TINJAUAN YURIDIS NORMATIVE
TERHADAP
PROSES PENETAPAN DAERAH DALAM
STATUS KEADAAN BAHAYA[1]
Email: bayu.dj15@yahoo.com
Abstraksi
Indonesia sebagai negara bisa jadi suatu ketika menghadapi
berbagai rongrongan, yang mengancam kedaulatan negara, sehingga
menyeret Negara dalam situasi yang membahayakan keselamatan dan keamanan Negara dan daerah. Pada situasi negara dalam keadaan bahaya yang
diperlukan adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap
keselamatan dan keamanan negara, yang pada hakikatnya merupakan perlindungan
terhadap keselamatan dan keamanan rakyat di daerah dengan mengacu
kepada ketentuan yang mengatur tentang proses hukum yang dapat diterapkan. Penelitian ini
bermaksud untuk mengkaji tentang proses penetapan Daerah dalam status keadaan
bahaya tersebut.
Kata kunci: Keamanan Negara, Hukum darurat,
Penetapan Bahaya.
Abstraction
Indonesia as the country may one day face a variety rongrongan, which threatens the sovereignty of the state, thus dragging the State in circumstances that endanger the safety and security of the State and the region. In the situation of the country in a state of danger that is needed is an effort to prevent and cope with threats to the safety and security of the state, which in essence is the protection of the safety and security of the people in the region with reference to the provisions regulating the legal process that can be applied. This study intends to examine the process of determination of the regions in the danger status.
Keywords: State Security, Emergency Law, Determination of Hazard.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan negara,
bisa jadi suatu ketika menghadapi berbagai rongrongan dari
dalam dan luar negeri dengan intensitas tinggi, yang mengancam kedaulatan
negara, persatuan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayahnya, sehingga menyeret Negara dalam situasi yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Adanya ancaman terhadap
keamanan negara di Indonesia beberapa dipicu oleh terjadinya berbagai kasus peledakan
bom, misalnya yang disebutkan dalam catatan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan) pada bulan Oktober 2000 [3], antara lain.:
“Sejak tahun 1976 sudah terjadi kasus peledakan,
juga sepanjang tahun 1980-an sampai
tahun 2000 yakni kurang lebih 40 kasus. Hanya saja dalam dua tahun terakhir intensitas aksi dan
teror bom serta senjata lainnya meningkat seiring berubahnya suasana politik di
tanah air. Sebagai catatan tahun 1999 ada 7 kasus dan tahun 2000 ada 13 kasus
(tidak termasuk peristiwa-peristiwa peledakan yang terjadi di Aceh dalam
beberapa tahun terakhir
Pada situasi negara dalam keadaan
bahaya yang diperlukan adalah upaya
untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan keamanan
negara yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan
keamanan rakyat dengan mengacu kepada ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.
Penerapan hukum dalam mengatasi keadaan bahaya tersebut, di berbagai Negara telah menimbulkan
pro/ kontra yang mencuatkan usulan bagi pemberlakuan Internal Security act (ISA) sebagaimana yang berlaku di Malaysia
dan beberapa negara lainnya atau memaksimalkan efektifitasnya UU tentang
pemberantasan terorisme atau merevisinya. Bahkan hal ini ditindak lanjuti oleh
Pemerintah Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Australia[4],
dengan mempersiapkan “pembentukan pusat kerjasama anti terorisme di kawasan
Asia Pasifik dengan nama Trans National Crime Center (TNCC) dan Pusat
Pelatihan Unit Anti Teroris Asia Pasifik”.
Di Indonesia kemungkinan penetapan
suatu daerah dalam status keadaan bahaya
telah diatur di dalam UUD 1945. Dalam Pasal 12 UUD
1945 kalimat kedua menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang". Jadi UUD 1945
mengamanatkan pembentukan UU untuk mengatur syarat-syarat keadaan bahaya[5].
Hal mana kemudian diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960, yang
selanjutnya akan disebut sebagai UU Keadaan bahaya.
Sehingga dengan mengacu pada dasar
hukum tersebut Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara
tertinggi memiliki pedoman yang tepat dalam
menyatakan bahwa negara berada dalam keadaan bahaya. Dalam
situasi demikian Presiden memegang tanggung jawab utama untuk
menyelamatkan dan mengamankan negara. [6]
Yang penting dan yang menjadi ukuran bagi Presiden untuk menyatakan
sesuatu keadaan bahaya, yaitu tingkatan keadaan bahaya yang setimpal, ialah
intensitas peristiwa/keadaan yang mengkhawatirkan bagi berlangsungnya kehidupan
Negara dan masyarakat. Selain daripada sebab-sebab/alasan-alasan yang lazim
dipakai untuk menentukan apabila keadaan bahaya dapat dinyatakan, juga disebut
sebagai sebab/alasan terancamnya
ketertiban hukum oleh kerusuhan-kerusuhan atau gangguan-gangguan lain,
"hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus
ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup
Negara" pun dapat merupakan alasan
atau alasan tambahan mengenai
kekhawatiran akan terjadinya ancaman-ancaman yang demikian.[7]
Dan di masa lalu menjelang dan di
tahun-tahun awal era reformasi, Indonesia mengalami berbagai peristiwa di
berbagai daerah baik karena kerusuhan,
pemberontakan, ataupun bencana dan
sebagainya yang mendorong Presiden
menetapkan daerah tersebut berstatus darurat, yaitu darurat militer, darurat
sipil ataupun bahaya. Hal yang terlihat sangat kentara adalah kekuasaan
yang sangat besar kepada presiden untuk menentukan kapan berlakunya UU itu.
Sifat executive heavy sangat terlihat.
Padahal pasca amandemen ke 4 terhadap
UUD 1945 telah terjadi perubahan system ketatanegaraan Indonesia yang
sedemikian luar biasa, misalnya: kekuasaan di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD, penegasan Indonesia sebagai Negara hukum dalam batang tubuh UUD, munculnya Lembaga DPD, Kekuasaan membentuk UU ada di tangan DPR,
dibentuknya MK, dihilangkannya DPA, pengelompokan lembaga Negara atas lembaga tertinggi dan tinggi negara
ditiadakan, pengurangan wewenang MPR, prosedur impeachment bagi presiden dan sebagainya, telah mendorong diterapkannya system check
and balances atas semua tugas/ wewenang lembaga Negara dengan segala
konsekwensinya.
Di era reformasi, Indonesia banyak
mengalami berbagai bencana alam yang besar, kerusuhan bersenjata, sisa-sisa
separatisme, terorisme, dan lain-lain yang tidak menutup kemungkinan
suatu ketika akan menjadi dasar bagi presiden untuk menetapkan keadaan bahaya.
Sebagai kilas balik, diera
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, DPR pernah melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang terkait
dengan keadaan bahaya yaitu RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) / RUU
Keselamatan dan Keamanan Negara ( RUU KKN), sebagai suatu reaksi politik atas seringnya terjadi peristiwa
yang mengancam keselamatan dan keamanan negara, walaupun RUU tersebut akhirnya
tidak dapat dilaksanakan. Namun yang perlu di garis bawahi dengan adanya RUU
tersebut adalah bahwa Negara sangat mungkin berada dalam keadaan bahaya, hal
mana terbukti pada tahun-tahun berikutnya Indonesia memiliki UU pemberantasan
Tindak pidana Terorisme sebagai suatu bentuk reaksi politik atas terjadinya
berbagai kerusuhan/ ancaman atas keamanan Negara dengan skala penekanan yang
lebih spesifik yaitu perbuatan teror.
Karena itu penelitian ini mencoba mempertanyakan kembali prosedur yang
terkait dengan proses dan pertimbangan yang menjadi latar belakang
dikeluarkannya kebijakan legislasi penetapan suatu daerah yang sedang mengalami
peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai bahaya tersebut menurut ketentuan dalam UU 23 prp tahun 1950
menjadi berstatus keadaan bahaya,
terkait dengan system ketatanegaraan Indonesia sekarang dan perkembangan
masyarakat, masih layak dipertahankan, atau ada beberapa hal yang perlu untuk
dikaji dan disempurnakan.
B.
Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini yang
ingin dikaji adalah: Bagaimana Proses Penetapan Daerah Dalam Status Keadaan Bahaya
dan konsekwensi hukumnya dikaji menurut konsep hukum responsive ?
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan
Ciri Negara Hukum
Dalam system ketatanegaraan berbagai Negara modern pemikiran mengenai konsep negara hukum sangat populer. Konsep
ini berasal dari pemikiran Plato sejak jaman yunani. Yaitu oleh Plato dalam bukunya yang tersohor nomoi
dan Aristoteles dalam la politica. Plato sebagai ahli fikir dan seorang
negarawan hendak memikirkan bentuk terbaik sebuah negara. Awalnya negara yang
baik adalah apabila penyelenggaraan negara berada di tangan para ahli filsafat
(cendikiawan). Namun pandangannya
berubah dan berfikir bahwa negara akan
dapat diselenggarakan dengan baik apabila berdasarkan sebuah perangkat aturan
hukum yang dikenal dengan nomoi,
yakni suatu Negara yang mengedepankan kedaulatan hukum/ Negara hukum.[8]
Negara hukum
dewasa ini negara hukum identik dengan dua istilah yakni rechstaat dan rule
of law. Kedua istilah ini pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan negara
hukum. Konsep rechtstaat berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental.
Gagasan tentang rechstaat lahir sebagai bentuk perlawanan absolutisme
raja pada abad ke-tujuh belas. Pemikiran tentang rechtstaats
dikembangkan oleh Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the
rule of law dipopulerkan oleh Albert Venn Dicey pada tahun 1885 melalui
bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Jika
rechstaat dianut oleh negara dengan sistem hukum Continental maka the
rule of law dianut oleh sistem hukum Common Law.[9]
F.J. Stahl
mengemukakan empat ciri negara hukum (rechtstaat) sebagai berikut :
1.
Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2.
Pemisahan kekuasaan Negara;
3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4.
Adanya Peradilan Administrasi (PTUN).[10]
Sedangkan A.V.
Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
Supremasi absolut
atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power
dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority
yang luas dari pemerintah.
2. Equality before the law.
Persamaan
dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary
law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak
ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa
berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi
negara.
3. Due Process of Law.
Konstitusi adalah
hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah
sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan
dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui
tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi
raja dan pejabat-pejabatnya.[11]
Negara hukum dalam
pandangan Ahmad Syahrizal adalah ketika negara melaksanakan kekuasaannya maka
negara tunduk terhadap peraturan hukum. Ketika hukum eksis terhadap negara maka
kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya negara akan dijalankan
berdasarkan hukum yang berlaku.
Dalam penjelasan
UUD 1945 sebelum perubahan, dinyatakan
bahwa indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara
kekuasaan (machtsstaat). Setelah perubahan UUD 1945 ide negara hukum
dicantumkan secara jelas pada Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Menurut
Sudargo Gautama 3 ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni: Terdapat
pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan; Azas Legalitas; pemisahan
Kekuasaan[12].
Secara tegas
dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dalam Negara hukum negara bukan hanya mempunyai
seperangkat hukum formal. Melainkan negara yang mendasarkan setiap tindakan
baik pemerintah dan rakyatnya berdasarkah hukum. Hukum ada karena tiga alasan
sebagai mana dinyatakan oleh radbruch yakni keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian.[13] serta alasan keempat yaitu kebenaran. Dalam
kehidupan negara hukum cita-cita atau tujuan utamanya adalah mendatangkan
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Hal ini tergambar
dalam pembukaan UUD 1945 yang mencantumkan empat tujuan nasional yaitu,
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
B. Hubungan Pusat dengan Daerah
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik[14]. Dalam Negara kesatuan Indonesia
dilakukan pembagian daerah yang
menerapkan asas desentralisasi,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Perubahan Kedua UUD 1945 yang
menyatakan:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten
dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan Undang-Undang;
(2) Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) …
(4) …
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya Pasal
18A UUD 1945 menyatakan:
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah.
(2) Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Terakhir, Pasal
18B UUD 1945 menyatakan:
(1) Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Sebenarnya, baik sebelum maupun setelah perubahan, UUD 1945 memberi
ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada
karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil perubahan, sebagaimana
dikutipkan di atas, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan
menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
Berdasar rumusan itu, UUD
1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu
daerah dengan daerah yang lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana
perbedaan derajat (khusus maupun istimewa) tersebut, UUD 1945 menyerahkannya
kepada undang-undang.[15]
Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam
dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda
mengenai makna khusus dan istimewa itu. Perkembangan ”berbeda” mulai terasa
sejak tahun 1999. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR
mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi
amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.[16]
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh (dan juga Papua)
tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus,
campur tangan pemerintah kian dominan. Misalnya, campur tangan itu jelas
terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah di Aceh sebelum tragedi
Tsunami. Ketika itu, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004).
Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan
otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat
dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah dan daerah yang menerima
otonomi khusus. [17]
Namun sejak Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (UU No 32/2004) ditentukan
menjadi urusan Pemerintah (pusat). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No
32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c)
keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama. Maka hal itu memperkenlkan
suatu Prinsip residu power.
Prinsip residu power juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999), misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU
No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain. Dengan dianutnya
prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan
pusat-daerah telah menegaskan adanya salah satu perubahan besar dalam hubungan
pusat dan daerah.
Mengenai prinsip residu power tersebut, Imam Prasojo berpendapat dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999
dan UU No 32/2004 di atas, salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi
otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah adalah
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi
dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali
terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk
sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan[18].
Gambaran wajah praktik hubungan pusat dan daerah di atas berakar
dari upaya mereduksi pasal-pasal yang mengatur prinsip residu power dengan
aturan-aturan lain yang setingkat (baik internal maupun eksternal) atau dengan
peraturan yang lebih rendah. Misalnya:
1.
Upaya reduksi dilakukan dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 sengaja direduksi
dengan dengan frasa tambahan dalam pasal itu sendiri, yaitu frasa “serta
kewenangan bidang lainnya”.
2.
Upaya reduksi dilakukan secara
felsibel (baca: pasal karet) dan multi interpretasi dalam Pasal 7 Ayat (2) yang
menyatakan:
“kewenangan bidang lain, sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendaya-gunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional”.
3.
Upaya reduksi dilakukan dengan
Pasal 12 UU No 22/1999 menegaskan lagi bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 UU No 22/1999 ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
4.
Upaya reduksi dilakukan dengan
“amanat” Pasal 12 UU No 22/1999, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom (PP No 25/2000).
5.
Upaya reduksi dilakukan Dalam PP No 25/2000 tersebut,
“kewenangan bidang lainnya” dirumuskan ke dalam 25 bidang. [19]
C. Pengertian dan Tingkatan Keadaan Bahaya
Pengertian
keadaan bahaya, dapat diketahui dari definisi kata “bahaya”yaitu keadaan :
“yang
(mungkin) mendatangkan kecelakaan (bencana, kesengsaraan, kerugian, dsb): menempuh
jalan yg tidak ada -- nya;
--
api yg mungkin menimbulkan kebakaran;
--
kebakaran bahaya api;
--
kelaparan yg mendatangkan kelaparan;
-- laten bahaya tersembunyi yg terus-menerus mengancam;
--
maut yg dapat menyebabkan mati atau mendatangkan kematian;
--
ber·ba·ha·ya v 1 ada bahayanya; (mungkin) mendatangkan
bahaya; (dl keadaan) terancam bahaya: kanker dan tifus merupakan penyakit
akut yg -; 2 (dl keadaan) terancam bahaya: - sekali keadaannya,
lukanya sangat parah;
--
mem·ba·ha·ya·kan v 1 mengancam keselamatan; mendatangkan
bahaya (kpd): letusan gunung itu - daerah sekitarnya; 2
mempertaruhkan (nyawanya, kedudukannya): ia bersedia - kedudukannya demi
keadilan”[20]
Saat Negara dalam situasi luar biasa tersebut, seluruh atau sebagian wilayah Negara dapat dinyatakan sebagai dalam keadaan bahaya oleh
Presiden, hal mana terlihat dalam
Pasal 1 UU
No. 23 Tahun 1959:
“(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau
sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan
tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan
perang, apabila:
a. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian
wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan
atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh
alat-alatperlengkapan secara biasa;
b. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
c. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan
khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat
membahayakan hidup Negara”.
Dari Ketentuan di atas,
maka dapat dikemukakan pengertian keadaan bahaya secara ringkas, yaitu:
“Keadaan bahaya adalah suatu keadaan terganggunya keamanan atau ketertiban
umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan
bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari wilayah negara dengan kekerasan
atau timbul ancaman perang atau terjadi perang yang tidak dapat diatasi oleh
aparatur negara secara biasa.[21]
Keadaan bahaya terdiri
dari beberapa tingkatan, sesuai dengan peristiwa yang terjadi yang
melatarbelakanginya, tingkatan keadaan bahaya terdiri atas:
1. Tingkatan keadaan darurat
sipil, yaitu
2.
Tingkatan keadaan darurat militer
3.
Tingkatan keadaan perang
Beberapa catatan yang perlu
dikemukakan terkait keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan perang secara garis besar antara lain:
1. Penguasaan tertinggi dalam
situasi Negara keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.
Sedangkan penguasaan di daerah- daerah,
terdiri dari:
a. Penguasa Darurat Sipil
Daerah adalah kepala daerah yang dibantu komandan militer, kepala
polisi, dan kepala kejaksaan setempat.
b. Penguasa Darurat Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan
Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan
kepala kejaksaan setempat.
c. Penguasa Perang Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan
Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan
kepala kejaksaan setempat.
2. Kewenangan / hak.
a. Penguasa Darurat Sipil Daerah
antara lain berwenang :
1) Melakukan tindakan penggeledahan
2) Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan
3) Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau
melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi dll.
b. Penguasa darurat militer antara lain berhak :
1) Mengatur, membatasi atau melarang segala sesuatu
tentang persenjataan dan barang-barang peledak.
2) Menguasai
perlengkapan-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi
3) Mengadakan
militerisasi terhadap suatu instansi daerah.
4) Melakukan penangkapan dan penahanan hari.[22]
c. Penguasa Perang antara lain berhak:
1) Mengambil atau memakai,
memerintahkan penyerahan barang- barang untuk kepentingan keamanan atau
pertahanan.
2) melarang penggunaan sarana
komunikasi dan informasi
3) Pembentukan milisi / komponen
cadangan
4) mencegah perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian pada ketertiban umum atau pada
kehidupan ekonomi masyarakat.
5) memerintahkan, bersama-sama
dengan larangan tersebut di atas, kepada majikan untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandang layak bagi kepentingan buruh yang bekerja
padanya.
6) mengadakan militerisasi
terhadap instansi daerah.
Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, keadaan bahaya secara umum telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain dalam:
1.
