Sabtu, 07 November 2015

Penetapan negara status bahaya



TINJAUAN YURIDIS NORMATIVE TERHADAP
PROSES PENETAPAN DAERAH DALAM STATUS KEADAAN BAHAYA[1]

Oleh : Bayu Dwiwiddy Jatmiko[2]
Email: bayu.dj15@yahoo.com
                                               
Abstraksi
Indonesia sebagai negara bisa jadi suatu ketika menghadapi berbagai rongrongan, yang mengancam  kedaulatan negara, sehingga menyeret Negara dalam situasi yang membahayakan keselamatan dan keamanan Negara dan daerah. Pada situasi negara dalam keadaan bahaya yang diperlukan adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan keamanan negara, yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan rakyat di daerah dengan mengacu kepada ketentuan yang mengatur tentang proses hukum yang dapat diterapkan. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji tentang proses penetapan Daerah dalam status keadaan bahaya tersebut. 
Kata kunci: Keamanan Negara, Hukum darurat, Penetapan Bahaya.

Abstraction

              Indonesia as the country may one day face a variety rongrongan, which threatens the sovereignty of the state, thus dragging the State in circumstances that endanger the safety and security of the State and the region. In the situation of the country in a state of danger that is needed is an effort to prevent and cope with threats to the safety and security of the state, which in essence is the protection of the safety and security of the people in the region with reference to the provisions regulating the legal process that can be applied. This study intends to examine the process of determination of the regions in the danger status.
            Keywords: State Security, Emergency Law, Determination of Hazard.


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum  dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, bisa jadi suatu ketika menghadapi berbagai rongrongan  dari dalam  dan  luar negeri dengan intensitas tinggi, yang mengancam  kedaulatan negara, persatuan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayahnya, sehingga menyeret Negara dalam situasi yang membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
 Adanya ancaman terhadap keamanan negara di Indonesia beberapa dipicu oleh terjadinya berbagai kasus peledakan bom, misalnya yang disebutkan dalam catatan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) pada bulan Oktober 2000 [3], antara lain.:
“Sejak tahun 1976 sudah terjadi kasus peledakan, juga  sepanjang tahun 1980-an sampai tahun 2000 yakni kurang lebih 40 kasus. Hanya saja dalam dua tahun terakhir intensitas aksi dan teror bom serta senjata lainnya meningkat seiring berubahnya suasana politik di tanah air. Sebagai catatan tahun 1999 ada 7 kasus dan tahun 2000 ada 13 kasus (tidak termasuk peristiwa-peristiwa peledakan yang terjadi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir

Pada situasi negara dalam keadaan bahaya yang diperlukan adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan keamanan negara yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan rakyat dengan mengacu kepada ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.
Penerapan hukum dalam mengatasi  keadaan bahaya tersebut, di berbagai Negara telah  menimbulkan pro/ kontra yang mencuatkan usulan bagi pemberlakuan Internal Security act (ISA) sebagaimana yang berlaku di Malaysia dan beberapa negara lainnya atau memaksimalkan efektifitasnya UU tentang pemberantasan terorisme atau merevisinya. Bahkan hal ini ditindak lanjuti oleh Pemerintah Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Australia[4], dengan mempersiapkan “pembentukan pusat kerjasama anti terorisme di kawasan Asia Pasifik dengan nama Trans National Crime Center (TNCC) dan Pusat Pelatihan Unit Anti Teroris Asia Pasifik”.
Di Indonesia kemungkinan penetapan suatu daerah dalam status keadaan bahaya  telah diatur di dalam  UUD 1945. Dalam Pasal 12 UUD 1945  kalimat kedua  menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang".  Jadi UUD 1945 mengamanatkan pembentukan UU untuk mengatur syarat-syarat keadaan bahaya[5].  
Hal mana kemudian diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya  sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960, yang selanjutnya akan disebut sebagai UU Keadaan bahaya.
Sehingga dengan mengacu pada dasar hukum tersebut Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara  tertinggi memiliki pedoman yang tepat dalam menyatakan bahwa negara berada dalam keadaan bahaya. Dalam situasi demikian Presiden memegang tanggung jawab utama  untuk menyelamatkan dan mengamankan negara. [6]
Yang penting dan yang menjadi ukuran bagi Presiden untuk menyatakan sesuatu keadaan bahaya, yaitu tingkatan keadaan bahaya yang setimpal, ialah intensitas peristiwa/keadaan yang mengkhawatirkan bagi berlangsungnya kehidupan Negara dan masyarakat. Selain daripada sebab-sebab/alasan-alasan yang lazim dipakai untuk menentukan apabila keadaan bahaya dapat dinyatakan, juga disebut sebagai sebab/alasan terancamnya  ketertiban hukum oleh kerusuhan-kerusuhan atau gangguan-gangguan lain, "hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara" pun  dapat merupakan alasan atau alasan tambahan mengenai  kekhawatiran akan terjadinya ancaman-ancaman yang demikian.[7]
Dan di masa lalu menjelang dan di tahun-tahun awal era reformasi, Indonesia mengalami berbagai peristiwa di berbagai daerah baik karena  kerusuhan, pemberontakan, ataupun bencana  dan sebagainya yang mendorong  Presiden menetapkan daerah tersebut berstatus darurat, yaitu darurat militer, darurat sipil ataupun bahaya.  Hal yang terlihat sangat kentara adalah kekuasaan yang sangat besar kepada presiden untuk menentukan kapan berlakunya UU itu. Sifat executive heavy sangat terlihat.
Padahal pasca amandemen ke 4 terhadap UUD 1945 telah terjadi perubahan system ketatanegaraan Indonesia yang sedemikian luar biasa, misalnya: kekuasaan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, penegasan Indonesia sebagai Negara hukum dalam batang tubuh UUD,  munculnya Lembaga DPD,  Kekuasaan membentuk UU ada di tangan DPR, dibentuknya MK, dihilangkannya DPA, pengelompokan lembaga Negara  atas lembaga tertinggi dan tinggi negara ditiadakan, pengurangan wewenang MPR, prosedur impeachment bagi presiden  dan sebagainya,  telah mendorong diterapkannya system check and balances atas semua tugas/ wewenang lembaga Negara dengan segala konsekwensinya.
Di era reformasi, Indonesia banyak mengalami berbagai bencana alam yang besar, kerusuhan bersenjata, sisa-sisa separatisme,  terorisme,  dan lain-lain yang tidak menutup kemungkinan suatu ketika akan menjadi dasar bagi presiden untuk menetapkan keadaan bahaya.
Sebagai kilas balik, diera pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, DPR pernah melakukan pembahasan  Rancangan Undang-Undang (RUU) yang terkait dengan keadaan bahaya yaitu RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) / RUU Keselamatan dan Keamanan Negara ( RUU KKN),   sebagai suatu  reaksi politik atas seringnya terjadi peristiwa yang mengancam keselamatan dan keamanan negara, walaupun RUU tersebut akhirnya tidak dapat dilaksanakan. Namun yang perlu di garis bawahi dengan adanya RUU tersebut adalah bahwa Negara sangat mungkin berada dalam keadaan bahaya, hal mana terbukti pada tahun-tahun berikutnya Indonesia memiliki UU pemberantasan Tindak pidana Terorisme sebagai suatu bentuk reaksi politik atas terjadinya berbagai kerusuhan/ ancaman atas keamanan Negara dengan skala penekanan yang lebih spesifik yaitu perbuatan teror.
Karena itu penelitian ini  mencoba mempertanyakan kembali prosedur yang terkait dengan proses dan pertimbangan yang menjadi latar belakang dikeluarkannya kebijakan legislasi penetapan suatu daerah yang sedang mengalami peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai bahaya tersebut  menurut ketentuan dalam UU 23 prp tahun 1950 menjadi berstatus  keadaan bahaya, terkait dengan system ketatanegaraan Indonesia sekarang dan perkembangan masyarakat, masih layak dipertahankan, atau ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji dan disempurnakan.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini yang ingin dikaji adalah: Bagaimana Proses Penetapan Daerah Dalam Status Keadaan Bahaya dan konsekwensi hukumnya dikaji menurut konsep hukum responsive ?


TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Ciri Negara Hukum
Dalam system  ketatanegaraan  berbagai Negara modern  pemikiran mengenai  konsep negara hukum sangat populer. Konsep ini berasal dari pemikiran Plato sejak jaman yunani.  Yaitu oleh Plato dalam bukunya yang tersohor nomoi dan Aristoteles dalam la politica. Plato sebagai ahli fikir dan seorang negarawan hendak memikirkan bentuk terbaik sebuah negara. Awalnya negara yang baik adalah apabila penyelenggaraan negara berada di tangan para ahli filsafat (cendikiawan). Namun  pandangannya berubah  dan berfikir bahwa negara akan dapat diselenggarakan dengan baik apabila berdasarkan sebuah perangkat aturan hukum yang dikenal dengan nomoi, yakni suatu Negara yang mengedepankan kedaulatan hukum/ Negara hukum.[8]
Negara hukum dewasa ini negara hukum identik dengan dua istilah yakni rechstaat dan rule of law. Kedua istilah ini pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan negara hukum. Konsep rechtstaat berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental. Gagasan tentang rechstaat lahir sebagai bentuk perlawanan absolutisme raja pada abad ke-tujuh belas. Pemikiran tentang rechtstaats dikembangkan oleh Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law dipopulerkan oleh Albert Venn Dicey pada tahun 1885 melalui bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Jika rechstaat dianut oleh negara dengan sistem hukum Continental maka the rule of law dianut oleh sistem hukum Common Law.[9]
F.J. Stahl mengemukakan empat ciri negara hukum (rechtstaat) sebagai berikut :
1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan kekuasaan Negara;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Adanya Peradilan Administrasi (PTUN).[10]
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2. Equality before the law.
Persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara.
3. Due Process of Law.
Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi raja dan pejabat-pejabatnya.[11]

