method) through an approach legislation (statute
approach).
Keywords:
Legislative Policy, Land, Agriculture.
1.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan di atas kemudian ditindak lanjuti oleh Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), yang memberi wewenang kepada negara untuk: “mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa”.
Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial,[3]
bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang
tidak boleh dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya. Pemakaian (atau tidak dipakainya) tanah dengan
cara merugikan atau menyebabkan dirugikannya masyarakat, tidak dapat
dibenarkan. Tanah harus dipergunakan sesuai dengan keadaan dan
sifat haknya. Maka penggunaan itu dapat bermanfaat, baik bagi
pemiliknya maupun masyarakat dan Negara.[4]
Namun
ternyata ada kebijakan legislatif berupa berbagai peraturan yang secara
implisit maupun eksplisit mengatur kemungkinan perubahan penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian hanya bersifat penafsiran dari ketentuan undang-undang.
Ketentuan itu membuka peluang perubahan penggunaan tanah, termasuk perubahan
penggunaan tanah lahan pertanian menjadi alih fungsi untuk lainnya.
Realitasnya
perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian berjalan sangat cepat dan
dalam areal yang luas. Bahkan perubahan penggunaan tanah dilakukan dengan
dalih pengadaan tanah demi kepentingan umum. Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah.[5]
Dari Uraian di atas terlihat adanya
Pengaturan tentang hukum pertanahan yang malah mendorong terjadinya berbagai
perubahan penggunaan tanah khususnya tanah persawahan, yang tidak lagi
dijadikan sebagai lahan pertanian.
b. Rumusan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk
mendapat pemahaman yang tepat tentang Kebijakan
Legislatif Penggunaan Tanah Untuk Pertanian yang berlaku
di Indonesia di Era Reformasi sekarang ini, dengan rumusan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan
legislatif merumuskan Penggunaan Tanah Untuk
Pertanian?
2. Bagaimana pembaharuan kebijakan
legislatif tentang alih fungsi penggunaan tanah pertanian untuk kepentingan
umum perlu dilakukan?
2.
METODE PENELITIAN
a. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Pendekatan yuridis normative, terhadap Sumber bahan
hukum yang dijadikan sebagai sumber penelitian dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dikumpulkan melalui
penelusuran pustaka (library research) terhadap manual library melalui kajian
buku-buku literatur dan digital library melalui browsing internet.
Kemudian dianalisa dengan menggunakan metode preskriptif anality untuk
mendapatkan kesimpulan sehingga dapat ditemukan sebuah konsep yang sesuai
dengan tujuan penelitian ini dilakukan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Rumusan
Penggunaan Tanah Untuk Pertanian
Pertanian merupakan suatu jenis
kegiatan produksi yang berlandaskan proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat. Sedangkan
pertanian dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan,
peternakan dan perikanan. Semua itu merupakan hal yang penting. [6]
kesemuanya diharapkan akan mendukung program ketersediaan pangan.
Lahan pertanian pangan merupakan
bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dan negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga
negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan.[7]
Menurut Pasal 1 ayat (4)
UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bahwa
Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan
teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan Komoditas
Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau
peternakan dalam suatu agroekosistem.
Secara garis besar pengertian
pertanian dapat diringkas menjadi produksi, petani dan pengusaha, tanah tempat
usaha dan usaha pertanian (farm busines). Pertanian yang baik ialah pertanian
yang dapat memberikan produk jauh lebih baik daripada apabila tanaman, ternak
atau ikan tersebut dibiarkan secara alami.[8]
Tanah pertanian ialah semua tanah
perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah
belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang
berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang,
selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah berdiri
rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan,
berap luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah
pertanian.[9]
Dari batasan tersebut jelas bahwa untuk
dapat disebut sebagai pertanian perlu dipenuhi beberapa persyaratan:
a. adanya alam beserta isinya antara
lain tanah sebagai tempat kegiatan, dan tumbuhan serta hewan sebagai obyek
kegiatan.
b. adanya kegiatan manusia dalam menyempurnakan
segala sesuatu yang telah diberikan oleh alam dan atau Yang Maha Kuasa untuk
kepentingan/ kelangsungan hidup manusia melalui dua golongan yaitu
tumbuhan/tanaman dan hewan/ternak serta ikan.
c. ada usaha manusia untuk
mendapatkan produk/hasil ekonomis yang lebih besar daripada sebelum adanya
kegiatan manusia.[10]
Sistem pembangunan yang
berketanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam
pembangunan pertanian secara menyeluruh dan terpadu. Salah satu bagian dari
pertanian adalah sistem budidaya tanaman yang perlu dikembangkan sejalan
dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk mewujudkan pertanian maju,
efisien, dan tangguh.