Undang-Undang Keadaan Bahaya
tanggal 6 Juni1946;
2.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 1946 Tentang Pernyataan Keadaan Bahaya di Seluruh
Indonesia;
3.
Undang-Undang Nomor 74 Tahun
1957 Tentang Pengesahan Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang Telah Dilakukan
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17
Desember 1957.
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74
Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) Dan Penetapan Keadaan Bahaya)
5.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 22 Tahun 1960 Tentang Perpanjangan Jangka waktu Berlakunya
Peralihan yang Tersebut pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 No. 139) Tentang
Keadaan Bahaya
6.
Undang-Undang
Nomor 52 Prp Tahun 1960 Tentang Perpanjangan Jangka
waktu Berlakunya Peralihan yang Tersebut pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 No. 139)
Tentang Keadaan Bahaya setelah sebelumnya diperpanjang dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1960.
7.
Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957 Tentang Pencabutan "staat van
beleg" dan Pernyataan Seluruh Wilayah Republik Indonesia, termasuk semua
perairan teritornya, dalam keadaan perang menurut Undang-Undang Keadaan
Bahaya 1957.[23]
Terlihat bahwa keadaan bahaya
juga diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu).
Pemilihan bentuk dasar hukum berupa Perpu,
menunjukkan latar belakang pembuatan perpu harus memenuhi unsur keadaan
bahaya dan unsure kegentingan yang memaksa. setidaknya terdapat 3 unsur penting yang secara bersama-sama
membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.[24]
Perpu lahir dikala negara,
khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Mengalami
hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan
dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. [25]
Hukum Tata Negara Darurat
ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya
yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau normal.[26]
PEMBAHASAN
A.
Substansi Keadaan Bahaya
Usaha
dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum yang baik pada hekekatnya tidak
dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan berbagai
peristiwa hukum dalam masyarakat / negara. Kebijakan penanggulangan oleh Negara berusaha
memberikan perlindungan kepada Negara, masyarakat dan perorangan. Segala usaha tersebut erat kaitannya dengan
tindakan pembaharuan hukum, karena itu pembaharuan hukum adalah merupakan
bagian dari kebijakan/ politik hukum. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut
politik hukum, maka politik hukum identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan berbagai keadaan/ peristiwa yang dialami Negara oleh berbagai
lembaga kenegaraan yang berwenang membuat produk legislasi.
Kebijakan
Legislatif; yang dimaksudkan di sini adalah kebijakan pengundangan[27],
artinya masalah pemahaman tentang keadaan bahaya yang dialami
negara dan pilihan penetapan status bahaya yang
dianggap relevan untuk ditetapkan dalam perumusan perundang – undangan Negara dalam siatuasi darurat, jadi pada dasarnya adalah masalah pilihan politik
(kebijakan masyarakat dimana peraturan perundang – undangan itu ditetapkan).
Saat
menjelaskan istilah kebijakan, Barda Nawawi Arief mengikuti pendapat Sutan
Zanti Arbi dan Wayan Ardhana, yakni:
”pertama, bahwa istilah kebijakan dimaksudkan sebagai pengganti dari
istilah Policy, yang diterjemahkan
dengan istilah “kebijakan”. Secara harfiah, istilah kebijakan mempunyai arti
seperti kepandaian, kemahiran dan
kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Sehingga
kemudian kebijakan legeslatif diartikan sebagai perencanaan atau program dari
pembuat UU mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu”[28].
Tahap
kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis bagi upaya penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana. Tahap ini merupanan tahap formulasi yang menjadi dasar , landasan dan pedoman
bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi [29]. Jadi kebijakan legislatif merupakan kebijakan
(policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu sering juga kebijakan legislatif
disebut dengan irtilah “kebijakan formulatif”[30].
Usaha
penanggulangan keadaan bahaya antara lain dapat dilakukan dengan pembuatan UU
(hukum) keamanan nagara, yang pada hakekatnya merupakan usaha perlindungan masyarakat, sebagai
salah satu upaya penegakan hukum. Ini merupakan suatu upaya yang rasional dalam
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat.
Negara dalam keadaan bahaya dengan
tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan
perang, dapat terjadi jika mengalami berbagai persoalan sebagai berikut:
a. Keadaan keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau
disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak
dapat diatasi oleh alat-alatperlengkapan secara biasa;
b. Keadaan yang menimbulkan perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan
perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
c. Keadaan kehidupan Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari
keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang
dapat membahayakan hidup Negara”.
Penjabaran lebih lanjut mengenai hal tersebut dapat dijelaskan dalam
uraian sebagai berikut:
1.
Keadaan bahaya yang dipicu
oleh pemberontakan dan kerusuhan
Terkait dengan Pemberontakan dan kerusuhan yang mengancam keamanan
atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik
Indonesia, maka kiranya perlu dikaji berbagai tindak pidana terhadap keamanan
Negara. yang
membahayakan Negara.
Kejahatan terhadap keamanan negara merupakan kejahatan yang menyerang kepentingan hukum negara. Sesuai dengan
namanya, maka sebagai salah satu fenomena hukum
kejahatan jenis ini mempunyai
obyek keamanan negara. Aturan Kejahatan
terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat) dimuat
dalam Bab I Buku Ke dua KUHP, mulai dari pasal 104 sampai dengan pasal 129.
Padmo Wahyono mengatakan, bahwa:
“Aturan dalam Bab I Buku Ke dua KUHP adalah suatu aturan terhadap kegiatan
kehidupan ketatanegaraan, yaitu tentang penjagaan terhadap ancaman kehidupan
bernegara. Umpamanya tidak berfungsinya
Presiden, merubah ideologi negara dan sebagainya. Lebih tepat apabila
disebut sebagai Kejahatan Terhadap Pelestarian Kehidupan Negara, karena yang
dijaga di sini adalah berlangsungnya kehidupan bernegara, atau Kejahatan Tata
Negara”[31].
Dirumuskannya kejahatan dalam bentuk demikiani dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum atas
keselamatan dan keamanan negara dari perbuatan-perbuatan yang mengancam,
mengganggu dan merusak kepentingan hukum negara tersebut[32].
Adami Chazami menyatakan bahwa,
“obyek kejahatan dari jenis-jenis kejahatan
terhadap keamanan negara ini ada berbagai bidang mengenai kepentingan hukum
negara, misalnya kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan Presiden dan
Wakilnya, keamanan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, kepentingan hukum
bagi keutuhan wilayah negara, kepentingan hukum atas rahasia negara, kepentingan hukum atas
pertahan dan keamanan negara terhadap serangan dari luar das, yang semuanya itu
tercermin dari rumusan kejahatan dalam pasal-pasal bersangkutan”. [33]
Jadi kejahatan ini memuat tindak pidana yang bersifat
mengganggu kedudukan negara sebagai suatu kesatuan yang berdiri di
tengah-tengah masyarakat internasional yang terdiri dari berbagai negara, yang
masing-masing merdeka dan berdaulat [34].
Sebagai suatu fenomena sosial, maka dalam kriminologi,
batasan kejahatan dipahami sebagai perilaku manusia yang melanggar norma (hukum pidana), merugikan,
menjengkelkan, menimbulkan korban-korban, sehingga tidak dapat dibiarkan[35].
Jadi kejahatan adalah setiap perbuatan yang anti sosial, merugikan, dan
menjengkelkan masyarakat. Masyarakatlah yang menilai perbuatan tersebut baik
atau buruk[36]
Bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara, oleh
karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu
negara beraksi, dengan hukuman sebagai upaya pamungkas[37].
Perlu diketahui bahwa dari berbagai jenis tindak
pidana yang ada dalam kejahatan terhadap keamanan negara memiliki sifat yang jelas. Wiryono Prodjodikoro
menjelaskan, bahwa:
“Sifat pengkhianatan (verraad)-lah
yang merupakan nada bersama dari tindak pidana titel I. Adu dua macam
pengkhinatan, yaitu:
ke-1: Pengkhianatan intern
(hoogverraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur
pemerintahan yang ada, termasuk juga rindak pidana terhadap kepala negara, jadi
mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari negara.
Ke-2: Pengkhianatan ekstern
(landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap
serangan dari luar negeri, jadi mengenai
keamanan ekstern (uitwendige veiligheid) dari negara, misalnya hal memberi
pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan negara kita”[38].
Dari hal di atas dapat diketahui bahwa ada
ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam aturan tentang kejahatan terhadap
keamanan negara itu. Ketertiban hukum
yang harus dileindungi dalam hal ini meliputi:
1.
Keamanan
kepala negara
2. Keamanan wilayah negara
3. Keamanan bentuk pemerintahan[39].
Jadi
apabila ditinjau lebih mendalam permasalahannya sampai ke analisis terhadap
negara termasuk kepentingan negara itu, sehingga faktor waktu dan tempat
menjadi faktor yang dominan untuk melihat perbuatan yang dianggap mengganggu atau mengancam kepentingan negara. Sehingga kejahatan itu dianggap sebagai
kejahatan terhadap berlangsungnya
kehidupan ketata negaraan atau
delik ketata negaraan[40].
Mengenai pemberantasan terhadap pemberontakan dan terorisme,
sebelumnya perlu diketahui secara garis besar apa yang dimaksud dengan
pemberontakan dan terorisme itu.
Pasal 108 KUHP yang menyatakan:
(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana
penjara paling lama I5 (lima belas) tuhun:
1. orang yang melawan Pemerintah dengan senjata;
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintahan
dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan puaa pengatur pemberontakan diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh)
tahun.
Jadi Kejahatan yang diberi kualifikasi oleh pembentuk UU dengan
pemberontakan (opstand) adalah kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 108
KUHP , terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a.
Pemberontakan yang dilakukan
oleh orang yang perbuatannya melawan Pemerintah dengan senjata;
b.
pemberontakan yang dilakukan
oleh orang yang bermaksud melawan Pemerintah Indonesia dengan cara menyerbu
bersama-sama;
c.
pemberontakan yang dilakukan
oleh orang yang bermaksud melawan Pemerintah Indonesia dengan melakukan
perbuatan menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan
senjata.
Kualifikasi Pelaku pemberontakan (opstand) menurut rumusan pasal 108
ayat (1) KUHP tersebut, adalah:
1.
orang yang perbuatannya melawan
Pemerintah dengan senjata;
2.
orang yang dengan maksud
melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama dengan gerombolan yang
melawan pemerintah dengan senjata;
3.
orang yang dengan maksud
melawan Pemerintah menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintahan
dengan senjata.
Sedangkan
kualifikasi pelaku pemberontakan
(opstand) menurut rumusan pasal 108 ayat (2), berupa: pemberontakan yang
diperberat, pemberatan pidana mana diletakan pada kualitas subyek hukumnya,
yang terdiri dari dua, yaitu:
1. orang yang
berkualitas sebagai pimpinan pemberontakan, dan
2. orang yang
berkualitas sebagai pengatur atau perencana pemberontakan.[41]
Pasal ini
seluruhnya tidak ada dalam KUHP Belanda, barangkali karena di negeri Belanda
tindak pidana semacam ini tidak dikhawatirkan akan ada, hanya ada didalam WvS
Hindia Belanda yang dimuat dalam tahun 1930. Pembentuk UU di Negeri Belanda
tidak pernah memikirkan bahwa di Negaranya sendiri akan dapat terjadi kejahatan
pemberontakan seperti yang dirumuskan tersebut diatas. Untuk menjamin
keselamatan pemerintahan Hindia Belanda dari kemungkinan serangan-serangan
seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada pasal 108 tersebut
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang perbuatan apa
yang dirumuskan dalam Pasal 108 KUHP, maka berikut ini akan diuraikan
unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. Adapun unsur-unsur yang terdapat
dalarn Pasal 108 KUHP adalah:
Unsur –unsur dalam Pasal 108
(1) ke-1 KUHP, terdiri dari:
- Melawan dengan senjata.
- Terhadap pemerintah atau kekuasaan.
- Yang ada di Indonesia.
Unsur pertama dalam Pasal 108 (1) KUHP adalah unsur melawan dengan senjata.
Dengan adanya unsur ini, maka agar seseorang dapat dipersalahkan telah
melanggar larangan dalam Pasal 108 (1) KUHP angka ke-l, maka harus.dapat
dibuktikan, bahwa pada saat ia melakukan tindak pidana tersebut ia bersenjata
atau mempergunakan senjata.
Menurut Adami Chazawi,
“Pemberontakan
bentuk ini rumusannya sangat singkat, aslinya berbunyi "hij, die de
wapenen voert tegen het Indonesie gevestigde gezag", yang oleh Prof.
Satochid Kartanegara diterjemahkan dengan `barangsiapa yang mengangkat senjata
terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia" (322). Rumusan dengan terjemahan
dari Satochid, ada perbedaan dengan yang dilakukan oleh BPHN, yakni kata
"de wapenen voert tegen" oleh Satochid diterjemahkan dengan
mengangkat senjata terhadap" sedangkan oleh BPHN diterjemahkan dengan
"melawan dengan senjata", juga kalimat "Indonesie gevastigde
gezag" oleh Satochid diterjemahkan dengan "kekuasaan yang ada di
Indonesia, jadi gezag diterjemahkan dengan kekuasaan, dan BPHN menterjemahkan "Indonesie
gevastigde gezag" dengan "Pemerintah Indonesia", jadi gezag
diterjemahkan dengan pemerintah “[42].
Apa yang
dimaksud dengan senjata (wapenen) tidak saja dalam arti senjata api seperti
bedil, meriam, granat, roket dan alat-alat senjata perang yang sempurna yang
biasanya digunakan oleh Angkatan Perang atau pasukan Kepolisian, akan tetapi
semua jenis senjata apapun yang dapat digunakan oleh orang untuk melakukan
perlawanan (dengan kekerasan), misalnya senjata tajam (tombak, parang, keris,
bambu runcing, panah, arit, celurit) atau palu, tongkat-tongkat kayu atau besi,
ketepil, yang tidak terbatas jenisnya.
Unsur kedua dari Pasal 108
(1) ke-1 adalah unsur terhadap kekuasaan. Patut menjadi catatan, bahwa dalam
unsur ini terdapat banyak perbedaan pandangan.Istilah kekuasaan dalam Pasal 108
(1) ke-1 sebenarnya berasal dari istilah Belanda gezag yang, oleh sarjana lain
juga diterjemahkan sebagai pemerintah.
Sekalipun dalam hal penafsiran atau penerjemahan istilah gezag,
sarjana hukum di Indonesia tidak terjadi kesatuan pendapat,[43] namun pada
hakikatnya di antara perbedaan itu terdapat satu pemahaman di mana kekuasaan
atau pemerintah yang dimaksud dalam tindak pidana ini adalah kekuasaan atau
pemerintah Negara.
unsur yang ketiga yaitu unsur yang ada di Indonesia, maka yang
dimaksud dengan kekuasaan atau pemerintah adalah kekuasaan yang ada di
Indonesia atau pemerintah yang ada di Indonesia. Jadi pengertian
Pemerintah Indonesia, tidak hanya
sekedar badan atau alat-alat perlengkapan pemerintahan negara di pusat maupun
di daerah, melainkan lebih luas dari itu. yaitu berupa kekuasaan umum yang ada
dalam pemerintahan beserta lembaga-lembaga dan bagian-bagiannya, baik
ditingkat pusat maupun didaerah.
Perlu dicatat, bahwa tindak pidana pemberontakan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 108 (1) ke-1 KUHP mempersyaratkan, bahwa perlawanan atau
serangan dengan senjata tersebut harus dilakukan oleh banyak orang dalam
hubungan organisasi. Apabila hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja dan
tidak dalam hubungan organisasi tetapi hanya dilakukan terhadap pegawai
pemerintah atau pegawai pemegang kekuasaan, maka hal itu tidak masuk dalam
tindak pidana pemberontakan sebagaimana diatur dalam Pasal 108 (1), tetapi
hanyalah suatu perlawanan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 212 KUHP.[44]
Unsur-unsur Pasal 108 (1) ke-2 KUHP, terdiri dari:
1. Unsur obyektif, yang terdiri dari:
- melawan.
- terhadap kekuasaan atau pemerintah.
- yang ada di Indonesia.
- maju bersama atau menyerbu bersama-sama.
- atau menggabungkan diri dengan
- suatu gerombolan.
- atau yang melakukan perlawanan bersenjata
- terhadap kekuasaan atau pemerintah.
2. Unsur subyektif: dengan maksud.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 108 (1) ke-2 KUHP
tersimpul, bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan atau pemerintah
yang ada di Indonesia, ketentuan Pasal 108 (1) ke-2 KUHP tidak mempersyaratkan
dipergunakannya senjata oleh pelaku. Dengan perumusan tersebut, maka agar
seseorang dapat dituntut sebagai orang yang melanggar tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 108 (1) ke-2 KUHP, orang tersebut tidak perlu membawa senjata,
melainkan cukup apabila orang tersebut ikut atau bergabung dengan suatu gerombolan
yang sedang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah atau kekuasaan
yang sah di Indonsesia. Bergabungnya orang tersebut ke dalam gerombolan
bersenjata itu juga tidak dipersyaratkan, agar setelah bergabung dengan
gerombolan itu pelaku harus ikut melakukan perlawanan dengan memanggul senjata.
Bergabung dengan gerombolan bersenjata yang sedang melakukan perlawanan
terhadap pemerintah atau kekuasaan yang ada di Indonesia dengan misalnya
menjadi mata-mata, atau hanya sekedar menjadi pengantar berita atau melakukan
pekerjaan-pekerjaan lain yang menjadi bagian dari upaya perlawanan itu
misalnya dengan menyediakan makan bagi para anggota gerombolan tersebut.[45]
Pemberontakan itu ada, bila. perlawanaa atau serangan dengan senjata
tersebut dilakukan oleh orang banyak dalam hubungan organisasi, bila hanya
dilakukan oleh satu atau dua orang saja dan tidak dalam hubungan organisasi
terhadap pegawai pemegang kekuasaan pemerintah
tidak masuk pemberontakan, akan tetapi suatu perlawanan yang diancam
hukuman dalam pasal 212.
Perlawanan itu harus ditujukan kepada kekuasaan pemerintah yang
syah, misalnya ditujukan kepada para penjabat militer, penjabat pemerintah
daerah, penjabat polisi, para pemegang kekuasaan pemerintahan setempat. Untuk
dapat dihukum menurut pasal ini tidak perlu harus ada maksud untuk mengganti
atau merobah pemerintahan lama dengan yang lain, dengan maksud untuk melawan
saja, misalnya, karena merasa tidak puas
dengan keadaan waktu itu, sudah cukup.