Sistem budidaya tanaman adalah
sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya
manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan
barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.[11]
Sistem budidaya tanaman bertujuan:
a. meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil
tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri
dalam negeri, dan memperbesar ekspor;
b. meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani;
c.mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.[12]
Ruang lingkup sistem budidaya tanaman meliputi proses
kegiatan produksi sampai dengan pascapanen.[13] Karenanya diperlukan suatu perencanaan
budidaya tanaman, yang dalam upaya pencapaian tujuannya, pemerintah
dengan memperhatikan kepentingan masyarakat perlu melakukan beberapa langkah
sebagai berikut:
a. menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman
sesuai dengan tahapan rencana pembangunan nasional;
b. menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman;
c. mengatur produksi budidaya tanaman tertentu
berdasarkan kepentingan nasional;
d. menciptakan kondisi yang menunjang peranserta
masyarakat.[14]
b. Perubahan Rumusan “Penggunaan Tanah” Untuk Pertanian menjadi “Pengadaan Tanah”.
Fenomena perubahan penggunaan tanah
pertanian ke penggunaan non pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam
konteks ekonomika lahan yang menempatkan sumber daya lahan sebagai faktor
produksi. Karena faktor-faktor itu memiliki karakteristik tertentu, maka secara
alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai
aktivitas. [15]
Penggunaan tanah tidak hanya sebagai
lahan pertanian saja tetapi juga untuk berbagai aktivitas tersebut mendorong
terjadinya upaya penyesuaian kebijakan legislatif dalam merumuskan aktivutas
perbuatan yang terkait dengan masalah pertanahan yang diatur dalam
berbagai peraturan perundangan, yakni “penggunaan tanah” menjadi “pengadaan
tanah”. Agar lebih dapat memudahkan pemahaman dan dalam penerapannya oleh
aparat negara dan masyarakat.
Beberapa peraturan perundangan
sebagai produk kebijakan legislatif yang kemudian ditengarai mengatur lebih
lanjut tentang “penggunaan tanah” dalam konsep “pengadaan tanah”, sebagai wujud
mendukung program pengadaan tanah untuk kepentingan umum, antara lain adalah
sebagai berikut:
Tabel. 1
Bagan Perubahan Istilah “Pengadaan
Tanah”[16]
NO
|
Peraturan
|
Dasar Hukum
|
Rumusan “pengadaan Tanah”
|
1
|
Keputusan
Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
|
Pasal 1
angka 1
|
Pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut
|
2
|
Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
|
Pasal 1
angka 3
|
Pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah.
|
Peraturan
Presiden
Nomor 65
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan
Umum
|
Pasal 1
angka 3
|
Pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
|
|
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
|
Pasal 1
angka 2
|
Pengadaan
tanah adalah kegiatan penyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
|
Hal mana sebagai suatu upaya untuk
mewadahi perbagai perbuatan yang mendorong perubaan peruntukan penggunaan lahan
agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang menuntut agar hukum dalam
hal ini adalah peraturan perundangan yang selama ini telah bertindak sebagai
tool of social control yang mengatur “penggunaan tanah”, segera dapat
bertindak sebagai tool of social engginering yang juga mengatur “pengadaan
tanah”.
Dalam kondisi inilah akan terjadi
perubahan dalam penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang mempunyai
land rent yang paling tinggi. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa
persediaan lahan bersifat tetap sedangkan permintaannya terus tumbuh dengan
cepat terutama di kawasan perkotaan. Pertumbuhan kebutuhan lahan ini didorong
oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial - ekonomi yang menyertainya.
Interaksi antara permintaan dan penawaran lahan ini akan menghasilkan pola
penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang menguntungkan. Dalam konteks
inilah fenomena perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian terjadi.[17]
Jelasnya perubahan aktivitas
Penggunaan tanah dari semula untuk lahan pertanian menjadi pengadaan tanah
untuk banyak hal dalam konteks kepentingan umum.
c. Alih Fungsi Penggunaan Tanah
Pertanian Untuk Kepentingan Umum
Konsep dasar hukum
penataan ruang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia”. Kemudian ditegaskan dalam pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan tersebut
memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam
Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna,
Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan
memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang
dikehendaki.
Untuk dapat mewujudkan
tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan
pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu
perencanaan yang cermat dan terarah. Karenanya Penataan ruang menyangkut
seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses
perencanaan penataan ruang.[18]
Menteri
Pekerjaan Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota.
Rencana Umum Tata
Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan ruang kota, yang berisikan
rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai tata
ruang kota yang dituju dalam kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang.
Rencana program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan dan dibagi
dalam tahapan lima tahanan.
Adapun
fasilitas/fungsi perkotaan, antara lain sebagai berikut :
a. Pusat
perdagangan;
b. Pusat
pelayanan jasa;
c. Tersedianya
prasarana perkotaan;
d. Pusat
penyediaan fasilitas sosial;
e. Pusat
pemerintahan;
f. Pusat komunikasi
dan pangkalan transportasi; dan
g. Lokasi pemukiman
yang tertata.
Sesuai dengan
keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata
Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan
hal-hal sebagai berikut :
a. Kebijaksanaan pengembangan
penduduk kota;
b. Rencana pemanfaatan ruang kota;
c. Rencana struktur pelayanan
kegiatan kota;
d. Rencana sistem transportasi;
e. Rencana sistem jaringan utilitas
kota;
f. Rencana kepadatan bangunan;
g. Rencana ketinggian bangunan;
h. Rencana pemanfaatan air baku;
i. Rencana penanganan
lingkungan kota;
j. Tahapan pelaksanaan
bangunan; dan
k. Indikasi unit pelayanan kota
Dari RUTRK diatas tidak secara
gamblang penyebutkan adanya peruntukan tanah untuk pertanian. Padahal berkaitan
dengan itu Yohanes G. Bulu menyatakan “Sampai hari ini pertanian masih
merupakan kekuatan ekonomi bagi masyarakat pedesaan dan harapan hidup bagi
masyarakat perkotaan”. [19]
Meskipun pembangunan pertanian masih
menjadi prioritas dalam rangka menunjang perekonomian masyarakat, akan tetapi
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian terus
meningkat seiring dengan perkembangan dan kemajuan sistem pertanian itu
sendiri. [20]
Yohanes G. Bulu mengutip pendapat
Kaharuddin yang mengatakan bahwa pengelolaan pertanian tidak lagi menjadi
sederhana, melainkan terkait dengan sektor-sektor lain sebagai suatu sistem
yang tidak mungkin terlepas satu sama lain. Masalah pembangunan pertanian tidak
hanya merupakan beban para petani, melainkan secara tidak langsung sudah
menjadi masalah yang terkait dengan segala aspek kehidupan masyarakat. [21]
Lebih lanjut Kaharuddin mengatakan
bahwa permasalahan dalam pembangunan pertanian, yaitu;
(1) mengecilnya lahan pertanian dan
fragmentasi tanah;
(2) sikap mental masyarakat masih
merupakan penghambat dalam pembangunan;
(3) keterbatasan pengetahuan
masyarakat;
(4) masalah sosial budaya belum
sejalan dengan konsep perencanaan pembangunan; dan
(5) faktor ekonomi sebagai
penghambat pembangunan. Fragmentasi lahan umumnya disebabkan oleh pewarisan.
Fenomena tersebut merupakan bukti
nyata bahwa tekanan penduduk muncul ketika pertumbuhan penduduk yang bekerja di
sektor pertanian menekan penggunaan sumber daya lahan pertanian sehingga akan
menimbulkan kemiskinan dan pengangguran. [22]
Sedangkan Ketahanan pangan merupakan
salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan negara sebagai negara
berkembang, karena memiliki fungsi ganda yaitu:
1. Salah satu sasaran utama
pembangunan,
2. Salah satu instrumen utama
pembangunan ekonomi (Simatupang, 1999).
Konsep ketahanan pangan mengacu pada
pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan
kehidupan yang aktif dan sehat. Ketahanan pangan merupakan konsep yang
multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi,
distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas ketahanan pangan
sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan
konsumsi pangan.[23]
Definisi Formal ketahanan pangan
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1. World Food Conference 1974, UN 1975 : Ketahanan Pangan
adalah ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga
keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.