Unsur lain dalam Pasal 108 (1) ke-2 KUHP yang masih memerlukan
penjelasan adalah unsur menyerbu bersama-sama atau maju bersama. Unsur maju
bersama" dalam konteks Pasal 108 (1) ke-2 KUHP sebenarnya merupakan
terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda optrekken. Istilah optrekken oleh
sarjana Indonesia kemudian telah diterjemahkan ke dalam berbagai istilah. Ada
sarjana yang menerjemahkan istilah optrekken dengan istilah maju dengan[46],
melawan[47], dan
berbagai istilah yang lain seperti menyerbu dan lain-lain.[48] Kata
"optrekken met" oleh BPHN diterjemahkan dengan menyerbu - lengkapnya
menyerbu bersama-sama, yang oleh Wirjono Prodjodikoro dengan maju - lengkapnya
maju dengan pasukan (1980:208), dan oleh Satochid dengan ikut serta (322).
Dengan contoh istilah bahasa Indonesia itu, memang sukar untuk
mencari arti sebenarnya yang mencakup tiga istilah itu, karena sukar untuk
dapatnya menyatukan arti antara istilah "menyerbu" dengan "turut
serta". Agaknya pengertian istilah "menyerbu bersama-sama" tidak
berbeda jauh dengan "maju dengan pasukan", yang menggambarkan suatu
pengerlian dimana banyak atau segeromboian orang (pasukan) dengan bersama-sama
dan serentak dan terkomando serta terkoordinasi bergerak kesuatu daerah/
wilayah tertentu dengan suatu maksud atau tujuan tertentu yang sama yang incasu
maksud ini adalah untuk melawan Pemerintah Indonesia.
Unsur berikutnya dari ketentuan Pasal 108 (1) ke-2 KUHP adalah unsur
menggabungkan diri. Dalam konteks bahasa Indonesia kiranya tidak terlalu sulit
untuk memalrarni apa yang dimaksud dengan unsur tersebut. Dalam hal ini rasanya
istilah tersebut tidak menimbulkan kesulitan pemahaman, sebab istilah tersebut
sudah menjadi istilah umum yang orang dengan mudah dapat membayangkan apa yang
dimaksudnya itu.
Perbuatan
menggabungkan diri dalam perwujudannya dapat bermacam-macam bentuk. Bentuk itu
dapat benrupa mendaftarkan diri secara tertulis atau lesan dan diterima secara
tertulis atau lesan, atau bisa juga bentuk yang lebih konkrit berupa menjadi kurir, juru
masak, menerima tumpangan, memberi makan, melakukan kegiatan mata-mata, semua
perbuatan itu bagi kepentingan kelompok atau gerombolan yang melawan Pemerintah
dengan senjata itu.
Perbuatan
menggabungkan diri (zicht aansluiten) memang tidak diperlukan dengan
menggunakan senjata, karena snfat dari menggabungkan diri itu tidak dengan
menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun, melainkan dilakukan secara sukarela.
Sedangkan penggunaan senjata selalu berhubungan dengan kekerasan. Justru jika
bergabung itu karena paksaan baik dengan menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan, maka terhadap perbuatan yang demikian ini, adalah dalam keadaan daya
paksa, maka. orang itu tidak dijatuhi pidana, melainkan diputus oleh hakim berupa
pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervoiging). Oleh sebab itu
jelaslah bahwa menggabungkan diri (dengan gerombolan) itu dilakukan dengan
sukarela.
Unsur lain dalam Pasal 108 (1) ke-2 KUHP adalah unsur suatu
gerombolan. Dalam konteks Pasal 108 (1) ke-2 KUHP, rnaka yang dimaksud
gerombolan adalah gerombolan yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau
kekuasaan yang sah di Indonesia. Apakah yang dimaksud gerombolan? Menurut
Memory van Toelichting (MvT), istilah atau unsur gerombolan dalam konteks Pasal
108 (1) ke-2 KUHP menunjuk pada.suatu kelompok orang-orang yang memperjuangkan
suatu tujuan politik tertentu. Dengan batasan yang diberikan oleh Memory van
Toelichting di atas cukup jelas kiranya apa yang dimaksud dengan gerombolan.
Berdasarkan pengertian ini,
kiranya Partai Politik dapat juga disebut dengan suatu gerombolan (bede) yang
dimaksudkan ini. Kalau ada sebuah Partai Politik yang kegiatannya melawan
Pemerintah, dan ada anggota-anggotanya melakukan perbuatan menyerbu, atau ada orang
yang bukan anggota kemudian bergabung menjadi anggota, maka kedua perbuatan itu
adalah pemberontakan dalam arti pasal 108.
Berikut ini akan dikupas sedikit tentang ketentuan dalam Pasal 108
(2) KUHP. Ketentuan Pasal 108 (2) KUHP menegaskan, bahwa pemimpin-pemimpin dan
pengatur-pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara lima belas tahun penjara. Hukuman itu dinaikkan
sampai hukuman penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun kalau mengenai
pemimpin atau pengatur pemberontakan ini, dengan kemungkinan hukuman mati
menurut Penetapan Presiden no. 5 tahun 1959.
Ketentuan Pasal 108 (2) KUHP di atas pada hakikatnya memberikan
penegasan, bahwa terhadap orang yang menjadi pemimpin atau pengatur tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 108 (1) KUHP diancam dengan pidana yang lebih
berat dibandingkan bagi mereka yang melakukan tindak pidananya itu sendiri
(sebagai anggota/ orang yang dipimpin). Penegasan ini sangat logis, sebab
sangat wajar kiranya apabila seorang pemimpin itu diberi tanggung jawab yang
lebih berat daripada orang yang dipimpinnya. Dalam konteks Pasal 108 KUHP
sangat wajar apabila terhadap pemimpin gerombolan itu diberikan sanksi yang
berat.
Pasal ini dimuat dalam K.U.H.P. dalam tahun 1930 untuk menggantikan
pasal 109 K.U.H.P. Yang lama. Alasan utama dari penggantian itu ialah karena
dalam pemberontakan didaerah Jakarta dan Banten dalam tahun 1926 terhadap
pemerintah Hindia Belanda dahulu para organisator daa pemimpinnya yang mengatur
pemberontakan itu tidak dapat dikenakan pasal 109 K.U.H.P. lama, jika mereka
tidak turut serta melaksanakan pemberontakan itu. Ketentuan dalam ayat (2) dari
pasal 108, bahwa pemimpin atau pengatur pemberontakan malahan dihukum lebih
berat itu dalam pasal 109 KUHP lama
tidak ada:
2.
Keadaan Bahaya yang disebabkan oleh Tindak PidanaTerorisme.
Sedangkan pengertian tindak pidana terorisme bisa dilihat pada
uraian tentang pasal 6 dan pasal 7 dari UU no. 15 tahun 2003, yang intinya
terdapat dua macam tindak pidana yaitu tindak pidana teror dan tindak pidana
yang terkait dengan tindak pidana teror. Tindak pidana teror terdiri dari dua
bagian, yaitu rumusan umum dan rumusan tindak pidana tertentu yang
diklasifikasikan sebagai tindak pidana teror.
Sementara kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang
lain merasa ketakutan, sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak
ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya .Terorisme
digunakan sebagai senjata psykologis untuk menciptakan suasana panik, suasana
tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati
kehendak pelaku teror tersebut.
Terrosime tidak mengenal batas negara maupun pemerintahan. Sehingga
dengan demikian sudah menjadi permasalahan internasional, dimana masing-masing
negara berusaha untuk menangkalnya. Disatu pihak terorisme dianggap sebagai
pahlawan, tetapi dipihak lain terorisme
amatlah dikutuk. Dua kutub yang saling berbeda pendapat sering mengakibatkan
hubungan yang tegang antara satu negara dan negara lain. Ditambah dengan ikut
campur negara-negara lain yang ikut menyatakan simpati kepada salah satu negara
atau pemerintah yang bersengketa, menyebabkan rasa ketidakamanan di kalangan
masyarakat. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi
perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Terutama
diinginkan adanya perhatian atas perbuatan teror tersebut[49].
Apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme dalam
UU no. 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[50]. Dalam
UU tersebut terdapat dua macam tindak pidana yaitu tindak pidana teror dan
tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana teror. Tindak pidana teror
terdiri dari dua bagian, yaitu rumusan umum dan rumusan tindak pidana tertentu
yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana teror.
Tindak pidana terorisme itu
dirumuskan dalam dua pasal yaitu Pasal 6 yang mengandung delik materil dan
Pasal 7 mengandung delik formil.
Pasal 6 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun.”[51]
Dalam ketentuan umum UU
no.15 tahun 2003 dirumuskan tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU ini. (Pasal 1 ayat 1). dan
pasal 6 UU no.15 tahun 2003, terorisme didefinisikan sebagai: “perbuatan
yang merupakan kekerasan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional”. [52]
Berkaitan dengan itu Ali
Syafa’at mengutip pendapat dari T.P.
Thornton dalam Terror as a Weapon of
Political Agitation (1964)yang mendefinisikan, bahawa:
“Terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku
politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan
dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa
untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan
yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tersebut.”[53]
Sedangkan
menurut Tjipta Lesmana:
Terorisme adalah tindak kekerasan
yang terencana rapi dan bermotivaskan politis, ditujukan kepada target sipil
dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin
dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Dalam definisi lain dikatakan
tujuan tindak teror adalah menciptaklan state of terror (suasana
teror/ketakutan) di dalam masyarakat. [54]
Selanjutnya Penjelasan pasal 6
menerangkan yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran
lingkungan hidup" adalah tercemarnya/ rusaknya kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
lainnya.Termasuk dengan sengaja melepaskan/ membuang zat, energi, dan/atau
komponen lain yang berbahaya/ beracun ke dalam tanah, udara, air permukaan yang
membahayakan
orang.
Todung Mulya Lubis, mengomentari:
“Rumusan definitif seperti dalam pasal 6 ini akan menyulitkan orang/
rakyat mengira apakah tindakannya merupakan tindakan terorisme/ bukan.
Kesulitan dalam memprediksi sedari awal sebuah tindakan itu bisa dilihat dari suasana terror/ rasa takut terhadap orang
secara meluas . Pengertian suasana teror dan rasa takut secara meluas itu
sama sekali tidak ada kuantifikasinya di sini. Begitu juga objek-objek vital yang strategis yang tidak dijelaskan secara
rinci. Jika sebuah definisi tidak mengandung kerincian dalam
menunjukkan unsurnya maka penentuan terpenuhinya unsur pidana terorisme akan
sangat ditentukan oleh kehendak dan pandangan subyektif penyelidik atau
penyidik. Sehingga pada gilirannya akan sangat mudah diseleweng-kan berbagai
pihak, terutama kalangan intelijen yang setiap laporannya dapat menjadi
barang bukti permulaan yang cukup. Ketidakrincian
juga terlihat dalam merumuskan apa yang dimaksud secara jelas tentang
obyek-obyek vital strategis. Ini akan sangat mudah dimanipulasi dan
dimanfaatkan oleh MNC (Multinational
Corporation) atau perusahaan besar dan instansi tertentu untuk mengintimidasi
rakyat di sekitarnya jika terjadi perselisihan. atau barang”[55].
Dengan mengetengahkan dua unsur pidana dari delik materil pada Pasal
6 di atas bisa dilihat bahwa definisi mengenai tindakan terorisme dalam Perppu
ini belum memadai dan belum rinci untuk mengkalkulasi sebuah tindakan dan
akibat tindakan yang akan dijadikan sebagai unsur pidana dalam kuantifikasi
pidana terorisme.
Pasal 7 “Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”
Sedangkan dalam Pasal 7 yang merupakan delik formil yang
dijadikan unsur pidananya adalah niat yang dirumuskan “bermaksud”. Menjadikan
niat atau “bermaksud” sebagai unsur tindak pidana pada gilirannya akan
mendatangkan kekuasaan yang berlebihan kepada pihak intelijen dalam mencokok
siapa saja sebagai teroris. Karena “bermaksud” tidak diperlukan bukti material,
maka aparat polisi, intel atau TNI bisa saja menangkap orang atau menyadap,
mengintai orang atau menuduh orang sebagai teroris tanpa orang itu berbuat
sesuatu. Dengan kata lain rumusan “bermaksud” hanya cukup dengan keyakinan
subjektif seseorang penyelidik atau penyidik dalam memenuhi unsur ini.
Perbedaan
kedua pasal di atas adalah Pasal 6 merupakan tindak pidana selesai sehingga
unsur yang harus dibuktikan adalah akibat perbuatan berupa munculnya suasana
teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.
Sedangkan Pasal 7 adalah tindak pidana tidak selesai (percobaan) sehingga yang
harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa
takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun
ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan[56].
Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, masing-masing bisa
ditafsirkan meliputi dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya,
yaitu:
1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menim-bulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.
Rumusan Tindak pidana ini menitikberatkan pada munculnya
akibat yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat masal dan cara yang digunakan yaitu: merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (dalam pasal 7
harus dibuktikan maksud untuk mencapai akibat tersebut). Yang perlu diperjelas
dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror? Kalau yang
dimaksud adalah ketakutan atau korban secara massal seharusnya “suasana teror”
tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat keamanan.
2. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional.
Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri
karena sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti ketakutan dan
korban massal sehingga kedudukannya sejajar dalam struktur kalimat, dan tidak
bisa disejajarkan dengan unsur “dengan cara”. Hal ini sangat berbahaya karena
mengandung ketidakjelasan tentang perbuatan kekerasan apa sebagai caranya,
serta apa yang dimaksud dengan obyek vital strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik dan fasilitas internasional. Dengan ketentuan ini sebagai
contoh perbuatan yang dapat dijaring adalah: aksi demonstrasi yang “merusak”
pagar DPR/MPR atau lembaga negara dan instansi pemerintah atau lembaga
internasional, dan aksi reklaiming tanah oleh petani dapat dikategorikan
merusak lingkungan. Berdasarkan tafsiran ini, sebuah tindakan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana teror tanpa perlu adanya ketakutan dan
korban secara massal.[57]
Dalam kedua pasal 6 dan 7 di atas
terdapat tiga istilah yang sangat luas pengertiannya atau multi
intepretatif, yaitu: pertama istilah, “mengintimidasi”. Kedua, istilah “proses peradilan menjadi terganggu” dan ketiga, istilah “tidak langsung”. Kata
“mengintimidasi” bisa ditafsirkan bermacam-macam, mulai tindakan nyata sampai
dengan pendapat atau komentar. “Intimidasi” bisa dilakukan oleh siapa saja,
baik masyarakat, akademisi, atau Lembaga
Swadaya Masyarakat. Nantinya jangan coba-coba mengomentari penanganan kasus
tindak pidana teror karena bisa dituduh “mengintimidasi. Istilah-istilah tersebut akan membuat orang sulit untuk
memperkirakan apakah tindakannya melawan Perppu ini ataukah tidak
(unpridictable). Setiap orang dengan demikian akan menjadi kuatir atau takut
aktifitasnya akan dikualifikasikan sebagai perbuatan terorisme.
Secara mendasar persoalan pokok dari UU no 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu
No.1/2002 ini adalah longgarnya definisi mengenai tindakan terorisme itu
sendiri. Definisi yang longgar ini akan mudah mendatangkan kecerobohan dari
aparat terkait dalam mejalankannya dan sebaliknya menyulitkan masyarakat
memperkirakan tindakannya.
Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau
sekelompok individu, dan suatu organisasi. Tindakan teror yang dilakukan
oleh negara telah dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM (gross violation against human rights)[58]. Jadi pelaku tindak pidana teror yang
masih membutuhkan pengaturan adalah individu dan organisasi non negara [59]. Pelaku tindakan teror utamanya adalah pelaku
yang merupakan bagian dari suatu organisasi
dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu.
Namun dijumpai pula beberapa kasus teror yang dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang, bukan sebuah organisasi, dengan motivasi politik atau
keyakinan tertentu.
Rumusan tindak pidana teror selanjutnya, disebutkan
dalam Pasal 8, yang mengharuskan adanya kesengajaan dan memungkinkan
menjerat kealpaan sebagai suatu
perbuatan terorisme ( pasal 8, d dan g )[60]. Pasal 8 memasukan 18 macam perbuatan sebagai
tindak pidana teror dan dipidana sama dengan tindak pidana teror dalam Pasal
6, yaitu setiap orang yang:
“a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau
merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara / menggagalkan usaha untuk
pengamanan bangunan tsb;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya
/rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha
untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan
penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau
memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat
untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau
menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang
keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan
atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. karena alpa menyebabkan pesawat udara celaka,
hancur, tak dapat dipakai,/ rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan
kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak
dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang
dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya,
ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan
hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara
dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan
perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan
permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,
mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara
sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk
merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan
perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara
tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat
udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang
menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan
/menyebabkan ditempatkannya di dalam
pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat/bahan yang dapat
menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang /menyebabkan
kerusakan pesawat udara tsb yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih,
sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih
dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam huruf l, m, n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah
palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam
penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang
dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam
pesawat udara dalam penerbangan”.
Selain yang
tersebut dalam pasal 6 dan pasal 7, maka tindak pidana lain yang dimasukkan
sebagai tindak pidana teror, yaitu dalam ketentuan Pasal 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, dan 16. Pencermatan terhadap pasal-pasal ini seperti pada Pasal 8 akan
menunjukkan kecenderungan “teorisasi” tindak pidana biasa.
Secara khusus
disini patut dilihat ketentuan pasal 14 yang berbunyi:“Setiap orang yang
merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup.”
Kata “merencanakan” dalam pasal ini, coba untuk
disambungkan dengan Kata “menggerakkan”, sehngga mempunyai pengertian bias.
Pasal ini bisa menjerat dan membelenggu kebebasan mengemukakan pendapat dan
kebebasan pers. Kata “menggerakkan” tidak memiliki ukuran jelas sehingga bisa
saja ditafsirkan yang “memotivasi” atau yang “menginspirasi” dari suatu
perbuatan yang masuk kategori tindak pidana teror. Seorang guru, ulama, pastor,
atau pengamat dapat dikenai pasal ini jika kemudian ada seseorang yang
melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan mereka. [61]
Dalam Penjelasan UU AntiTerorisme dikatakan bahwa Terorisme telah
menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat
secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh
karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan; terorisme mempunyai jaringan yang luas
sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional.
Pemberantasan Pemberontakan dan terorisme didasarkan pada komitmen
nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan
nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme. Ini merupakan kebijakan dan
langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan
keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi
manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras,
maupun antargolongan ;
Pemberontakan dan terorisme itu merupakan ancaman keamanan nasional.. Ancaman itu sendiri
mempunyai hakekat majemuk (the nature of threat).Ancaman dapat ber-bentuk fisik
atau non fisik, konvensional atau nonkonvensional, global atau lokal, segera
(immediate) atau mendatang (future), potensial atau aktual, militer atau non
militer, langsung atau tak langsung, dengan kekerasan bersenjata atau tanpa
kekerasan bersenjata, ancaman perang tak terbatas atau perang terbatas, datang
dari luar negeri atau dari dalam negeri.