2. FAO 1992 : Ketahanan Pangan adalah situasi
di mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan
yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3. World Bank 1996: Ketahanan Pangan
adalah: akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup
untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
Kondisi ketiadaan akses terhadap
komoditas pangan yang menyebabkan rawan pangan. Naik turunnya jumlah masyarakat
yang tergolong rawan pangan biasanya mengikuti naik turunnya jumlah orang
miskin di Indonesia. Masih banyaknya penduduk miskin yang rentan terhadap rawan
pangan (diolah dari data BPS) yaitu tahun 2006 jumlah penduduk miskin mencapai
39,3 juta (17,75 %) dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 10,04 juta
(4,52 %), sedangkan di tahun 2007 jumlah penduduk miskin 37,17 juta (16,58 %)
dan penduduk yang sangat rawan pangan sekitar 5,71 juta (2,55 %).[24]
Kondisi pangan lokal maupun nasional
sedang terkena dampak perubahan iklim dan pemanasan global (global warming).
Setelah terjadinya perubahan iklim dan global warming, kemandirian pangan pun
menjadi isu global. Bahkan, petani di berbagai belahan dunia kini sedang menuntut
adanya kemandirian pangan. [25]
Berbeda dengan konsep ketahanan
pangan (food security), kini konsep kedaulatan/ kemandirian pangan (food
sovereignty) lebih relevan untuk dikedepankan. Soalnya, paradigma kemandirian
pangan bisa mengatasi berbagai kelemahan kebijakan ketahanan pangan yang selama
ini lebih bersandar pada pemenuhan pangan secara modern melalui penerapan
agrobisnis, perdagangan bebas dan privatisasi sumber-sumber produktif.[26]
Disadari bahwa untuk
mencapai pembangunan ketahanan pangan tidaklah mudah, namun dengan tekad dan
kerjasama lingkup Badan Ketahanan Pangan di Pusat dan Daerah, serta koordinasi
dengan Eselon I lingkup Kementerian Pertanian dan instansi terkait, akan dapat
tercapai tujuan dan sasaran pembangunan ketahanan pangan nasional.
Implementasi Renstra
Badan Ketahanan Pangan tahun 2010 – 2014 pada tahapan perencanaan
pembangunan ketahanan pangan tahunan, masih dimungkinkan mengalami perbaikan
dan penyempurnaan karena terjadinya perubahan kebijakan, permasalahan, dan
hasil evaluasi dalam pelaksanaan program pembangunan ketahanan pangan.
Dalam kenyataan bahwa sebagian besar
alih fungsi lahan pertanian adalah dipergunakan untuk pemukiman, penyediaan
industri, jalan raya maupun fasilitas umum lainnya. Dimana semua peruntukan
dari usaha alih fungsi lahan tersebut disebabkan adanya pertumbuhan penduduk / natalitas,
perkembangan dan pertumbuhan pembangunan ekonomi.[27]
Apabila hal ini terus saja
berlangsung dampak serta resiko kerawanan pangan / kelangkaan pangan suatu hal
yang sangat mungkin terjadi. Sebenarnya telah banyak peraturan
perundang-undangan maupun kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan lahan
maupun upaya untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, namun melihat apa
fenomena perkembangan dari alih fungsi tanah / konversi lahan pertanian yang
sudah sedemikian cepat, menunjukkan bahwa peraturan tersebut kurang efektif.
Berbagai permasalahan tersebut
merupakan Isu yang berkembang saat ini yang kemudian banyak dijadikan bahan
kajian di bidang pertanahan. Isu yang berkaitan erat dengan konversi / alih
fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian. Alih fungsi tanah pertanian /
konversi lahan pertanian sangat tidak menguntungkan khususnya di sektor
pertanian, berkaitan dengan produktivitas hasil pertanian. Konversi/alih
fungsi lahan pertanian mempunyai kecenderungan yang meningkat seiring dengan
semakin tumbuh dan berkembangnya sektor perekonomian dan pertambahan
penduduk.[28]
Pola konversi lahan dapat ditinjau
dari beberapa aspek. Menurut pelaku
konversi, maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan
yang bersangkutan. Motif pada umumnya
adalah untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal,
meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, atau kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali
dengan alih penguasaan yaitu pemilik menjual
kepada pihak lain.[29]
d. Kebijakan Legislatif Tentang Alih
Fungsi Penggunaan Tanah Pertanian.
Menurut hukum Agraria, perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan proses yang harus diatur
oleh hukum, artinya perubahan penggunaan tanah itu adalah suatu yang di
perbolehkan sepanjang perubahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku .[30]
Dalam rangka mengendalikan
perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian yang memungkinkan alih
fungsi lahan, telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,
sebagai suatu bentuk dari kebijakan legislatif di bidang pertanahan. Berbagai
Peraturan tersebut antara lain :
Tabel 2.
Inventarisasi peraturan perundangan
terkait alih fungsi tanah pertanian yang bersifat Nasional [31]
No.
|
Peraturan/
Perundangan
|
Garis besar
isi, khususnya yg terkait dengan alih guna lahan pertanian
|
1
|
Undang-undang
No. 5 tahun 1960
|
Undang-undang
Pokok Agraria
|
2
|
Undang-undang
No. 56 Prp Tahun 1960 yang merupakan u n d a n g - u n d a n g landreform di
Indonesia. Dalam Undang-undang ini terdapat tiga soal yang diaturnya, yaitu
(Budi Harsono, 197: 335)
|
a. penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
b. penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;
c. soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Meski dalam pasal 17 mengatur dan menunjuk pada semua macam tanah, namun
dalam Undang-undang No. 56 tersebut baru mengatur soal tanah pertanian saja.
Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan
diatur tersendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah.
|
3
|
Undang-undang
no. 51 Prp.tahun 1960
|
Larangan
Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya
|
4
|
UU No. 24 /
1992
|
Penyusunan
RTRW harus mempertimbangkan budidaya Pangan / SIT
Perubahan fungsi
ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan
industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan
fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah dan terpusat.
|
5
|
Undang-undang
No. 23 tahun 1997
|
Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
|
6
|
Undang-undang
No. 26 tahun 2007
|
Penataan
Ruang ( perubahan atas Undang-Undang No 24 tahun 1993 Tentang Penataan
Ruang)
|
7
|
Undang-undang
No. 16 tahun 2007
|
Penatagunaan Tanah
(LN. tahun 2004 No. 45)
|
UU No. 1
Tahun 2009
|
Perlindungan
Lahan Pangan Berkelanjutan
|
|
PP No. 16
Tahun 2004
|
Penatagunaan
Tanah
|
|
8
|
Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974
|
Ketentuan-ketentuan
mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Persawahan
|
9
|
Keppres No.
53 / 1989
|
Pembangunan
kawasan industri, tidak boleh konversi SIT / Tanah Pertanian Subur:
Pembangunan kawasan
industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan di atas
tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumberdaya alam dan
warisan budaya.
|
10
|
Keppres No.
33/1990
|
Pelarangan
Pemberian Ijin Perubahan Fungsi Lahan Basah dan Pengairan Beririgasi Bagi
Pembangunan Kawasan Industri:
Pemberian
ijin pembebasan tanah untuk industri dilakukan dengan pertimbangan tidak akan
mengurangi areal tanah pertanian dan tidak boleh di kawasan pertanian tanaman
pangan lahan basah berupa sawah dengan pengairan irigasi serta lahan yang
dicadangkan untuk usaha tani irigasi.
|
11
|
Peraturan
KBPN No. 2/1993
|
Tata cara
Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka
Penanaman Modal
|
No.
|
Peraturan/
Perundangan
|
Garis besar
isi, khususnya yg terkait dengan alih guna lahan pertanian
|
12
|
SE Menteri
Dalam Negeri No. 590/ 11108/Sj tanggal 29 Oktober 1984
|
Perubahan
Tanah Pertanian ke Non Pertanian
|
13
|
SE MNA / KBPN
410- 1851/1994
|
Pencegahan Penggunaan
Tanah sawah Beririgasi Tekhnis untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui
Penyusunan RTR:
Dalam
menyusun RTRW Dati I dan Dati II, agar tidak memperuntukkan tanah sawah
beririgasi teknis guna penggunaan non pertanian, kecuali terpaksa atas
pertimbangan tertentu dengan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional.
|
14
|
SEMN/KBPN
410- 2261/1994
|
Ijin Lokasi
Tidak Boleh Mengkonversi Sawah Irigasi Teknis (SIT)
|
15
|
S E / K B A P
P E N A S 5334/MK/9/1994
|
Pelarangan
Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Untuk Non Pertanian
|
16
|
SE
MNA/KBPN5335/ MK/1994
|
Penyusunan
RTRW Dati II Melarang Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non
Pertanian:
BKTRN pada
prinsipnya tidak mengijinkan perubahan penggunaan sawah beririgasi teknis
untuk penggunaan diluar pertanian, dan kesepakatan tersebut telah dilaporkan
kepada Presiden. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di beberapa Daerah Tingkat
II perlu disempurnakan, karena di dalamnya tercantum rencana penggunaan lahan
sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian.