Atas dasar pertimbangan ini banyak negara yang melengkapi instrument
pengaturnya dengan Undang-undang tentang Keamanan Dalam Negeri (Internal
Security Act/ISA) seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Amerika Serikat
baru saja menerbitkan ISA. ISA adalah instrumen pengatur untuk men-dukung
tindakan cepat otoritas Keamanan Nasional dalam menanggulangi gangguan keamanan
dalam negeri yang disebabkan oleh ancaman non tradisional[62].
Sebenarnya baik Singapura, Malaysia maupun Thailand "meniru"
Indonesia yang telah sejak lama mempunyai Undang-undang tentang Anti Subversi
guna menanggulangi ancaman non tradisional, dan UU keadaan bahaya untuk daerah-daerah yang terkena konflik/
pemeberontakan. Namun seiring dengan gencarnya reformasi nasional UU ini
dianggap sangat represif dan melanggar HAM sehingga UU ini kemudian dicabut.
Dari uraian di atas dapat dikatakan secara
universal banyak negara melengkapi manajemen Keamanan Nasionalnya dengan
beberapa instrumen pengatur seperti UU tentang Keamanan Nasional (NSA), UU
tentang Keamanan Dalam Negeri (ISA), UU tentang Intelijen Negara, UU tentang
Keadaan Darurat/ Emergency Act, UU
tentang Kepolisian, sebaliknya belum ada negara mempunyai UU tentang Pertahanan
Negara kecuali Indonesia paska reformasi. Pada masa lalu, UU tentang Pertahanan
Keamanan Negara RI dapat disetarakan dengan NSA. [63]
Dari hal di atas ada beberapa catatan yang kiranya dibutuhkan dalam pemberantasan pemberontakan
dan terorisme, yaitu:
1). Diperlukan adanya Peningkatan kemampuan instusi
kepolisian yang menurut ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya bertugas
menanggulangi kelompok mana yang menjadi master mind aksi pemberontakan dan
terorisme. Dengan cara meningkatkan keamanan di pusat kegiatan publik
seperti hotel, mal, bandara, terminal, instansi pemerintah dan swasta dalam
rangka mencegah serangan fisik kaum teroris. Dan penerapan keadaan darurat
sipil, darurat militer sampai keadaan perang di daerah rawan pemberontakan.
Termasuk ide pembentukan Satuan Gugus Tugas Anti teroris (Counter Terrorism
Task Force/ CTTF) pada Februari 2003 oleh
Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
2). Pembuatan suatu instrumen hukum yang lebih keras
untuk menghadapi kelompok-kelompok Pemberontak dan teroris. Dengan harapan
pencegahan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. Di daerah konflik dengan pencabutan
status DOM (missal; di Aceh), pencabutan status keadaan bahaya, tawaran
pemberian amnesty dan perjanjian genjatan senjata. Dalam penanganan terorisme,
perlu tindakan Adopsi Hukum Pidana Internasional dan ratifikasi berbagai
konvensi internasional sejak tahun 1937 mengenai terorisme telah menempatkan
Tindak Pidana Terorisme sebagai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana internasional
Sekedar
catatan, sebenarnya UU No. 15 dan 16 Tahun 2003 juga sudah lebih keras
dibandingkan dengan KUHP dan undang-undang sebelumnya yang dibuat dalam rangka
menanggulangi tindak pidana yang dikategorikan sebagai ordinary crime. Sebagai
instrumen hukum untuk menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat extra
ordinary crime. UU No. 15 dan 16 Tahun 2003 juga dibuat dengan memperhatikan
kaidah-kaidah hukum yang tidak lagi bersifat umum tetapi sudah bersifat
spesifik antara lain penerapan asas Retroaktif serta Non Lapse of Time kecuali
terdakwa meninggal dunia dan sesuai kaidah hukum universal.
Kebijakan
yang masih dalam tataran perdebatan adalah keinginan pemerintah untuk
menerapkan Internal Security Act seperti diterapkan di Singapura dan Malaysia.
Melalui ISA pemerintah berharap dapat melakukan pencegahan bersifat
repressive-preventive dengan memberlakukan penahanan bersifat nonjudikatif selama kurun waktu
tertentu terhadap orang yang diindikasikan kelompok teroris atau
setidak-tidaknya merencanakan kegiatan terorisme.
3). Peningkatan peran serta dalam kehidupan
ketatanegaraan dan Keterbukaan acces to justice. Karena tindak pidana
pemberontakan dan terorisme oleh beberapa ahli hukum dikatakan sebagai
political criminal di mana aktivitas kejahatannya dilakukan untuk tujuan
bersifat ideologis. Kejahatan tersebut dilakukan bukan atas dasar motivasi
nafsu dan keinginan pribadi, tetapi atas keyakinan pelaku bahwa mereka sedang
memperjuangkan atau mempercayai adanya
suatu moralitas yang lebih tinggi untuk menggantikan moralitas
masyarakat dan rezim yang saat itu ada.
4). Peningkatan peran/ kemampuan keamanan,
misalnya instusi intelijen seharusnya
lebih dikedepankan karena dengan alasan struktur dan aktivitas kelompok
pemberontak dan terorisme identik dengan struktur dan aktivitas intelijen,
contoh:
- Adanya pemberian status otonomi khusus dan
pemberlakuan syari’at Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam..
- Adanya ide pembentukan sekolah penanggulangan
teroris Asia Tenggara yang di Indonesia.
- Gagasan Negara Australia menerapkan upaya
pertahanan laut (konsep Australia Maritime International Zone (AMIZ)/ Zona
Informasi Maritim Australia) dengan memasang radar dengan jangkauan hingga 1000
mil laut atau sekitar 1850 kilometer dari kawasan perairannya dalam upaya
menanggulangi tindakan teroris.[64]
-
Tindakan Jepang memperketat
pengamanannya dari kemungkinan ancaman teroris. Setiap warga negara asing di
negeri sakura itu diambil foto dan sidik jarinya. Bahkan, direncanakan, menempatkan polisi udara di setiap
penerbangan.[65]
- AS dan Australia menyatakan tekadnya melakukan
serangan pendahuluan (pre-empt strike) untuk menangkal terorisme, Demikian juga
Rusia mengumumkan haknya untuk melakukan serangan pencegahan (preventive
strike). Serangan tersebut, serangan preventif ke seluruh dunia, menurut
Moskow, akan dilakukan terhadap setiap pangkalan teror di mana pun di dunia ini.
[66]
5). Keinginan pemerintah untuk menanggulangi
pemberontakan/ terorisme sebagai
implementasi kewajiban negara melindungi warganya tidak boleh terjebak kepada suatu tindakan yang mengarah
kepada abuse of power yang dapat menimbulkan pemberontakan dan terorisme bentuk
lain yaitu State Terrorism, yang akan menempatkan Pemerintah Indonesia sebagai
pelaku pelanggaran HAM di mata masyarakat Internasional, contoh Kasus Timor
Timur.[67]
3. Keadaan
Bahaya Yang Disebabkan Tindak Pidana Yang Mengancam Pertahanan Negara
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa
dan negara. Dalam penerapan hukumnya sangat ditunjang oleh adanya Sistem
pertahanan Negara.
Sistem pertahanan Negara, yang di maksud disini merupakan suatu
sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. [68]
Di Indonesia Berkaitan dengan masalah pertahanan Negara telah diatur
dalam UU no. 3 tahun 2002
Tentang Pertahanan Negara, UU tersebut mereupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan
Lembaran
Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1988 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan
Lembaran
Negara Nomor 3368), dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ketatanegaraan Republik Indonesia dan perubahan kelembagaan
Tentara Nasional Indonesia, yang didorong oleh perkembangan
kesadaran hukum, yang hidup dalam masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut
perlu diganti.
Dalam Pelaksanaannya, proses penegakan hukum Pertahanan negara
bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala
bentuk ancaman. Sehingga Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan
mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu
kesatuan pertahanan.
Untuk itu Pertahanan negara
diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal
negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman. Karenanya, pertahanan
Negara terutama akan diselenggarakan
oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara..
Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan
negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan mendukung kebijakan
nasional di bidang pertahanan.
Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer
menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung
oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sistem pertahanan negara dalam
menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang
pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang
dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.
Unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa terdiri dari:
- Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
- Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem
pertahanan negara.(2) Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara
yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem
pertahanan Negara”[69].
Dari pasal-pasal di atas bisa dilihat bahwa konsep Pertahanan Negara
menekankan pada segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa,
dengan sistem pertahanan yang bersifat semesta [70], yang melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya
sebagai komponen pertahanan negara. Tujuannya untuk menjaga dan
melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. [71]
Ancaman pertahanan negara, sebenarnya merupakan Ancaman terhadap
kedaulatan Negara, semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang
menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar
negeri maupun dari dalam negeri. [72].
Ancaman bisa berupa ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer, berbentuk antara lain:
a.
Agresi berupa penggunaan
kekuatan bersenjata negara lain terhadap
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau dalam
bentuk dan cara-cara,[73]:
b. Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain, baik yang
menggunakan kapal maupun pesawat non komersial.
c.
Spionase yang dilakukan oleh
negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia militer.
d. Sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan obyek vital
nasional yang membahayakan keselamatan bangsa.
e.
Aksi teror bersenjata yang
dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau yang bekerja sama dengan
terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri yang bereskalasi tinggi
sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa.
f.
Pemberontakan bersenjata.
g. Perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata
dengan kelompok masyarakat bersenjata lainnya. [74]
Ancaman yang bersifat multi dimensional tersebut bersumber dari
permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan yang
terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap,
bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan
lingkungan.
Fungsinya pertahanan Negara adalah untuk mewujudkan dan
mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu
kesatuan pertahanan. Dan Penyelenggara pertahanan negara, adalah pemerintah,
dalam menghadapi ancaman militer maka menempatkan Tentara Nasional Indonesia
sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung[75]. Sistem
pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga
pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk
dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari
kekuatan bangsa. Untuk itu Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam
pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan
Negara[76], dengan menetapkan kebijakan umum pertahanan
negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan
sistem pertahanan negara, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, HAM,
kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum
internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan
secara damai.
UU Pertahanan Negara ini isinya mengesankan hanya mengatur tentang
pemberian wewenang yang lebih besar pada pihak militer untuk berkuasa dan tidak
mengatur syarat-syarat keadaan bahaya dan prosedur keselamatan negara dari
ancaman krisis ekonomi, politik, sosial budaya, dan iptek[77].
Menimbulkan penafsiran bahwa UU ini
memiliki tujuan tendensius untuk memberikan kekuasaan dan wewenang
berlebihan terhadap militer Hal mana terlihat dari dimungkinkannya TNI
untuk melakukan operasi militer, sebagaimana yang tergambar dalam
penjelasan pasal 10 ayat 3 (c), yakni:
“Operasi militer pada dasarnya, terdiri atas operasi militer untuk
perang dan operasi militer selain perang. Operasi militer meliputi kegiatan
terencana yang dilaksanakan oleh satuan militer dengan sasaran, waktu, tempat,
dan dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan
terinci. Operasi militer selain perang, antara lain berupa bantuan kemanusiaan
(civic mission), perbantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, bantuan kepada pemerintahan
sipil, pengamanan pelayaran/penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan
(Search And Resque), bantuan pengungsian, dan penanggulangan korban bencana
alam.Operasi militer selain perang dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau
peraturan perundang-undangan” [78].
Sehingga hal ini memerlukan
pengkajian lebih mendalam, mengingat "pertahanan negara" dari ancaman
pihak asing adalah tugas TNI, sedangkan "keamanan" dalam negeri
adalah tugas polisi. Secara yuridis formal TNI dan Polri telah dipisahkan, maka
UU yang mengatur TNI selaku militer dan Polri harus dipisahkan sebagai UU
Militer dan UU Kepolisian. Dan beresiko tinggi melahirkan rejim militer di
Indonesia karena tujuannya adalah memberi kekuasaan yang sangat besar pada
militer untuk berkuasa di atas hukum apapun, setelah perseorangan Presiden
dengan pengaruh Pejabat Militer dengan mudahnya dapat mengesahkan keadaan
darurat.
UU ini memberi peluang pada militer untuk berkuasa total dengan
menggantikan fungsi keamanan domestik yang merupakan tugas Polri dan fungsi
administratif pemerintahan sipil baik pusat maupun daerah. Bahkan UU ini bisa
memberikan peluang pada militer untuk memberlakukan hukumnya sendiri di atas
hukum yang berlaku dan mengambil alih pengadilan tindak pidana sipil oleh
peradilan militer. diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya
banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan demokrasi, dan
akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat karena merasa kebebasannya direnggut
penguasa militer. [79]
Dengan demikian sistem pertahanan negara "Militerisme"
bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara, namun justru berpotensi
menimbulkan perang saudara yang mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan
bangsa[80].
Warna militerisme yang kental di Indonesia, sedikit terungkap
dalam laporan Al-Qaeda in South-east
Asia: the Case of the "Ngruki Network" in Indonesia (2002) ditulis oleh Direktur International Crisis
Group, Sidney Jones, peneliti dari Amerika Serikat. Telah diulas tentang “JI
itu bernama JARINGAN ISTANA”, Di sini
Jamaaah Islamiyah (JI) tergambarkan - meski menyisakan ada kesangsian [81]. Lebih jelasnya laporan tersebut menulis sebagai berikut:
“Kelompok bayang-bayang, siluman bahkan hantu kondang. Begitulah
anggapan sebagian orang terhadap Jamaah Islamiyah (JI). Anggapan ini tidak
salah. Pasalnya, sosok JI memang temaram. Yang aneh, Perserikatan Bangsa-Bangsa
sampai repot hingga memasukkan JI ke dalam daftar teroris internasional, seusai
JI disebut-sebut terlibat serangan bom di Kuta, Bali, 12 Oktober.
Amerika, dengan semua propaganda, menggambarkan JI punya jaringan
sel di Asia Tenggara. Tujuannya; mendirikan negara Islam se-Asia Tenggara. Tapi
siapa pemimpin JI tidak jelas. Penasehat senior Singapura, Lee Kuan Yew, usai
dapat masukkan dari intelijen Singapura, menuding Abu Bakar Ba'asyir sebagai
pemimpin umum JI, meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan mudah, pengasuh
Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, membantah tudingan Lee.
JI tak terlepas dari tiga peristiwa penting. Yakni, Darul Islam (DI)
pimpinan Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, pemberontak Kahar
Muzakar di Luwu, Sulawesi Selatan dan perlawanan DI di Aceh yang memunculkan
Gerakan Aceh Merdeka.
Tiga peristiwa tersebut, dalam kadar yang berbeda, mempengaruhi apa
yang disebut 'Ngruki Network' (jaringan Ngruki) --pimpinan Ba'asyir dan
Abdullah Sungkar. Selama satu dekade, pemerintahan RI bisa menghancurkan DI.
Sidney Jones juga mengupas tentang sikap pemerintah terutama di masa rezim Presiden
Soeharto dalam menghadapi gerakan bernafaskan Islam itu.
Mendekati Pemilu 1977, ditulis Sidney Jones, partai berbasis Islam
(PPP) berupaya mengumpulkan kekuatan sebagai oposisi setia. Soeharto, rupanya,
ketakutan. Lalu, ia mendahului untuk memiliki kemungkinan suara PPP yang besar.
Almarhum Jenderal TNI Ali Moertopo, pemimpin operasi rahasia atau operasi
khusus (Opsus) Soeharto, menggiatkan kembali DI. Lewat cara ini, Ali Moertopo
berharap rakyat tidak ingin diidentifikasikan dengan bentuk politik Islam
apapun. Untuk itulah, ia menggiatkan agen intelijen BAKIN.
Lewat intelijen BAKIN, para pejuang DI --terutama di Jawa-- dibujuk
agar menghubungi teman-teman seperjuangan mereka. Rayuannya kejatuhan Vietnam
Selatan menghadapkan Indonesia pada bahaya komunis. Sejumlah pimpinan DI
termakan umpan Ali Moertopo. Lalu, pemerintah menahan 185 orang termasuk
Ba'asyir dan Sungkar, sebagai anggota organisasi bernama; Komando Jihad.
Dalam realitanya, tulis Jones, Komando Jihad hanya ciptaan Ali
Moertopo. Komando Jihad dipimpin oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) dan Haji
Danu. Hispran disebut-sebut sebagai agen BAKIN. Di pengadilan, Haji Danu jelas
mengatakan dirinya telah direkrut BAKIN untuk menjadi intel, sejak 1971. Di
persidangan, muncul "Jemaah Islamiyah" (komunitas Islam). Dan istilah
itu ditemukan dalam dokumen pengadilan, 1980. Jaksa penuntut menunjukkan bukti
JI adalah organisasi dengan kepemimpinan yang bisa diidentifikasi.
JI yang dimaksud jaksa sebenarnya yakni JI struktural bentukan
Moertopo. (Baca: Perkembangan dan Perpecahan JI Tahun 1995-2000). Pada tahun
1995, struktur kepemimpinan kubu Solo dan Kudus (Ba'asyir dan Sungkar) ke luar
dari JI struktural. Mereka lalu bergabung dengan Ikhwanul Muslimin Mesir Jemaah
Islamiyah. Pada tahun ini kelompok itu mengembangkan Daulah Islam Nusantara
(DIN), lantas membikin Angkatan Muslim Islam Nusantara (AMIN).
Dari sinilah, muncul sosok bernama Riduan Isamuddin alias Hambali.
Jones dalam laporannya menulis bahwa Hambali alias Enceng Nurjaman, diprediksi
sebagai kontak utama Al-Qaeda di Indonesia. Sebenarnya, Hambali masuk ke JI
nonstruktural selaku seorang intruder (penyusup). Ia disusupkan pemerintahan
Soeharto lewat Opsus dengan sandi G-8. Dulunya, ada G-1, G-2, G-3 dst. Tugas
Hambali; membangun struktur keuangan JI nonstruktural, mengirim anak-anak bekas
JI Aceh yang berada di Malaysia sebagai Bantuan Tenaga Operasi (BTO) Jaring
Merah. Mereka disusupkan ke GAM dengan cita-cita Republik Islam Aceh. Mereka
dikirim untuk memicu konflik di daerah.
JI, di bawah Hambali yang terhubung dengan istana kepresidenan
Soeharto, tidak lagi kependekkan dari Jamaah Islamiyah namun juga Jaringan
Istana. Sumber-sumber intelijen mengatakan bahwa JI yang berarti Jaringan
Istana saat ini memiliki anggota mencapai 305 orang. Jaringan Istana membangun
aliansi di 10 provinsi. Keuangannya; melimpah. Setiap bulan, ada kucuran dana
mencapai Rp 1,5 miliar untuk gelar operasi-operasi Jaringan Istana.