|
17
|
SEMNA/KBPN5417/
MK/10/1994
|
Efisiensi
Pemanfaatan Lahan Bagi Pembangunan Perumahan:
Pada
prinsipnya perubahan penggunaan tanah pertanian/sawah beririgasi teknis untuk
keperluan selain pertanian tidak diijinkan. Untuk peningkatan efisiensi
pemanfaatan lahan, pembangunan perumahan baru diarahkan ke lahan yang telah
mempunyai ijin lokasi dan ke lokasi di luar lahan beririgasi teknis.
|
18
|
SE MENDAGRI
474/4263/SJ/1994
|
Mempertahankan
sawah Beririgasi Teknis untuk mendukung Swasembada Pangan
|
19
|
SE MNA/KBPN
460- 3364
|
Pencegahan
Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian
|
20
|
SE MNA/KBPN
No. 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994
|
Perubahan
Penggunaan Tanah Sawah Beririgrasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non
Pertanian
|
21
|
SE MNA/KBPN
460- 1594/1996
|
Mencegah
Konversi Tanah Sawah dan Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering:
Perubahan sawah
irigasi teknis ke tanah kering dalam sepuluh tahun teralhir diperkirakan
lebih dari 500.000 Ha, melalui cara menutup saluran irigasi.
Untuk hal
tersebut di atas kepada Gubernur / Bupati / Walikota untuk memberikan
petunjuk:
a. Tidak menutup saluran irigasi
b. Tidak mengeringkan sawah irigasi menjadi tanah
kering
c. Tidak menimbun sawah untuk membangun
d. Banyak sawah irigasi yang sudah menjadi tanah
kering, untuk mengembalikan lagi seperti semula
e. Gubernur dapat memberikan petunjuk pada Walikota
agar meninjau kembali dan merevisi RTRW Dati II
|
Berdasarkan data dalam tabel di atas, mengenai
peraturan perundangan yang mengatur mengenai alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian, sesuai dengan tata urutan peraturan perundangan. Diawali dari
adanya peraturan pokok dari produk peraturan yang mengatur mengenai tanah
pertanian sebagai bagian dari sumber daya agraria yaitu Undang-undang Pokok Agraria
No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan nama UUPA. Kemudian terdapat peraturan
teknis pertama yang mengatur mengenai pembatasan alih fungsi tanah pertanian ke
non pertanian Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 yang juga merupakan
undang-undang landreform di Indonesia. [32]
Menurut Budi Harsono, Undang-undang landreform
ini setidaknya mengatur mengenai tiga hal, yaitu:
1. penetapan
luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;
2. penetapan
luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;
Meski dalam pasal 17 mengatur dan menunjuk pada semua
macam tanah, namun dalam Undang-undang No. 56 tersebut baru mengatur soal
tanah pertanian saja. Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan
pembangunan lainnya akan diatur tersendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah. [34]
Menurut Suhadi dan Rofi Wahanisa “Dengan adanya UU No.
56 Prp 1960 tersebut, setidaknya telah ada itikad baik pemerintah untuk
berperan aktif melakukan upaya pencegahan peralihan fungsi tanah pertanian ke
non pertanian. Meski dalam UU No. 56 Prp 1960 tersebut mengatur mengenai tanah
pertanian saja, namun dengan adanya amanat dalam peraturan perundangan untuk
melakukan pengaturan yang lebih rinci dalam suatu peraturan pemerintah. Sehingga
apabila dilihat dari tata jenjang peraturan perundang-undangan, peraturan yang
mengatur mengenai alih fungsi tanah pertanian telah sesuai dengan tata urutan
perundang-undangan, dimana telah terdapat peraturan puncak / peraturan pokok
yang berupa undang-undang, kemudian sebagai pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Penerintah, maupu berupa Keppres, tergantung dengan kebutuhan, sifat
dan kekuatan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai
peraturan yang bersifat teknis, dan prosedur, pengaturannya dilakukan dengan
berupa surat edaran maupun berupa Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional. “[35]
Sehingga jika dilihat dari tata jenjangnya saja
sepertinya tidak terdapat masalah, yaitu diatur dalam peraturan pokok sampai
dengan tingkat yang paling rendah, namun jika dilihat dari kesinkronan isi dari
masing-masing peraturan tersebut, sangat disayangkan karena ketiadaan sinkronisasi
tersebut. Dalam peraturan pokok yang yang diatur dengan undang-undang, dimana
dalam pasal-pasal dari uundang-undang tersebut diamanatkan untuk pengaturan
yang lebih lanjut dalam peraturan perundangan yang berupa PP, Keppres, maupun
Surat Edaran, namun dalam kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan. Sehingga
terkesan peraturan perundangan yang mengatur mengenai peralihan tahan / lahan