Jaringan Soeharto yang dipimpin Hambali ini melakukan latihan
militer di kamp Abubakar di Filipina Selatan. Kepala Polri (Kapolri), Jenderal
Pol. Da'i Bachtiar, mengatakan polisi terus mengejar Hambali. Sewaktu dikejar
di Jakarta, jelas Da'i, Hambali lari ke Ambon. Dikejar ke Ambon, Hambali lari
ke Poso. Waktu diburu ke Poso, Hambali terakhir dikabarkan kabur ke Pakistan.
''Saat ini, Hambali diduga ada di Aceh. Ia memimpin operasi JI dari Aceh,''
kata seorang sumber intelijen di Mabes Polri. Mau bukti, JI (Jaringan Istana)
pimpinan Hambali membangun mas'ul --wilayah-- di Aceh.
Tak lama setelah bom meledak di Bali, JI pimpinan Hambali termasuk
salah satu kelompok yang dicurigai oleh polisi ada di balik peledakan bom itu.
Tuduhan Matori pada Amrozy sebagai bagian dari JI pimpinan Sungkar JI --yang
disusupi Hambali-- benar dan Jaringan 50 terkuak, lantas ada kaitan dengan
Hambali, pembaca bisa meraba sendiri, siapa di balik bom di Bali.
(tim adil)
Perkembangan & Perpecahan Jemaah Islamiyah
Masa Soekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo, 1948-1962
Tahun 1953, Aceh menyatakan diri sebagai negara bagian Aceh. Tahun 1960,
Kahar Muzakkar menyempal dari struktur Kartosuwirjo dan memproklamasikan diri
sebagai Republik Persatuan Islam.
Masa PascaSoekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo, 1962-1968
Di bawah kepemimpinan Agus Abdullah, Kadar Shalihat dan Djadja
Sudjadi.
Masa PascaSoekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo, 1969-1976
Jemaah Islamiyah (JI) Fillah (nonstruktural) melakukan musyawarah
dengan kubu JI struktural bentukan Jenderal TNI Ali Moertopo --pimpinan operasi
rahasia atau operasi khusus (Opsus) Presiden Soeharto. Musyawarah lantas
memutuskan kepemimpinan struktural diserahkan kepada Daud Bereueh, tahun 1976.
Masa Daud Bereueh,
1978-1984
Terjadi perpecahan. JI struktural dipimpin Daud Bereueh. Kubu lain
yakni struktur kepemimpinan Adah Djaekani Tirtapradja. Sedang, kepemimpinan JI
nonstruktural di bawah Wakil Imam. Djadja Sudjadi lantas dieksekusi Adah
Djaelani tahun 1978.
Perpecahan Jemaah
Islamiyah, 1995-2000
Tahun 1995, struktur kepemimpinan Solo dan Kudus (Jawa Tengah),
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, di pengasingan (Malaysia), dan
menyatakan ke luar dari struktur maupun doktrin JI struktural. Mereka lantas
gabung secara metodologi pada Ikhwanul Muslimin Mesir Jamaah (Gemaat) Islamiyah
pimpinan Omar Abdur Rahman.
Struktur Jalur Kepemimpinan (JK) Wilayah I memisahkan diri lalu
dipimpin Aceng Kurnia dan selanjutnya dipimpin Asep (Syaiful), putra Aceng.
Kini, wilayahnya melebar hingga Cirebon dan Jakarta. Lalu, struktur JK Wilayah
IX dipimpin oleh Abu Toto dilegalisir Adah Djaelani dan mengklaim secara resmi
sebagai pemegang kepemimpinan JI struktural. Struktur kepemimpinan Dodo-Tahmid
Kartosuwirjo pada tahun 1997, berdiri sendiri lalu bergabung dengan Ajengan
Masduqi tahun 1998.
Tahun 2000, para eksponen JI struktural dari berbagai jalur
kepemimpinan membentuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melalui Kongres
Mujahidin di Yogyakarta, lantas mengangkat Abu Bakar Ba'asyir sebagai Ketua
Ahlul Halli Wal Aqdi. Namun, kelompok Abdullah Sungkar yang telah menyatakan ke
luar dari struktur dan doktrin JI struktural melepaskan diri atas terpilihnya
serta pengangkatan Ba'asyir. Struktur pimpinan Dodo-Tahmid Kartosuwirjo, pecah
lagi dari struktur Ajengan Masduqi dan menyatakan berdiri sendiri.
Tahun 2000 pula, beberapa bekas narapidana politik JI mendirikan
Majelis Khilafatul Muslimin Indonesia (MKMI) lalu mengangkat Abdur Qadir
Baradja sebagai pimpinan atau khalifahnya. MKMI secara organisasi telah masuk
ke dalam struktur kepengurusan MMI melalui Kongres Mujahidin di Yogyakarta.
(dari berbagai sumber). Catatan: Lihat komentar Abu Bakar Ba'asyir ,”Tidak ada
Ngruki Network”. Untold Story / the X files Oleh : Redaksi 18 Jun 2004 - 12:15
am “.[82]
4. Keadaan Bahaya yang disebabkan Tindak Pidana
Politik
Delik Politik merupakan istilah sosiologis, bukan istilah yuridis, di
kalangan hukum lebih terkenal dengan
delik keamanan negara [83].
Hal senada juga diungkapkan oleh Sumiyanto, yakni: “Kejahatan politik merupakan istilah sosiologis, sedang secara
yuridis disebut kejahatan terhadap
keamanan negara atau kejahatan terhadap ketatanegaraan. Obyek kejahatan
terhadap ketatanegaraan dapat mengenai
lembaganya maupun mengenai aktifitasnya”[84].
Kata politik
berasal dari bahasa Yunani “politia” yang mempunyai arti segala sesuatu
yang berhubungan dengan negara atau segala tindakan, kebijaksanaan, siasat
mengenai pemerintahan suatu negara (WJS
Poerwadarminta, 1982, h. 763) Menurut Juwono
Sudarsono pengertian politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam
setiap lingkungan sosial budaya. Sedang menurut Dennis Kavanagh pengertian
politik adalah upaya untuk mendapatkan kuasa [85].
Dengan demikian
dapat ditentukan bahwa:
a. Politik sebagai suatu tujuan negara;
b. Politik adalah kekuasaan dalam arti
mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan;
c. Politik menyangkut pengambilan keputusan;
d. Politik adalah suatu kebijaksanaan dalam mengambil
keputusan”. [86]
Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan
bahwa kejahatan politik adalah salah satu Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
sehingga harus diatur melalui ketentuan umum yang mendasar pada asas umum dalam
hukum pidana. Karena itu setiap negara berhak untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan membela diri dari setiap tindakan yang bermaksud untuk meruntuhkan negara, untuk itu
negara berhak untuk mengadakan berbagai sarana
dan lembaga hukum yang bisa mendukung
hal itu.
Dalam Lingkup materi pembahasan
kejahatan terhadap keamanan Negara, maka kejahatan terhadap keamanan
Negara dapat dikategorikan sebagai
Kejahatan di bidang politik, yang dalam penjabarannya diperinci menjadi
Kejahatan politik yang bersifat nasional dan kejahatan politik yang bersifat
internasional.
Beberapa perbuatan yang tergolong sebagai kejahatan politik
nasional. Antara lain adalah perbuatan
berupa:
1.
Pengkhianatan (pelanggaran
tugas kesetiaan)
2.
Penghasutan (provokator/
penganjur)
3.
Makar terhadap kepala Negara.
4.
Bergabung dengan musuh
5.
Pemberontakan
6.
Penculikan
7.
Penyerangan
8.
Kegiatan mata-mata
9.
Kerusuhan (gangguan dengan
kekerasan/ ancaman kekerasan)
10. Permusuhan antar ras/ suku/ penganut agama
11. Pengrusakan barang-barang untuk kepentingan umum
12. Fitnah terhadap pejabat pemerintah”. [87]
Sedangkan perbuatan
kejahatan politik internasional, M. Cherif Bassiouni, berpendapat , antara lain berupa:
1. Piracy (Pembajakan kapal laut)
2. Hijacking (Pembajakan pesawat terbang)
3. Teroris (Penggunaaan kekerasan untuk tujuan
politik)
4. Sabotase
(perbuatan yang menyebabkan kerusakan atau gangguan).
5. Genocide (pemusnahan seluruh atau sebagian bangsa,
etnis, ras atau kelompok agama)
6. Hostages (penyanderaan)
7. Misuse of Drugs (Penyalahgunaan obat)
8. Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan)
9. Apartheid ( tindakan kekerasan atas dasar
perbedaan ras, warna kulit atau asal kebangsaan)”.[88]
Lebih jelasnya, pasal-pasal di dalam Bab I Buku Ke
dua KUHP adalah tindak pidana terhadap
kehidupan negara, terutama tentang kelembagaan negara, meskipun masih terasa
belum mencakup keseluruhan perlindungan lembaga-lembaga negara, umpamanya
bagaimana dengan suatu perbuatan tentang mengacaukan sidang MPR atau DPR atau perbuatan tentang
tidak berfungsinya DPR/ MPR atau anggota-anggotanya.
Loebby Loqman selanjutnya mengemukakan empat teori
dalam menentukan delik politik, dengan
mengutip pendapat Hazewinkel–Soeringa.
Keempat teori itu adalah:
a. Teori obyektif atau disebut
teori absolut.
Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap negara dan
berfungsinya lembaga-lembaga negara.
b. Teori Subyektif atau teori
relatif.
Pada asasnya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu tujuan, latar
belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik politik.
c. Teori “Predominan”.
Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik terutama
terhadap teori subyektif dan teori relatif. Dalam hal ini diperhatikan apa yang
dominan dari suatu perbuatan. Apabila
yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbuatan tersebut tidak
disebut sebagai delik politik.
d. Teori “Political Incidence”.
Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu
kegiiatan politik.[89]
Berangkat dari beberapa teori itu maka beliau
mengemukakan pengertian delik politik, yakni dengan menyetir apa yang
dikemukakan menurut Konperensi Internasional tentang hukum pidana, bahwa suatu
delik politik adalah “ suatu kejahatan, yang menyerang baik organisasi ataupun
hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut”.
5. Keadaan Bahaya yang
disebabkan terjadinya bencana alam.
Posisi wilayah Negara Indonesia yang di lintasi garis khatulistiwa,
berada di antara dua benua, menjadi lokasi pertemuan dua lingkaran alur gunung
berapi dunia, berupa kepulauan yang diapit dua samudera dan sebagainya,
menjadikan wilayah Indonesia sering mengalami berbagai peristiwa bencana alam
yang dating silih berganti.
Hukum Tata Negara Darurat ialah:
Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau
bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan kehidupan biasa menurut
undang-undang. Beberapa unsur yang harus ada di antaranya ialah:
1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi secara luar biasa.
2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk
digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3. Kewenangan yang biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah
untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan
normal.
4.
Wewenang luar biasa itu dalam
HTN Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat
tersebut dipandang tidak membahayakan lagi. Dikatakan dalam Pasal 12: “Presiden
menyatakan keadaan bahaya, syarat syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan
dengan undang-undang” [90]
Selanjutnya
dikatakan dalam Pasal 22 UUD 1945 :
1. Dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
2. Peraturan tersebut haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam
persidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah
tersebut harus dicabut
Dalam Pasal 12 UUD 1945 kalimat kedua menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang". Jadi UUD 1945
mengamanatkan pembentukan UU untuk mengatur syarat-syarat keadaan bahaya[91].
Hal mana kemudian diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960, yang
selanjutnya akan disebut sebagai UU Keadaan bahaya.
Sedangkan secara khusus keadaan
bahaya beberapa daerah telah diatur, antara
lain:
1. Keppres
RI no. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan
Maluku Utara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun
2002
2. Keppres RI no. 27 tahun 2003
Tentang Penghapusan Keadaan Darurat Sipil Di Propinsi Maluku Utara.
3. Kepres RI no. 28 Thn.2003 Tentang Pernyataan
Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat
Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Keppres RI no. 97 tahun 2003
Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat
Militer Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam.
5. Keppres no. 43 Tahun 2004 Tentang Pernyataan
Perubahan Status Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer
menjadi Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam .
6. Peraturan Presiden RI no. 2
tahun 2004 Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan
Keadaan darurat Sipil Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam. [92]
B. PROSES PENETAPAN KEADAAN BAHAYA
Terlihat bahwa keadaan bahaya
juga diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu).
Pemilihan bentuk dasar hukum berupa Perpu,
menunjukkan latar belakang pembuatan perpu harus memenuhi unsur keadaan
bahaya dan unsure kegentingan yang memaksa. setidaknya terdapat 3 unsur penting yang secara bersama-sama
membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.[93]
Perpu lahir dikala negara,
khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Mengalami
hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan
dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. [94]
Hukum Tata Negara Darurat
ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa,
untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau
bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau normal.[95]
Pada situasi negara dalam bahaya yang diperlukan adalah upaya untuk
mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan keamanan negara
yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan
rakyat harus berdasarkan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Dalam situasi demikian tanggung jawab utama ada pada Presiden dengan menetapkan
negara keadaan bahaya dalam status darurat sipil atau status darurat militer
atau keadaan perang, dalam kapasitas presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, untuk menyelamatkan dan
mengamankan negara.
Hal mana
terlihat dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1959:
“Bahwa di daerah-daerah penguasaan darurat sipil
dilakukan oleh Kepala daerah serendah-rendahnya dari daerah Tingkat II selaku
Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Namun untuk suatu daerah tertentu
Presiden selaku Penguasa Darurat Sipil Pusat dapat menunjuk susunan penguasaan
dalam keadaan darurat sipil yang berlainan dengan ketentuan UU No. 23 Tahun
1959 apabila dipandang perlu serta disesuaikan dengan kondisi daerah yang
bersangkutan”
C. AKIBAT
HUKUM KEADAAN BAHAYA
Perbedaan antara keadaan darurat
sipil, keadaan darurat militer dan
keadaan perang secara garis besar antara lain:
2. Penguasa.
Penguasaan tertinggi dalam
situasi Negara keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.
Sedangkan penguasaan di daerah- daerah, terdiri dari:
a. Penguasa Darurat Sipil
Daerah adalah kepala daerah yang dibantu komandan militer, kepala
polisi, dan kepala kejaksaan setempat.
b. Penguasa Darurat Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan
Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan
kepala kejaksaan setempat.
c. Penguasa Perang Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan
Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan
kepala kejaksaan setempat.
2. Kewenangan / hak.
a. Penguasa Darurat Sipil Daerah
antara lain berwenang :
1) Dapat menyuruh atas namanya pejabat polisi atau
pejabat pengusut lainnya memasuki atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun
bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya dengan
menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.
2) Dapat
menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk
mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang memakai barang itu.
3) Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau
melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi seperti telepon, telegraf, pemancar
radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan
yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga menyita atau
menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.
b. Penguasa darurat militer antara lain berhak :
1) Mengatur, membatasi atau melarang sama sekali
dengan peraturan tentang pembikinan, pemasukan dan pengeluaran, pengangkutan,
pemegangan dan perdagangan senjata api, obat peledak mesiu, barang-barang yang
dapat meledak dan barang-barang peledak.
2) Menguasai
perlengkapan-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi seperti telepon,
telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan
penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak.
3) Mengadakan
militerisasi terhadap suatu jawatan/perusahaan/perkebunan atau sebagian
daripada itu atau suatu jabatan.
4) Penguasa darurat militer berhak menangkap
orang dan menahannya selama-lamanya 20 hari. Tiap-tiap penahanan yang dilakukan
oleh Penguasa Darurat Militer Daerah harus dilaporkan kepada Penguasa Darurat
Militer Pusat dalam waktu 14 hari.[96]
c. Penguasa Perang antara lain berhak:
1) Mengambil atau memakai barang-
barang semacam apapun juga langsung untuk kepentingan keamanan atau pertahanan.
2) Penguasa Perang berhak
sewaktu-waktu memerintahkan penyerahan barang-barang yang akan diambil untuk
dimiliki atau dipakai guna kepentingan keamanan atau pertahanan.
3) melarang
pertunjukan-pertunjukan, pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian,
penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga,
lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar, menutup percetakan.
4) memanggil orang warga negara
bukan militer, yang bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia,
untuk bekerja pada Angkatan Perang Republik Indonesia dan diminta pertolongan serta bantuan untuk
menjaga keamanan atau ikut serta dalam pertahanan, maupun untuk menjalankan
pekerjaan-pekerjaan militer yang dapat dilakukan olehnya.
5) mencegah jangan sampai orang
dengan sengaja melalaikan atau menolak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah
disanggupinya atau yang harus dipenuhinya oleh karena jabatannya apabila
menurut pertimbangan Penguasa Perang hal itu mengakibatkan atau dapat
diperhitungkan akan mengakibatkan kerugian pada pertahanan Negara, kerugian
pada ketertiban umum atau pada kehidupan ekonomi masyarakat.
6) memerintahkan, bersama-sama
dengan larangan tersebut di atas, kepada majikan untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandang layak bagi kepentingan buruh yang bekerja
padanya.
7) mengadakan militerisasi
terhadap suatu jawatan/perusahaan/perkebunan atau sebagian dari padanya itu
atau suatu jabatan yang ada di daerahnya.
Dalam pasal 12-20
UU No. 23 Tahun 1959, dijelaskan tentang
wewenang penguasa darurat sipil untuk menyusun berbagai peraturan. Misalnya, membatasi
pertunjukan, percetakan, penerbitan, dan perdagangan. Penguasa darurat juga
berhak menggeledah tiap tempat, memeriksa badan dan pakaian orang yang
dicurigai, membatasi kegiatan
orang di luar rumah, dan menahan siapa pun yang dicurigai. Penguasa berhak
melarang pertemuan, menyita segala macam barang, menyadap semua percakapan
telepon, radio, dan melarang pengiriman berita ke luar daerah, bahkan penguasa
berhak menghancurkan perlengkapan komunikasi Dalam UU itu juga terlihat
presiden berhak mengumumkan dan mencabut keadaan bahaya kapan pun dia suka,
karena UU Darurat tidak mengatur ketentuan pertanggungjawabannya. Presiden
dapat menentukan waktu darurat ini sesuka hati seminggu, sebulan, setahun, atau
bahkan 10 tahun, tanpa perlu persetujuan DPR[97].
PENUTUP
A.Kesimpulan
a.
Hukum yang mengatur tentang Penetapan Negara dalam
status keadaan bahaya, prosedur dan akibat hukumnya masih mengacu pada ketentuan yang bersifat
darurat yang di buat mada masa Orde lama, sehingga perlu dilakukan pengkajian
dan pembaharuan hokum.
b.
Penetapan suatu daerah menjadi berstatus darurat
sipil, darurat militer atau keadaan perang harus disesuaikan dengan kenyataan
sebenarnya yang terjadi, yakni benar-benar karena telah terjadi keadaan bahaya
yang disebabkan oleh tindak pidana pemberontakan, kerusuhan, terorisme,
kejahatan dalam lingkup pertahanan Negara, kejahatan polituk menurut hokum
nasional / interrnasional ataupun menurut hokum Islam, Bencana alam dan
sebagainya.
c.
Perlu dibuat aturan yang lebih jelas tentang
prosedur dan akibat hokum penetapan Negara dalam status keadaan bahaya, untuk
mengindari adanya bias kepentingan yang melatar belakanginya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian
Hukum, Radja Grafindo Persada, Jakarta
Burhan Bungin, 2001, Metodologi
Penelitian Kualitatif,, Radja Grafindo Persada, Jakarta
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan
Tentang Permasalahan Hukum, Jurnal Yuridika, Volume 12,4 Maret 2005
Suharto, 2006,
Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta
________, 2004, Hukum Pidana Materiil , Sinar Grafika, Jakarta
Zainudin,2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Zainal Abidi, 2006,
Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta
Perundang-undangan:
UUD 1945 hasil perubahan
pertama hingga ke empat
UU No. 24 Tahun 2004
Tentang Mahkamah Konstitusi
UU No. 2 tahun 2008 tentang
Partai Politik
UU No. 10 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden
Undang-undang No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Sinar Grafika, Jakarta
Web Site:
http://sekilasindonesia.com
http://www.kpu.go.id
http://forum-politisi.org
http://www.analisadaily.com
http://id.wikipedia.org
LAMPIRAN 1.
Tabulasi kasus peledakan dari tahun 1962 - 2003 *
No.
|
Waktu
|
Lokasi
|
Jenis
Bahan Peledak
|
Motif
|
Pelaku
|
KOrban
|
Keterangan
|
1
|
1962
|
Kompleks Perguruan Cikini, Jakarta
|
Belum diketahui
|
Politik, usaha pembunuhan Presiden
Soekarno
|
Belum diketahui
|
Tidak ada korban
|
|
2
|
11 November 1976
|
Masjid Nurul Iman, padang
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Timzar Zubil, Hukuman mati
|
Belum diketahui
|
Timzar tidak pernah ditemukan sampai
sekarang
|
3
|
14 April 1978
|
Masjid Istiqlal
|
Misterius
hingga kini.
Bahan peledak TNT (trinitrotoluene)
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
4
|
1984
|
Rangkaian Peledakan Kompleks BCA, Jl.
Pecenongan, Pertokoan Glodok dan Gajah Mada Jakarta
|
Belum diketahui
|
Protes atas
peristiwa Tanjung Priok
|
Mereka semua
adalah Anggota Gerakan Pemuda Ka’bah
|
Belum diketahui
|
HM. Sanusi, AM. Fatwa dan HR Dharsono
dimasukkan ke penjara. Mereka adalah tokoh petisi 50
|
5
|
24 Desember 1984
|
Gedung Seminari
Alkitab Asia Tenggara, Jl Margono, Malang, Jawa Timur
|
Bahan peledak TNT
|
Diduga untuk mengadu domba umat beragama
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
6
|
20 Januari 1985
|
Candi borobudur
|
Belum di ketahui
|
Belum diketahui
|
Husein Ali Habsy, penjara seumur hidup
|
Belum diketahui
|
Pelaku mendapat Grasi pada 23 Maret 1999
|
7
|
16 Maret 1985
|
Bis Pemudi Ekspress, Banyuwangi Jawa
Timur
|
TNT batangan PE 808/tipe
|
Belum diketahui
|
Abdul Kadir Alhabsy
|
Belum diketahui
|
Kasus ini dikaitkan dengan peledakan
Candi Borobudur
|
8
|
30 September 1991
|
Dahana Hotel Mini, Surabaya
|
Bahan peledak Potasium yang biasa dipakai
untuk mengebom ikan.
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
9
|
13 september 1991
|
Mragen, Demak - Jawa Tengah
|
Belum diketahui
|
Tidak sengaja
|
Tiga pemuda Timor Timur
|
Belum diketahui
|
Xanana gusmao menyatakan bertanggung
Jawab
|
10
|
18 Januari 1998
|
Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta
|
Belum diketahui
|
Tidak sengaja
|
Agus proyono, Anggota SMID
|
Belum diketahui
|
Kasus ini sempat menyeret nama Yusuf
Wanandi dan Surya Paloh.
|
11
|
20 Februari 1998
|
Kampung Batik Sari Semarang
|
Belum diketahui
|
Kriminal (balas dendam pribadi )
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
12
|
11 desember 1998
|
ATM BCA, Atrium Plaza Senen, Jakarta
|
Bahan peledak berbau belerang
|
Kriminal
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
13
|
2 Januari 1999
|
Toserba Ramayana, Jl Sabang Jakarta Pusat
|
Bahan peledak TNT
|
Kriminal (sengketa pribadi)
|
VM Rosalin Handayani dan Yan Pieterson
Manusama
|
Belum diketahui
|
|
14
|
9 Februari 1999
|
Mal Kelapa Gading Jakarta Utara
|
Baham peledak TNT
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
15
|
15 April 1999
|
Plaza Hayam Wuruk, Jakarta
|
Bahan Peledak Ramuan Kcl 03 (Kalium
Klorat) dan TNT.
|
Kriminal (perampokan)
|
Ikhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan
Edi Rohadi.
|
Belum diketahui
|
Pemeriksaan belum tuntas
|
16
|
19 April 1999
|
Masjid Istiqlal, Jakarta
|
Bahan Peledak Ramuan Kcl 03 (Kalium
Klorat) dan TNT.
|
Belum diketahui
|
AMIN (Angakatan Mujahidin Islam
Nusantara)
|
Belum diketahui
|
Pemeriksaan belum tuntas
|
17
|
28 Mei 2000
|
Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
Medan
|
Belum diketahui
|
Adu domba antar umat beragama
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
18
|
4 Juni 2000
|
Gedung Bundar Kejaksaan Agung Jakarta
|
Bom dikategorikan M-1 (C3/C4) Buatan
Pindad
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum terungkap
|
|
1 Juli 2000
|
kediaman Kedubes Filipina. Jl Imam Bonjol
Jakarta Pusat
|
C4
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
20 Luka –luka dan 2 Orang meninggal
|
|
|
27 Agustus 2000
|
Peledakan Granat di Kedubes Malaysia
|
Granat nenas buatan Ceko
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
13 September 2000
|
Gedung Bursa Efek Jakarta
|
RDX jenis plastik explosive
|
Belum diketahui
|
Tersangka : Tengku Ismuhadi, Iwan
Setiawan, Nuryadin Ibrahim, Abdul Manaf(Kostrad), Irwan (Kopassus), Ibrahim
Hasan (Kostrad)
|
10 korban tewas, 46 luka, 62 mobil
terbakar, 72 mobil rusak berat, 45 mobil rusak ringan
|
Ibrahim Abdul Manaf melarikan diri
|
|
24 Desember 2000
|
Peledakan Di beberapa Gereja di Jakarta
|
TNT dan dicampur dengan gotri
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
4 orang tewas dan 42 orang luka-luka
|
Jakarta tercatat lima gereja : Gr.
Matraman, Gr. Katedral, Gr. Kanisius, Gr. Koinonia, Gr, Oikumene Halim
Perdana Kusuma
|
|
24 Desember 2000
|
Ledakan didaerah pertokoan Cicadas dan di
Jl. Terusan Jakarta No. 43
|
TNT
|
Belum diketahui
|
Tersangka :
Aceng, Iqbal,
Piping, Abdul Hadi, Maman, Nanang Hamdani, Karso, Otang, Ayat, Nana Suryana,
dan Effendi.
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000, Pukul 21.18 Wib
|
Jl Otto Iskandardinata Kodya Sukabumi.
|
|
Belum diketahui
|
Tersangka : Musa alias Mahfud alias Jabir
alias Anis (38)Umar (44)
|
3 orang meninggal dunia dan 11 orang
terluka
|
|
|
24 Desember 2000, Pukul 21.10
|
Gereja Pantekiosta Sindang Kristus di Jl
Masjid No.20 Alun-alun Utara Sukabumi.
|
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
4 orang meninggal dan 8 terluka
|
|
|
24 Desember 2000 , Pukul 20.30
|
Gereja Allah Baik, Jl. HOS Tjokroaminoto Mojokerto
|
TNT dan diberi alat denator (peledak)
"Ldr" buatan India
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000 Pukul 21.00
|
Gereja St. Yosef Jl. Pemuda Mojokerto.
|
TNT dan diberi alat denator (peledak)
"Ldr" buatan India
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
1 orang meninggal dan 2 orang terluka
|
|
|
24 Desember 2000 20.30 dan 20.45 WIB
|
Gereja Ebenezer, Jl. Kartini, Mojokerto
|
TNT dan diberi alat denator (peledak)
"Ldr" buatan India
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
1 orang meninggal dan 2 orang terluka
|
|
|
24 Desember 2000
|
Gereja Bhetany Mojokerto.
|
TNT dan diberi alat denator (peledak)
"Ldr" buatan India
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000 Pukul 22.00
|
Pekuburan Kristen Kapitan Ampenan, Mataram
- NTB
|
Pengatur waktu elektrik dengan daya ledak
high explosive
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000 Pukul 22.00
|
Gereja Betlhem Pantekosta Pusat Surabaya
(GBPPS), Mataram NTB
|
Pengatur waktu elektrik dengan daya ledak
high explosive
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000
|
Gereja protestan Indonesia Barat Imanuel
Jl Bung Karno, Mataram, NTB.
|
Pengatur waktu elektrik dengan daya ledak
high explosive
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000
|
Gereja Katolik Beato Damian, Bengkong
Batam.
|
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam
digital merek Casio
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
24 Desember 2000 21.15 WIB,
|
Gereja Kristen Protestan Simalungun
(GKPS) Sungai Panas Batam
|
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam
digital merek Casio
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
21 orang terluka
|
|
|
24 Desember 2000 21.00 WIB
|
Gereja Bethany Lantai II Gedung My
Mart Batam Center, Batam
|
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam
digital merek Casio
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
4 orang terluka
|
|
|
24 Desember 2000 20.30 WIB
|
Gereja Pantekosta di Indonesia Pelita Jl
Teuku Umar (Atas) Batam
|
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam
digital merek Casio
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
2 orang terluka
|
|
|
24 Desember 2000 21.00 WIB
|
Gereja HKBP Pekan Baru Jl. Hang Tuah,
Pekanbaru
|
Ditemukan sejumlah gotri atau butiran
besi berupa kacang disekitar lokasi ledakan
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
5 0rang tewas dan 12 orang terluka
|
|
|
24 Desember 2000
|
Jl. Sidomulyo, Pekanbaru
|
Ditemukan sejumlah gotri atau butiran
besi berupa kacang disekitar lokasi ledakan
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
9 orang terluka
|
|
|
25 desember 2000 22.00 WIB
|
Bangunan rumah Pendeta El Imanson
Sumbayak Jl Kasuari Pematang Siantar.-
|
|
Belum diketahui
|
Tersangka Edi Sugiarto
|
1 Orang terluka
|
|
|
26 desember 2000 13.00 WIB
|
Gereja Yohannes Penginjil Kudus
|
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
29 Desember 2000
|
Jl. Dahlia Gg. Horas Kel. Kedungsari -
Pekanbaru
|
Ditemukan sejumlah gotri atau butiran
besi berupa kacang disekitar lokasi ledakan
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
7 Januari 2001 22.00 WITA
|
Rumah A Rasyid warga Desa Banjur kec
Labuapi, Lombok Barat NTB.
|
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
29 Desember 2000 04.35 WIT
|
Kantor PT NNT (Newmont Nusa Tenggara)Jl
Pendidikan, Mataram, NTB
|
Sejenis bom ikan.
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
|
Peledakan Jembatan Cisadane
|
TNT
|
Motif politik
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
10 Mei 2001
|
Wisma Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa
Iskandar Muda, Jl. Perahu Manggarai - Jakarta Selatan
|
High Explosive
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Dua korban meninggal dunia dan enam orang
luka-luka
|
|
|
10 Mei 2001
|
Jl. Mangga raya no 79 Margonda Depok
|
low explosive dan bersifat personal
injure
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
1 orang terluka
|
|
|
16 Juni 2001
|
Rumah Kontrakan Jalan Cikoko Barat III No
23, Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan
|
Terdiri dari campuran bahan kimia nitrat
dan klorat yang dikemas dalam beberapa pipa paralon mobil dengan diameter 5
cm dengan panjang 10 cm
|
Diduga meledak secara tidak sengaja
|
Tersangka: Edi Susilo
|
4 orang terluka
|
|
|
7 Juli 2001
|
Jl Kedung Sroko I/25, Surabaya
|
|
Asmara
|
Tersangka : Antonius Gunarto Budi Cahyono
|
1 orang Meninggal
|
|
|
10 Juli 2001
|
Fly Over Slipi, Jakarta
|
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
1 orang meningggal dan 11 orang luka-luka
|
|
|
15 Juli 2001
|
Fly Over Mampang, Jakarta
|
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
12 orang luka-luka
|
|
|
22 Juli 2001
|
Gereja St. Anna, Duren Sawit, Jakarta
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Jalan Arteri Rt 07/Rw 06,
Cipinang Melayu, Jatiwaringin, Jakarta
|
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
56 orang terluka
|
|
|
23 Juli 2001
|
Atrium Senen Jakarta
|
bom rakitan yang berdaya ledak tinggi (high
explosive) yang terbuat dari TNT (trinitrotoluene)
|
Belum diketahui
|
Tersangka: Dani alias Taufik bin Abdullah
|
6 orang luka-luka
|
|
|
1 Agustus 2001
|
Gereja Kristus Alpha Omega, Jl. Gajah
Mada, Semarang, Jawa Tengah
|
low explosive, AF 381 buatan Belgia.
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
2 orang luka-luka
|
|
|
23 September 2001
|
Tempat parkir Atrium Senen
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
|
|
12 Oktober 2001
|
Restoran KFC, Panakkukang Mas, Makassar
|
Ditemukan beberapa serpihan dan sebuah
benda yang terdiri dari kabel dan bubuk baterai yang diduga adalah bahan bom
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Kerusakan fisik bangunan: Kaca dan pintu
hancur serta dua sepeda motor ikut rusak
|
|
|
13 oktober 2001
|
Gereja santo Thomas, Sleman
|
Ditemukan beberapa baterai kecil
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Kerusakan fisik bangunan :Atap Atap
Gereja dan beberapa eternit rusak berat
|
|
|
6 November 2001
|
Australian International School (AIS) Jl.
Jatimurni Pejaten Jakarta Selatan
|
Bom rakitan dan beberapa sumber lainnya
mengatakan granat manggis
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Tidak ada
|
Menurut Kompas, ini adalah ledakan ketiga
di Sekolah tersebut. Pertama dan kedua berasal dari bom molotov
|
|
9 November 2001
|
Gereja Petra, Jl. Jampea 44 Jakarta.
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
tersangka :
Wahyu Handoko
dan Ujang Haris
|
Belum diketahui
|
dari empat bom yang dipasang, satu yang
meledak.
|
|
18 November 2001
|
sebuah kantor a/n Sutikno Jl. Tambak V,
Tanjung Pinang
|
High Explosive
|
Persaingan Bisinis
|
Belum diketahui
|
belum diketahui
|
|
|
3 Desember 2001
|
Jalur KA Sebelah Timur Cikampek, Dusun
Daringo,
Desa Pangulah Selatan, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jabar |
TNT
|
Belum diketahui
|
belum diketahui
|
Kerusakan fisik : kerusakan pada bantalan
rel kereta api
|
|
|
24 Desember 2001
|
Rumah Soehadi M Harun, Jl Cikoko barat
IV, Cikoko, Jakarta Selatan
|
Diduga terdiri dari campuran bahan kimia
nitrat dan klorat yang dikemas dalam pipa paralon mobil
|
Bom diduga berasal dari ledakan tgl 16
Juni 2001 yg terpental ke dalam plafon rumah ybs
|
Belum diketahui
|
tidak ada korban luka maupun jiwa
|
lokasi rumah hanya berseberangan dg rumah
peristiwa 16 juni 2001
|
|
30 Desember 2001
|
Asrama Haji Sudiang, Makassar
|
belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Belum diketahui
|
Tiga orang terluka berat
|
|
|
1 Januari 2002
|
Depan Rumah Makan Ayam Bulungan, Jl.
Bulungan, Kebayoran Baru - Jakarta Selatan
|
Jenis Granat K-75 (Granat manggis) Buatan
Korea dengan bahan dasar RDX dan TNT
|
Belumdiketahui
|
Tersangka : Hasbullah (tewas)
|
Satu orang meninggal dunia Kerusakan
Fisik: 2 unit Mobil Isuzu
|
|
|
12 Oktober 2002
|
Sari Club dan Paddy's
|
TNT
|
|
Tersangka: Amrozi, Imam Samudra dkk
|
185 orang meninggal dunia dan kerusakan
berat bagunan di sekitar lokasi ledakan
|
|
|
5 Agustus 2003, 12.45 Wib
|
Hotel JW. Marriot, Mega Kuningan Jakarta
|
RDX, HMX, campuran nitrat dan nitrogen
(TNT), dan black powder
|
Belum diketahui
|
Tersangka: Asmar
|
14 Orang Meninggal dunia
|
tersangka diduga mempunyai hubungan
dengan Jamaah Islamiyah
|
Diambil dan diolah
dari data Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan berbagai sumber.Data ini akan di
revisi bila terdapat perkembangan terbaru dan kasus yang tercantum diatas
diluar kasus yang berada dalam daerah konflik.
LAMPIRAN 2:
PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA SELAMA ORDE BARU *
1965:
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966:
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967:
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969:
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970:
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1974:
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975:
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977:
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978:
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980:
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981:
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982:
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983:
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984:
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1986:
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989:
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991:
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992:
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1994:
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1996:
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997:
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998:
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999.
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.
LAMPIRAN 3. Artikel yang menggambarkan peristiwa yg
melatarbelakangi ditetapkannya suatu daerah menjadi berstatus darurat
From: AgungPrimamorista@t...
Date: Tue May 22, 2001 12:14 pm
Subject: Setahun yang lalu ..Poso - Jejak Kelalawar
Hitam, Pembantai Muslim Poso
Jejak Kelalawar Hitam, Pembantai Muslim Poso
Ratusan Muslim Poso dibantai, pelakunya adalah kelompok orang
terlatih bernama Kelalawar Hitam. Investigasi Sahid di lapangan menunjukkan
selain dipicu persoalan politik lokal ada keterlibatan tokoh-tokoh di
Jakarta.