pertanian ke non pertanian tersebut ‘lepas’ antara peraturan yang satu dengan
peraturan sejenis yang lain. [36]
Era otonomi daerah, adanya pemisahan pengaturan dalam
urusan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi. Hal ini juga
mempengaruhi pengaturan peraturan perundangan dalam kegiatan alih fungsi tanah
/ lahan pertanian. Hal ini berhubungan dengan kebijakan dari masing-masing
daerah dalam upayanya melakukan pengaturan mengenai pengendalian peralihan
tanah / lahan pertanian ke non pertanian. Sehingga dalam pelaksanaannya ditemukan
adanya peraturan perundangannyayang berupa Surat Edaran Gubernur. Hal ini didasari
bahwa upaya pengendalian / pembatasan peralihan tanah / lahan pertanian ke non
pertanian tidak hanya peran dan tugas dari satu instansi saja namun, upaya
pengendalian / pembatasan serta pemberian ijin yang sangat berkaitan dengan
peralihan pemanfaatn tanah / lahan pertanian ke non pertanian di daerah
dilakukan lintas instansi. Dalam kenyataan di lapangan untuk pemberian atau
penolakan suatu ijin peralihan pemanfaatan tanah / lahan pertanian keputusannya
adalah dilakukan antara intansi BPN / Kantor Pertanahan, pemerintah Kabupaten
/ Kota (Bappeda), Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Tata Kota. [37]
Untuk tanah pertanian yang terletak
di desa, peruntukan tanah tersebut dapat diubah melalui RTRW menjadi tanah non
pertanian dengan kondisi apabila ada investor yang bersedia mengembangkan
tanahnya. Sebagai contoh tanah non pertanian diubah peruntukkannya menurut RTRW
dapat dijadikan pemukiman. Peruntukkan tersebut tidak langsung berubah, tanah
tersebut masih dapat dipergunakan untuk pertanian sampai ada
investor/pengembang yang bermaksud menggunakan tanah tersebut sesuai RTRW yang
ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut.
Penataan Ruang diatur dalam Pasal 3
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, bahwa penataan ruang
bertujuan untuk dapat[38]:
a. Terselenggaranya pemanfaatan
ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional;
b. Terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budi daya;
c. Tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas untuk:
1) Mewujudkan kehidupan bangsa yang
cerdas, berbudi luhur dan sejahtera;
2) Mewujudkan keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan suber
daya manusia;
3) Mewujudkan perlindungan fungsi
ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
4) Mewujudkan keseimbangan
kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Masyarakat berhak menikmati manfaat
ruang tersebut termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang
dan berhak pula untuk:
a. Mengetahui rencana tata ruang;
b. Berperan serta dalam penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c. Memperoleh penggantian yang layak
atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang.[39]
Selain
mempunyai hak tersebut di atas, masyarakat berkewajiban pula untuk berperan
serta dalam memelihara kualitas ruang dan menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.[40]
Realitasnya
perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian berjalan sangat cepat dan
dalam areal yang luas. Cepat dan luasnya perubahan pemanfaatan tanah pertanian
ke non pertanian ini menurut Nasution dan Rustandi disebabkan karena :
1. Besarnya tingkat urbanisasi
akibat lambannya proses pembangunan di wilayah pedesaan;
2. Meningkatnya jumlah anggota
kelompok golongan pendapatan golongan menengah dan atas di wilayah perkotaan,
peningkatan tersebut mengakibatkan bertambah besarnya permintaan terhadap
sarana pemukiman;
3. terjadinya transformasi di dalam
struktur perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya
pertumbuhan sektor industri, yang pada gilirannya akan “mendepak” kegiatan
pertanian dari lahan sawah.[41]
4. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1) kebijakan legislatif sangat mempengaruhi perubahan Penggunaan Tanah sehingga cenderung merubah
peruntukan tanah dari lahan Pertanian ke non pertanian.
2) pembaharuan kebijakan legislatif tentang alih fungsi
penggunaan tanah pertanian untuk kepentingan umum perlu segera dilakukan revisi agar tidak semakin banyak terjadi
perubahan peruntukan tanah pertanian dengan dalih kepentingan umum
b. Saran-Saran
1) Diperlukan kejelasan arah kebijakan legislatif yang
sesuai dengan politik pembinaan hukum nasional yang mendukung program
kedaulatan/ kemandirian pangan di Indonesia.