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai
Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada
yangtiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan
pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan
kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat
pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka.
Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung
terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya
terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu
pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air
sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat
tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil
mengikutialiran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang
bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap
menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang,
atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di
Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan
salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa
Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang
tinggal. Mulai dari ustadz , santri, pembina, dan istri pengajar serta
anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu.
Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri.
Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.
Ilham (27) satu-satunya ustadz Pesantren Walisongo yang turut
dibantai namun selamat setelah mengapung beberapa kilometer mengikuti aliran
sungai Poso, menuturkan kepada Sahid, sebelum dibantai mereka mengalami penyiksaan terlebih dahulu. Mereka dikumpulkan
di dalam masjid Al Hirah.Di sanalah warga pesantren Walisongo yang sudah
menyerah itu dibantai. Ada yang ditebas lehernya, dipotong anggota badannya,
sebelum akhirnya diangkut truk ke pinggir Sungai Poso.
Sungai Poso menjadi saksi bisu pembantaian ummat Islam, khususnya
warga Pesantren Walisongo. Mayat-mayat mereka hanyut di Sungai Poso
danterbawa entah sampai ke mana. Belum ada angka yang pasti jumlah korban
dalam pembantaian itu.
Seorang warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Syahrul
Maliki, yang daerahnya dilewati aliran sungai Poso dan terletak Sembilan
kilometer dari ladang pembantaian, menuturkan kepada Sahid, "Dari pagi
hingga siang saja, saya menghitung ada 70-an mayat yang hanyut terbawa arus,
berikutnya saya tidak menghitung lagi," katanya. Sementara Pos Keadilan
Peduli Ummat PKPU) melaporkan jumlah mayat yang ditemukan di Sungai Poso
tidak kurang dari 165 orang.
Tidak hanya lak-laki dewasa, banyak pula yang perempuan, orang
tua, dan anak-anak. Biasanya mayat wanita disatukan dengan anak-anak.
"Ada yang cukup diikat, ada pula yang dimasukkan karung," kata
Syahrul. Sebagian besar mayat sudah rusak akibat siksaan.
Menurut Ilham, sebelum diserang, warga pesantren diteror oleh
Pasukan Merah ini. Komplek Pesantren Walisongo sering dipanah. Hingga saat
ini bekas panah tersebut masih terlihat jelas.
Pembantainya sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen
yang dikenal sebagai Pasukan Kelalawar Hitam. Dalam aksinya mereka mengenakan
pakaian serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Karena itu pula
mereka sering disebut pula sebagai Pasukan Merah. Pembataian itu puncak dari
hubungan ummat Islam dan Kristen yang kurang harmonis di kawasan itu.
Tercatat sekitar 200 - 400-an orang yang tewas terbantai.
Dalam laporannya, pihak gereja melalui `Crisis Center GKST untuk
Kerusuhan Poso' mengakui dikalangan mereka ada kelompok terlatih yang
berpakaian ala ninja ini. Mereka menyebutnya sebagai `Pejuang Pemulihan
Keamanan Poso'.
Ada ciri-ciri yang sama ketika kelompok merah menyerang. Mereka
selalu mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam, semua tertutup kecuali
mata. Mereka juga mengenakan atribut salib di dada dan ikat kepala merah.
Mayat-mayat juga ditemukan selalu dalam kondisi rusak akibat
siksaan atau sengaja dicincang hingga tidak dikenal identitasnya.
Dalam berbagai penyerangan pasukan merah selalu di atas angin. Karena itu
sebagian besar korbannya adalah orang-orang muslim.
Selain di Pesantren Walisongo penyerangan dan pembantaian juga
dilakukan di sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas
Muslim kampungnya hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan
hingga mencapai Tentena. Dari arah Timur hingga Malei. Dari arah barat hingga
Tamborana.
Temuan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) Ujungpandang yang
melakukan investigasi di Poso menunjukkan adanya keterlibatan gereja dalam
beberapa kerusuhan. Buktinya "Sebelum mereka melakukan
penyerangan,mereka menerima pemberkatan dari gereja," kata Agus
Dwikarna, ketua Kompak Ujung Pandang.
Misalnya pemberkatan yang dilakukan Pendeta Leniy di gereja Silanca
(8/6/00)dan Pendeta Rinaldy Damanik di halaman Puskesmas depan Gereja Sinode
Tentena. Selain kepada pasukan Kelelawar Hitam, pemberkatan juga
diberikankepada para perusuh. Pemberkatan ini memberikan semangat dan kebencian yang tinggi masyarakat Kristen
kepada ummat Islam.
Yang menarik menurut Agus, meskipun mereka mengakui telah membumi
hanguskan seluruh perkampungan ummat Islam dan membantai masyarakatnya,
Pendeta R Damanik dan Advent Lateka mengadukan ummat Islam sebagai
provokator.
Kini kabupaten yang dikenal sebagai penghasil kakau terbesar ini
nyaris seperti kota mati karena ditinggal penduduknya mengungsi, bangunan
yang ditinggalkan hanya tersisa puing-puing yang beserakan.
Penyerangan terhadap ummat Islam yang berlangsung sejak tanggal 23
Mei lalu, merupakan pertikaian ketiga antara Islam Kristen di Poso.
Pertikaian pertama berlangsung pada Desember 1998. Enam belas bulan kemudian,
15 April 2000 pertikaian meledak lagi, yang dipicu perkelaian pemuda
Kelurahan Kamayanya (muslim) dengan Lambogia (Kristen).
Dalam penyerangan kali ini kelompok merah yang bergabung dalam
pasukan Kelelawar Hitam dipimpin oleh Cornelis Tibo asal Flores menyerang
kampung Muslim Kayamanya. Mereka memukul-mukul tiang listrik hingga memancing
kemarahan ummat Islam. Selanjutnya mereka menganiaya ummat Islam di situ dan
membunuh Serma Komarudin.
Ummat Islam yang marah mengejar Pasukan Kelelawar Hitam yang lari
ke Gereja Katolik Maengkolama. Karena bersembunyi di gereja itu ummat Islam
yang marah membakar gereja yang dijadikan tempat persembunyian itu.
Salah satu yang dianggap menjadi penyebab pertikaian adalah
konflik politik lokal. Perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998
merupakan salah satunya. Herman Parino, tokoh Kristen, gagal merebut jabatan.
Namun Herman Parino dan para pendukungnya menuduh Arif
Patangga, bupati yang hendak digantikannya, muslim, merekayasa
gagalnya Parino.
Karena jengkel, Parino menggalang massa untuk menyerang rumah
Patangga. Namun rencana itu sudah tercium sebelumnya, para pendukung Patangga
tidak diam dan bersiap menyambut. Bentrokan tidak terelakkan lagi. Dua hari
kemudian giliran pendukung Patangga menyerang rumah Parino di desa Tentena.
Dalam kerusahan itu polisi langsung menangkap tokoh dari kedua
belah pilah, Herman Parino dan Agfar Patangga, adik kandung Arif
Patangga yang dianggap memprovokasi massa.
Nampaknya penangkapan Herman Parino yang merupakan tokoh Kristen
yang dihormati membuat pendukungnya kecewa. Apalagi Herman lantas dijatuhi
hukuman, meskipun Agfar juga dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Poso.
Kasus inilah yang menjadi api dalam sekam. Maka ketika terjadi perkelaian
pemuda Islam dan Kristen yang mabuk pada pertengahan April
2000 lalu, kerusuhan pun tidak dapat terhindarkan.
Dipicu kerusuhan pada bulan April, tanggal 23 Mei 2000 pasukan
merah melakukan penyerangan ke beberapa perkampungan muslim. Pertikaian tidak
hanya sebatas para pendukung Herman Parino dan Arif Patangga. Perkampungan
Muslim yang tidak ada kaitannya dengan kerusuhan sebelumnya ikut dihancurkan,
warganya dibantai, perempuannya diperkosa.
Selain konflik lokal, sumber intelejen menyatakan bahwa kerusuhan
di Poso juga terkait dengan tokoh-tokoh di Jakarta. Salah satu kekuatan yang
bermain itu adalah kelompok Soeharto. Indikasinya jika proses hukum Soeharto
meningkat, tingkat kerusuhan meningkat. Temuan di lapangan menunjukkan
keterlibatan sekitar 70-an purnawirawan TNI dalam melatih pasukan merah.
Karena itulah pasukan merah sangat mahir dalam menggunakan berbagai senjata
api maupun tangan kosong.
Pihak intelejen menyebutkan, kelompok yang berkepentingan terhadap
kerusuhan di Poso ini juga didukung sumber dana yang kuat. Kasus beredarnya
milyaran uang palsu dan hilangnya dua kontainer kertas uang yang hingga kini
belum ditemukan juga sangat terkait dengan berlangsungnya kerusuhan di Poso
ini.
Informasi sumber intelejen tersebut juga dibenarkan oleh Wakapolda
Sulawesi Tengah, Kolonel Zaenal Abidin Ishak, yang menyatakan keterlibatan 15
anggota Polres Poso dan enam anggota TNI AD dalam kerusuhan itu. Mereka kini
sedang ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Agus Dwikarna tidak percaya bahwa kerusuhan di Poso hanya
persoalan gagalnya Herman Parino menjadi bupati. "Kalau hanya karena
perebutan kursi bupati kenapa ummat Islam yang dibantai," tanya Agus. Ia
yakin adaupaya melenyapkan ummat Islam dari bumi Poso.
Apapun penyebabnya, kerusuhan Poso menyebabkan trauma yang
mendalam di kalangan orang-orang Muslim di Poso. Sejak kerusuhan itu ribuan
ummat Islam menjadi pengungsi di negerinya sendiri.
Haryono,
laporan Munanshar dan Pambudi (Poso)
Artikel
Sekorelasi:
Jejak
Kelalawar Hitam, Pembantai Muslim Poso
Kami Dibantai
Seperti Menebas Batang Pisang
`Si Kelelawar
Hitam' Pencabut Nyawa
|
[3] Kontras, Misteri Dibalik Teror Bom di Indonesia, Makalah disampaikan dalam
workshop RUU tentang Penanggulangan Kejahatan terorisme,Batu 14-16 Januari 2003
hal 2-4. Sebagai perbandingan , lihat
LAMPIRAN 1: Tabulasi kasus peledakan dari tahun 1962 – 2003 yang pernah
terjadi di Indonesia, yang telah
menyebutkan sekitar 44 rangkaian
peristiwa dengan 74 peledakan bom. . Http://www.sekitarkita.com, 10-11-2003. Bandingkan pula dengan LAMPIRAN 2:
Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia selama
Orde Baru , menyebutkan bahwa
dari tahun 1965 – 1999 telah terjadi 83 kasus yang menyita perhatian
nasional., dalam Http://www.sekitarkita.com, 10-11-2003.
[5] Lengkapnya Pasal 12 UUD 1945 berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”, pembuatan UU
yang bertujuan untuk menanggulangi keadaan bahaya di Indonesia, akan memungkinkan dipergunakan untuk
mengatasi adanya fakta-fakta yang membahayakan kelangsungan kehidupan
bernegara.
[6] Sebagai perbandingan lihat konsideran RUU
Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang
pernah disetujui DPR untuk menggantikan UU No. 23 Prp Tahun 1959, namun ditunda pengesahannya oleh Presiden
karena banyak mendapatkan protes dari masyarakat, pada Konsiderans Menimbang
point (a) menyatakan
“bahwa guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
harus tetap terpelihara serta berjalan dengan aman dan tertib”. Http://www.megaforpresident.org,20-12-2004. RUU PKB sebelumnya bernama RUU Keselamatan
dan Keamanan Negara (KKN), disampaikan dalam sidang paripurna
DPR tanggal 19 Juli 1999 bersamaan dengan penyampaian RUU tentang
Rakyat Terlatih. Pada pembahasan tanggal 6 September 1999 nama RUU KKN diubah
menjadi RUU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Http://www.kompas.com, 5-01-2005.
[7] Lihat Penjelasan Peraturan pemerintah pengganti
undang-undang Nomor 23 tahun 1959
Tentang Keadaan bahaya
[9] Ibid.
[10] Sulardi, Bahan tayang “Equality Before The Law”, Matrikulasi Mahasiswa
FH UMM, 2010.
[11] Wongbanyumas, Op.Cit.
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945.
[15] Saldi Isra, makalah
“Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam Perspektif Undang-Undang
Pemerintahan Aceh”, diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh bekerja sama dengan
Forbes BRA, di Banda Aceh, http://www.saldiisra.web.id, , 22 Novemver 2006.
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Dengan kehadiran PP No 25/2000 tersebut,
banyak penilaian mengatakan bahwa pemerintah menarik kembali semangat desentralisasi
(resentralisasi) yang terdapat dalam UU No 22/1999.
[20] Http://www.infokata.com, 12
Desember 2011.
[22] Http://www.koalisi. Ham.org, 10-10-2004
[23] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Makalah, Mengkaji Penetapan Suatu Daerah Dalam Status Bahaya, Diskusi
Internal FH UMM, Oktober 2004.
[24] Saldi Isra, Op.cit.
[25] Ibid
[26] Ibid.
[27] Tongat, dalam menjelaskan pengertian Kebijakan legeslatif, telah
mengutip pendapat Barda Nawawi Arief, dalam disertasinya Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-undangan dalam Rangka Usaha
Penanggulangan Kejahatan, Universitas Padjajaran, Bandung 1986, hal 109 –
110. dan Barda nawawi Arief, dalam
bukunya yang berjudul Kebijakan legeslatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1986, hal 59.
[28] Lihat pendapat Sutan
Zanti Arbi dan Wayan Ardhana dalam Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial,
Pustekom Dikbud dan CV. Rajawali , 1984, dan Tongat, dalam Teisisnya Kebijakan
Legeslatif tentang Pidana Seumur Hidup di Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hal
76 dan 78.
[29] Prof. Dr.. Muladi, SH dan
Dr.Barda Nawawi Arief, SH. Bunga Rampai
Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung , 1992, hal. 158.
[30] Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996 hal.
245.
[31] Lihat Dr. Loebby Loqman,
SH.MH, Delik Politik di Indonesia,
Ind=Hill-Co, Jakarta, 1993, hal. 67-68. .
[32] Lihat Drs. Adami Chazami,
SH, Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara, Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum
Universitan Brawijaya, Malang, 2001, hal. 2.
[33] Ibid.
[34] Prof.DR. Wirjono
Prodjodikoro.SH, Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia, Eresco,
Bandung, 1986, hal. 193.
[35] Prof. Dr.Soedjono
Dirdjosisworo, SH, Sinopsis Kriminologi
Indonesia, CV. Mandar Maju. Bandung, 1994, hal. 16.
[37] Dr. Soerjono Soekanto,SH.MA, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia ndonesia, Jakarta, 1981, hal.
22.
[38] Ibid, hal.
193-194. Hal ini dikukuhkan oleh pendapat yang menyatakan, bahwa “
Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dapat dibedakan dalam 2 jenis
meskipun KUHP tidak mengenal pembagian atas 2 jenis tersebut secara tegas,
yaitu:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara dalam negeri
(hoogverraad = penghianatan dalam negeri) yang terdiri atas kejahatan yang
ditujukan terhadap bentuk pemerintahan dan bentuk negara, sebagaimana dapat
diketemukan dalam Bab I Buku II pasal 104 sampai pasal 110 seperti pembunuhan
terhadap kepala negara atau wakilnya, pemberontakan dan revolusi. T.Gayus
Lumbun dalam Htttp://www.kompas.com. 28-2-03
2. Kejahatan terhadap keamanan negara di luar
negeri (landverraad = pengkhianatan luar negeri) yaitu kejahatan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi negara sendiri
sehubungan dengan negara-negara asing sebagaimana dapat diketemukan dala Bab I Buku II pasal 111 sampai pasal
129. Dalam Brig.Jen.Pol.Drs.HAK.Moch.Anwar.SH, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994, hal. 217. Hal senada juga dikemukakan oleh Djoko Prakoso.SH, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal.. 34.
[39] Djoko Prakoso, Ibid, hal. 33.
[40] Lihat Loebby Loqman dalam
Penyelesaian Konflik Politik Tinjauan
Historis – Filosofis dan Politik Pemanfaatan Peradilan sebagai Wahana dalam Http: WWW. Yahoo. Com, 24 Oktober 2004.
[41] Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 29. Menurut Wirjono Projodikoro, kualifikasi
yang diberikan oleh pasal 108 adalah:
1). melawan kekuasaan yaqg telah berdiri di Indonesia dengan senjata,;
2). dengan maksud melawan kekuasaan yang berdiri di Indonesia, maju
dengan pasukan atau masuk pat,ukan yang melawan kekuasaan itu dengan senjata.
Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hal.
199.
[42] Adami Chazawi, Op.Cit,
hal. 30.
[43] Lihat misalnya : Wirjono Prodjodikoro,
Tindak-Trndak Pidana Tertentu di Indonesia, op.cit., ha1.199. Dalam kaitannya
dengan istilah gezag beliau telah menafsirkannya menjadi istilah kekuasaan dan
tidak menjadi pemerintah. Sementara itu Moeljatno, dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 43 telah menerjemahkan istilah
gezag dengan istilah pemerintah.
[44] Pasal 212 KUHP: "Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang
menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang
atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam, karena
melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah".Lihat : Moeljatno, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara. Jakarta, 1999, hal. 80.
[45] Lihat: Lamintang, Delik-Delik Khusus
Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, op.cit., hal. 81.
[46]
Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 199.
[47] R. Susilo, op.cit., hal. 110.
[48] Lihat lebih lanjut: Lamintang Delik-Delik
Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, op.cit., hal. 82.
[49] Sejak 1999 sampai Agustus 2003 (data di
Mabes Polri), telah terjadi 199 kasus peledakan bom di tanah. Dari sebanyak
kasus itu, polisi mampu mengungkap 153 kasus.Http://www.jawapos.dot.
com,23-08-2003
[50] Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
merupakan penetapan atas Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang mana Perpu no 1 tahun 2002
itu sempat diberlakukan terhadap kasus peledakan bom tanggal 12 oltober 2002 di
Bali berupa Perpu no. 2 tahun 2002 yang
kemudian dijadikan UU no. 16 tahun 2003, kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan
Pasal 34 pemerintah telah membentuk Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
[51]
Pasal 6 UU no.15 tahun 2003
[52] Ibid.
[55] Dalam “Masyarakat
Sipil dan Kebijakan Negara Kasus
Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme”, Http://www.imparsial.org. 14-12-2005
[56] Hal mana sesuai apa yang dikemukakan oleh Penjelasan UU no. 15
tahun 2003 bahwa rangkaian peristiwa
pemboman yang terjadi di wilayah Indonesia telah menimbulkan rasa takut
masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta
benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional.
Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan merupakan
tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam
perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Http://www.imparsial.com, 7-01-2004.
[57] Pasal 7 sama dengan Pasal 6 kecuali bahwa
Pasal 7 yang ditekankan adalah pada motif perbuatan untuk menimbulkan suasana
teror atau ketakutan yang meluas atau korban secara massal. Masalah yang akan
dihadapi adalah bagaimana membuktikan adanya suatu motif? yang dapat dipidana
adalah penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan, yang hal ini telah diatur
dalam hukum pidana Indonesia. Motif perlu diungkap adalah sebagai alat untuk
penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.
[58] Sebagai bagian dari fenomena
sosial, terorisme berkembang seiring perkembangan peradaban manusia, sejarah
manusia diwarnai oleh tindakan-tindakan teror mulai dari perang psikologis yang
ditulis Xenophon (431-350), Kaisar Tiberius (14-37 SM) dan Caligula (37-41 SM)
dari Romawi mempraktekkan terorisme dalam penyingkiran, perampasan harta benda,
dan menghukum lawan-lawan politiknya. Roberspierre (1758-1794) di masa revolusi Perancis. Setelah perang
sipil Amerika Serikat, muncul kelompok teroris rasialis Ku Klux Klan. Demikian pula Hitler di
Jerman dan Joseph Stalin di Rusia.. Ibid. Hal mana sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Penjelasan UU no. 15 tahun 2003 bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang
terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut
masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta
benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional.
Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah
menjadi fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas
negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang
mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun
internasional. Http://www.imparsial.com, 7-01-2004. Lihat pula LAMPIRAN 1 tentang
Jumlah Serangan Teroris Internasional terhadap Berbagai Jenis Fasilitas
Internasional (1995-2000). Http://www.imparsial.org, 7-01-2005 . Kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia:- Bom Bali 2002 , -Bom JW Marriott
2003 , -Bom Kedubes
Australia 2004, -Bom
Kedubes Indonesia, Paris 2004 . Http://www.wikipedia.org, 5-01-2005
[59] Dua tahun setelah lahirnya resolusi PBB no. 1267 tahun 1999 yang memuat daftar
teroris, tepatnya sehari setelah traged1 11 September 2001, PBB mengeluarkan
resolusi No 1368 yang mengutuk serangan teroris terhadap menara WTC, Pentagon,
dan Pennsylvania dan mengkategorikannya sebagai telah mengancam kedamaian dan
keamanan internasional (international peace and security). Lembaga ini pun
memberi mandat bahwa individu maupun kelompok (negara) memiliki hak untuk
membeladiri (self defense) dari serangan terorisme internasional. Kemudian,
pada resolusi PBB No 1373 tahun 2001
yang dikeluarkan pada 28 September 2001, PBB menegaskan beberapa kewajiban
negara sehubungan dengan kegiatan terorisme sebagai berikut: (1) bahwa setiap
negara harus menghindari dan menindak tegas pembiayaan kegiatan terorisme
(prevent and suppress the financing of terrorist acts); (2) bahwa setiap negara
harus mengkriminalisasi setiap tindakan yang disengaja, baik secara langsung
maupun tidak, setiap upaya pengumpulan dana oleh warga negara di wilayah teritorialnya
di mana dana tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan terorisme; (3)
bahwa setiap negara harus membekukan tanpa ditunda lagi setiap dana dan aset
keuangan lainnya ataupun sumber daya ekonomi dari individu ataupun kelompok
yang berpartisipasi ataupun melakukan kegiatan terorisme. Resolusi ini
dipertegas dengan resolusi berikutnya No
1377 tanggal 12 November 2001 yang menetapkan terorisme internasional
sebagai satu dari ancaman yang paling serius terhadap kedamaian dan keamanan
internasional. Lalu resolusi No 1455
tanggal 17 Januari 2003 dan resolusi No
1456 tahun 2003 yang secara khusus membidik individu, kelompok, maupun
negara yang mempunyai link dengan Taliban dan Alqaidah.. Ibid.. Lihat pula LAMPIRAN 1 tentang
Jumlah Serangan Teroris Internasional
terhadap Berbagai Jenis Fasilitas Internasional (1995-2000) . Http://www.imparsial.org, 7-01-2005 . . Lihat, Kejadian
terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan
instansi Indonesia
di luar negeri, antara
lain:- Bom Bali 2002 , -Bom JW Marriott
2003 , -Bom Kedubes
Australia 2004, -Bom
Kedubes Indonesia, Paris 2004 . Http://www.wikipedia.org, 5-01-2005 .
[60] Pasal 8 ini merupakan pasal-pasal yang
diambil dari Bab XXIX Pasal 392 huruf a
sampai dengan huruf r dari KUHP (yang berbeda hanya
hukuman pidananya). Oleh karena itu, berarti pada saat ini, pasal-pasal
tersebut (delik kealpaan) berada di dua buah peraturan yang berbeda. Pertama,
ada di KUHP, dan kedua ada UU ini.
Yang berada di KUHP merupakan peraturan yang bersifat umum dan di dalam Perppu
ini merupakan peraturan yang bersifat khusus. Implikasi dari pencantuman pasal
ini ke dalam UU pemberantasan terorisme nantinya akan berdampak saat penentuan suatu perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur kedua pasal ini, apakah
memakai pasal dalam KUHP atau memakai UU inio . Penjelasan Pasal 8: “Ketentuan
ini merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana “.
[61] Menindak lanjuti upaya penegakan
hukum dari resolusi PBB no 1267 tahun
1999 yang berhak dan dapat membekukan aset, mengontrol pergerakan (travel ban)
serta melakukan embargo senjata kepada individu, entitas dan perusahaan yang
terkait dengan pendanaan organisasi teroris internasional dan atau Taliban.
dan memuat daftar teroris, pemerintah
Indonesia melakukan beberapa hal, antara lain:
1) “Pemerintah tengah menyiapkan bukti-bukti
guna mendukung rencana mengajukan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan
Tiro ke PBB agar dimasukkan ke daftar teroris internasional”.Http://www.suarapembaharuan.com, 4-6-2003.
2). Diam-diam Indonesia telah meminta Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk memasukkan Jemaah Islamiah [JI] dalam daftar teroris.
Menurut sumber detikcom di PBB, surat permintaan tersebut disampaikan oleh
Perwakilan Tetap RI Untuk PBB kepada Komite Dewan Keamanan PBB [23/10/2002].
Masuknya JI dalam daftar teroris DK PBB telah dibahas secara intensif oleh
Komite Sanksi 1267 DK PBB; sebanyak 50 negara mendukung HTTP;//www.mail-archive.com, 23-10-2002.
3). “Juru bicara Deplu Marty Natalegawa telah membenarkan
adanya sejumlah nama WNI yang akan diusulkan untuk dicantumkan pada daftar teroris
di bawah resolusi dewan keamanan PBB. Ketiga WNI itu masing-masing Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan
Oskar Makawata“. Http://www.Tempointeractif.com, 03 September 2004
4). “Pemerintah Indonesia melalui Deplu segera mengirim surat kepada
Komite Sanksi PBB, untuk mencabut nama Arif Munandar dari daftar teroris
internasional atau daftar Resolusi 1267. http://www.tempointeraktif.com, 7-01-2005
[62] hasil pengumuman lembaga World Markets
Research Centre (WMRC) di London, Senin (18/8), tentang Indeks Terorisme Global
untuk tahun 2003-2004. Lembaga itu antara lain bertugas menilai tentang risiko
terhadap ancaman terorisme yang dihadapi berbagai negara.Kolombia dan Israel
berada pada posisi "risiko ekstrem" atau risiko jadi target terorisme
sangat tinggi di antara sebanyak 186 negara yang ditelaah. sebagai sasaran
serangan terorisme,Pakistan berada di urutan ketiga, Amerika Serikat (AS)
berada di urutan keempat lalu Filipina, Afganistan. Sementara itu Indonesia
berada di urutan ketujuh. Irak, dan India. Sri Lanka dan Inggris sama-sama
berada di urutan kesepuluh.Http://www.kompas.com, 19-12-2003
[63] Dalam forum penyuluhan dalam
rangka pembekalan tentang hukum dan HAM bagi prajurit TNI yang ditugaskan di
daerah operasi NAD, Pimpinan TNI mengundang dua pakar Hukum dari Komnas HAM
yakni Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H dan Dr. Taheri Noor. Saat itu
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H menyatakan: “Seluruh prajurit TNI/Polri
yang sedang bertugas di NAD tidak perlu ragu dalam melaksanakan tugas mereka. Karena secara jelas sudah dinyatakan oleh
Presiden RI, bahwa NAD dalam keadaan bahaya dan berada dalam status darurat
militer. Jangan sampai HAM menjadi momok dalam pelaksanaan tugas, sehingga
prajurit takut, ragu-ragu atau tidak berbuat apa-apa di daerah operasi militer.
Darurat militer tidak sama dengan darurat perang. Sebab kalau darurat perang
sudah jelas musuh yang kita hadapi dari negara mana. Sementara dalam darurat
militer, para prajurit tersebut harus bisa membedakan antara GAM dan masyarakat sipil.”. Hal mana ini dilakukan dengan
asumsi dengan agar kondisi
keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat dan penyelenggaraan
pemerintahan serta aktvitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat berjalan normal, yang dalam pelaksanaannya
dibarengi dengan Operasi Terpadu,
yang meliputi Operasi Kemanusiaan,
Operasi Pemulihan Ekonomi, Operasi Penegakan Hukum, Operasi Pemantapan
Pemerintahan, dan Operasi Pemulihan Keamanan namun belum mencapai hasil yang
maksimal karena masih terganggu oleh sisa-sisa Gerakan Separatis Bersenjata
Gerakan Aceh Merdeka yang merupakan ancaman potensial terhadap keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Lihat Http://www.tni.mil.go.id. 20-12-2004. Seperti apa yang kemudian
dialami oleh rakyat NAD, lihat LAMPIRAN 3 tentang KORBAN WARGA SIPIL ACEH Mulai
Juli 2001 sampai 21 April 2002. Http://www.sekitarkita.com,10-01-2005.
[64] Http://www.persada.com, 21-12-2004.
[65] Http://www.jawapos.com, 11-12-2004
[66] Http://www.jawapos.com, 11-12-2004
[67] Http://www.sinarharapan.com, 14 -08-2004.
[70] Sistem pertahanan negara melibatkan
seluruh komponen pertahanan negara, yang terdiri atas komponen utama, komponen
cadangan, dan komponen pendukung. Hal ini berbeda dengan komponen kekuatan Pertahanan
Keamanan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, yang
terdiri atas komponen dasar, komponen utama, komponen khusus, dan komponen
pendukung. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam Undang-Undang ini, hanya
Tentara Nasional Indonesia saja yang ditetapkan sebagai komponen utama,
sedangkan cadangan Tentara Nasional Indonesia dimasukkan sebagai komponen
cadangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan
negara sesuai dengan aturan hukum internasional yang berkaitan dengan prinsip
pembedaan perlakuan terhadap kombatan dan nonkombatan, serta untuk penyederhanaan pengorganisasian upaya
bela negara. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai sumber
daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional, baik sebagai
komponen cadangan maupun komponen pendukung. Lihat Penjelasan UU no.3 tahun
2002 , Ibid, 5-01-2005.
[71] Sistem pertahanan negara melibatkan
seluruh komponen pertahanan negara, yang terdiri atas komponen utama, komponen
cadangan, dan komponen pendukung. Hal ini berbeda dengan komponen kekuatan
Pertahanan Keamanan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia, yang terdiri atas komponen dasar, komponen utama, komponen khusus,
dan komponen pendukung. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam Undang-Undang ini,
hanya Tentara Nasional Indonesia saja yang ditetapkan sebagai komponen utama,
sedangkan cadangan Tentara Nasional Indonesia dimasukkan sebagai komponen
cadangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan
negara sesuai dengan aturan hukum internasional yang berkaitan dengan prinsip
pembedaan perlakuan terhadap kombatan dan nonkombatan, serta untuk penyederhanaan pengorganisasian upaya
bela negara. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai sumber
daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional, baik
sebagai komponen cadangan maupun komponen pendukung. Ibid.
[72] Dalam Penjelasan Pasal 4, yang dimaksud
dengan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara,
dan keselamatan segenap bangsa. Selanjutnya
dalam penjelasan Pasal 7 (2) yang dimaksud dengan ancaman militer adalah
ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai
mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara,
dan keselamatan segenap bangsa. Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) menambahkan, yang
dimaksud dengan ancaman bersenjata adalah berbagai usaha dan kegiatan oleh
kelompok atau pihak yang terorganisasi dan bersenjata, baik dari dalam maupun
luar negeri yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan
segenap bangsa. Ibid.
[73] bentuk dan cara agresi, antara lain 1)
Invasi berupa serangan oleh kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah
Indonesia. 2) Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang
dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Indonesia. 3)
Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara Indonesia oleh
angkatan bersenjata negara lain. 4) Serangan unsur angkatan bersenjata negara
lain terhadap unsur satuan darat atau satuan laut atau satuan udara Tentara
Nasional Indonesia. 5) Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam
wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian yang tindakan atau keberadaannya
bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian. 6) Tindakan suatu negara yang
mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain sebagai daerah persiapan
untuk melakukan agresi terhadap Negara Indonesia. 7) Pengiriman kelompok
bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain untuk melakukan tindakan
kekerasan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melakukan tindakan
seperti tersebut di atas. . Ibid.
[74] Ibid.
[75] Untuk itu TNI bisa melakukan operasi militer untuk perang
dan operasi militer selain perang. dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau
peraturan perundang-undangan. Ibid.
[76] Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di
bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, dalam Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 disebut kan bahwa wewenang Presiden, antara lain: a. memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar 1945; b. memegang kekuasaan tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; c. dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain; d. menyatakan
keadaan bahaya.. Berdasarkan kewenangan tersebut, Presiden memegang kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk usaha penyelenggaraan pertahanan
negara. Untuk itu, perlu dibentuk suatu undang-undang sebagai dasar hukum bagi
penyelenggaraan pertahanan Negara. Ibid.
[77] Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer
menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung
oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam menghadapi ancaman
nonmiliter, menempatkan lembaga
pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama yang disesuaikan
dengan bentuk dan sifat ancaman dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari
kekuatan bangsa. Ibid.
[78] Ibid.
[79] Presiden selaku penanggungjawab tertinggi
dalam pengelolaan pertahanan negara dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional yang
berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan
negara. Untuk menghadapi ancaman bersenjata, Presiden berwenang mengerahkan
kekuatan Tentara Nasional Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam keadaan memaksa, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan Tentara
Nasional Indonesia dengan kewajiban paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam harus
mengajukan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan
Rakyat tidak menyetujui pengerahan tersebut, Presiden harus menghentikan
operasi militer. Lihat ketentuan dalam Pasal 14 (1) Presiden berwenang dan
bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia. (2) Dalam
hal pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia untuk menghadapi ancaman
bersenjata, kewenangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dalam keadaan memaksa untuk
menghadapi ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan
Tentara Nasional Indonesia. Ibid.
[80] Benar tidaknya, lihat
LAMPIRAN, Teror Bom di Indonesia dari waktu ke waktu. Http://www.tempointeraktif.com,
17-04-2004.
[81] Sejak awal Ustad Abu (panggilan akrab Abu Bakar Ba'asyir) dan
seluruh aktivis MM meyakini sepenuhnya, bahwa penangkapan, penahanan, dan
penyidangan atas berbagai tuduhan makar, pengeboman, dan terorisme yang
ditujukan kepada beliau sejak 28 Oktober 2002 hingga detik ini merupakan pesanan
mutlak dari pemerintah Amerika Serikat. Bukti pertama yang baru terungkap
adalah testimoni Frederick Burks (lahir, 20/2/58), mantan penerjemah
pertemuan presiden George W Bush dan presiden Megawati di Gedung Putih
(19/9/01) sepekan setelah serangan WTC 11-9 yang melansir kesaksiannya di The
Washington Post (9/12/04). Ia menyebut adanya negosiasi tingkat tinggi, di mana
Amerika minta Indonesia menyerahkan Ust Abu ke tahanan Amerika. Tapi Megawati
menolak tekanan itu. Http://www.eramoslem.com,
26-12-2003. Bukti kedua, kesaksiann
Frederick Burks pada Jumat, 14 Januari 2005 lalu dalam sidang kasus
"terorisme" dengan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (amir Majelis
Mujahidin Indonesia) di Gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta, (13
Januari 2005). Dalam sidang itu, Burks antara lain mengatakan bahwa Pemerintah
George W Bush pernah meminta agar Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (ABB) ditahan dan
diserahkan ke AS. Permintaan AS itu, , disampaikan utusan khusus Bush kepada
Presiden Republik Indonesia (saat itu) Megawati Soekarnoputri dalam pertemuan
rahasia di Jalan Teuku Umar Jakarta (rumah pribadi Megawati), September 2002.
Http://www.republika.co.id, 27-01-2005.
[84] Sumiyanto, SH.MH, Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai
rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir
Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya, Malang 1999, hal. 11.
[87] Sumiyanto, SH.MH, Laporan
Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya, Malang 1999, hal. 16.
[90] Saldi Isra, makalah
“Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam Perspektif Undang-Undang
Pemerintahan Aceh”, diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh bekerja sama dengan
Forbes BRA, di Banda Aceh, http://www.saldiisra.web.id, , 22 Novemver 2006.
[91] Lengkapnya Pasal 12 UUD 1945 berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”, pembuatan UU
yang bertujuan untuk menanggulangi keadaan bahaya di Indonesia, akan memungkinkan dipergunakan untuk
mengatasi adanya fakta-fakta yang membahayakan kelangsungan kehidupan
bernegara.
[92] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Tesis, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kepala Negara (Suatu Pemikiran Ke
Arah Pembaharuan Hukum Pidana), PPS Universitas Brawijaya, Malang, 2005. Hal 53-54.
[93] Saldi Isra, Op.cit.
[94] Ibid
[95] Ibid.
[96] Http://www.koalisi. Ham.org, 10-10-2004
[97] Beberapa pemerhati hukum menilai bahwa UU itu mengabaikan
HAM karena presiden diberi wewenang masuk ke urusan pribadi seseorang (bebas
menggeledah, menyadap, dsb) Lihat diskusi tentang “ Mencermati UU darurat.”
Yang menghadirkan Mochtar Prabotinggi, Amien Rais dan Megawati Http://www.detik.com, 24-9-2004, yang mengingatkan akan banyaknya kejadian
pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia selama Orde Baru. Http://www.sekitarkita.com, 10-11-2003.
0 komentar:
Posting Komentar