2) Harus Dibuat penyeragaman peraturan pelaksanaan yang
memudahkan dalam penerapannya oleh aparat di lapangan, sehingga tidak terkesan
semarawut
3) Kebijakan legislatif hendaknya tidak semakin
mengurangi fungsi lahan sehingga lahan pertanian semakin sempit.
.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, konsep ketahanan pangan
rumah tangga, 2008. http://www.damandiri.or.id. (22 Maret 2008).
Bagir manan, pertumbuhan
dan perkembangan konstitusi suatu Negara, 1995 masdar maju, bandung.
Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, 2007, Metodologi
Peneltitian, Bumi aksara, Jakarta
Hestu cipto handoyo, prinsip-prinsip
legal drafting dan desain naskah akademik, 2008, universitas atma jaya,
yokyakarta.
http://indoprogress.blogspot.com (22
Maret 2008).
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 338.1 /Kpts
/PD.620/9/2005
Lassa, Jonatan. Politik Ketahanan
Pangan Indonesia 1950-2005. http://www.zef.de/ (22 Maret 2008).
Martaja, Urgensi Membangun
Kemandirian Pangan, 2008. http://www.suarakarya-online.com/news.htm (22
Maret 2008).
Peraturan menteri pertanian
Nomor 52/permentan/ot.140/10/2006 Tentang Persyaratan tambahan karantina
tumbuhan Undang-undang republik indonesia Nomor 12 tahun 1992 Tentang Sistem
budidaya tanaman.
Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 54/Permentan/Ot.140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong
Yang Baik (Good Breeding Practice).
Peraturan pemerintah republik
indonesia nomor 18 tahun 2010 tentang usaha budidaya tanaman.
Peraturan pemerintah republik
indonesia Nomor 68 tahun 2002 Tentang Ketahanan pangan
Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang,Sistem
Budidaya Tanaman.
Undang-undang nomor 12 tahun 1992
tentang sistem budidaya tanaman.
Undang-undang republik Indonesia
Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
UU RI No.7 Tahun.1996 tentang
perlindungan pangan.
[1]Bayu Dwiwiddy jatmiko. Naskah
Publikasi Penelitian “Analisis Terhadap Kebijakan Legislatif
Penggunaan Tanah Untuk Pertanian”. DP2M UMM, Tahun anggaran 2014/
2015.
[2] Dosen Fakultas Hukum universitas
Muhammadiyah Malang, Jl. Raya Tlogomas No. 246 Telp. (0341) 464318.
[4] Sudargo Gautama dan Ellyda T.
Soetijarto, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan-peraturan
Pelaksanannya (1996), Cet. 10 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997),
hal. 19.
[5] Lihat Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
[6] Rosianita Dewi AS. Kajian
Yuridis Pelaksanaan Izin Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Di
Kabupaten Madiun. FH UNS, 2011. Hal 38.
[7] Lihat konsideran “Menimbang” dari
UU 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
[9] Instruksi Bersama Menteri Dalam
Negeri Dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria Tanggal 5 Januari 1961 No.
Sekra 9/ 1/ 12
[18] Mulyadi,
Konsep Dasar Hukum Tata Ruang, http://trindonesia.blogspot.com.
Accaes 2 September 2014.
[19] Yohanes G. Bulu, Pembangunan
Pertanian, Strategi Dan Permasalahannya. http:// magammar. blogspot.com.
Acces 12 Agustus 2014.
[23] Khomsan, Ali. 2008. Impor Beras,
Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani. Retreived March 23, 2008. from http://www.unisosdem.org/
[24] Anonymous. 2008. Ketahanan
Pangan dan Kemajuan Bangsa. Retreived March 22, 2008 from http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel_
[25] Martaja. 2008. Urgensi Membangun
Kemandirian Pangan. Rtreived March 22, 2008 from http://www.suarakarya-online.com/news.htm.
[27] Suhadi dan Rofi Wahanisa . Tinjauan
Yuridis Normatif Berbagai Peraturan Tentang Alih Fungsi Tanah Pertanian
di Indonesia. journal.unnes.ac.id. Volume 6. Nomor 1. Januari 2011
[30] Suryani . Implikasi perubahan
penggunaan tanah Pertanian ke non pertanian Di kabupaten batang. Pena
Justisia Volume VI No.12, tahun 2007. Hal 15.
[33] Harsono,
B. 1997. Hukum Agraria Indonesia.- Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta. Hal 335
[41] Nasution dan Rustandi dalam Maria
Sumarjono, Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1983-1987, Makalah Seminar di
Fakultas Hukum UNISRI Solo, tanggal 27 Januari 1992.
0 komentar:
Posting Komentar