Negara hukum dalam pandangan Ahmad Syahrizal adalah ketika negara melaksanakan kekuasaannya maka negara tunduk terhadap peraturan hukum. Ketika hukum eksis terhadap negara maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya negara akan dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku.
Dalam penjelasan UUD 1945  sebelum perubahan, dinyatakan bahwa indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Setelah perubahan UUD 1945 ide negara hukum dicantumkan secara jelas pada Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.”         Menurut Sudargo Gautama 3 ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni: Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan; Azas Legalitas; pemisahan Kekuasaan[12].
Secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dalam  Negara hukum negara bukan hanya mempunyai seperangkat hukum formal. Melainkan negara yang mendasarkan setiap tindakan baik pemerintah dan rakyatnya berdasarkah hukum. Hukum ada karena tiga alasan sebagai mana dinyatakan oleh radbruch yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.[13]  serta alasan keempat yaitu kebenaran. Dalam kehidupan negara hukum cita-cita atau tujuan utamanya adalah mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Hal ini tergambar dalam pembukaan UUD 1945 yang mencantumkan empat tujuan nasional yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

B. Hubungan Pusat dengan Daerah

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik[14].  Dalam Negara kesatuan Indonesia dilakukan  pembagian daerah yang menerapkan asas desentralisasi,  sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyatakan:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang;
(2) Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) …
(4) …
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya Pasal 18A UUD 1945 menyatakan:

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2)  Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Terakhir, Pasal 18B UUD 1945 menyatakan:

(1)   Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2)  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Sebenarnya, baik sebelum maupun setelah perubahan, UUD 1945 memberi ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil perubahan, sebagaimana dikutipkan di atas, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
 Berdasar rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dengan daerah yang lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat (khusus maupun istimewa) tersebut, UUD 1945 menyerahkannya kepada undang-undang.[15]
Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa itu. Perkembangan ”berbeda” mulai terasa sejak tahun 1999. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.[16]
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh (dan juga Papua) tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Misalnya, campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah di Aceh sebelum tragedi Tsunami. Ketika itu, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004). Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah dan daerah yang menerima otonomi khusus. [17]
Namun sejak Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (UU No 32/2004) ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional;  dan (f) agama. Maka hal itu memperkenlkan suatu Prinsip residu power.
Prinsip residu power juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999), misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Dengan  dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah telah menegaskan adanya salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah.
Mengenai prinsip residu power tersebut,  Imam Prasojo berpendapat dengan adanya  ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 di atas, salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan[18].
Gambaran wajah praktik hubungan pusat dan daerah di atas berakar dari upaya mereduksi pasal-pasal yang mengatur prinsip residu power dengan aturan-aturan lain yang setingkat (baik internal maupun eksternal) atau dengan peraturan yang lebih rendah. Misalnya:
1.      Upaya reduksi dilakukan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 sengaja direduksi dengan dengan frasa tambahan dalam pasal itu sendiri, yaitu frasa “serta kewenangan bidang lainnya”.
2.      Upaya reduksi dilakukan secara felsibel (baca: pasal karet) dan multi interpretasi dalam Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan:
“kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendaya-gunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional”.

3.      Upaya reduksi dilakukan dengan Pasal 12 UU No 22/1999 menegaskan lagi bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 UU No 22/1999 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
4.      Upaya reduksi dilakukan dengan “amanat” Pasal 12 UU No 22/1999, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (PP No 25/2000).
5.       Upaya reduksi dilakukan Dalam PP No 25/2000 tersebut, “kewenangan bidang lainnya” dirumuskan ke dalam 25 bidang. [19]

C.    Pengertian dan Tingkatan Keadaan Bahaya

Pengertian keadaan bahaya, dapat diketahui dari definisi kata “bahaya”yaitu keadaan :
“yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (bencana, kesengsaraan, kerugian, dsb): menempuh jalan yg tidak ada -- nya;
-- api yg mungkin menimbulkan kebakaran;
-- kebakaran bahaya api;
-- kelaparan yg mendatangkan kelaparan;
-- laten bahaya tersembunyi yg terus-menerus mengancam;
-- maut yg dapat menyebabkan mati atau mendatangkan kematian;
-- ber·ba·ha·ya v 1 ada bahayanya; (mungkin) mendatangkan bahaya; (dl keadaan) terancam bahaya: kanker dan tifus merupakan penyakit akut yg -; 2 (dl keadaan) terancam bahaya: - sekali keadaannya, lukanya sangat parah;
-- mem·ba·ha·ya·kan v 1 mengancam keselamatan; mendatangkan bahaya (kpd): letusan gunung itu - daerah sekitarnya; 2 mempertaruhkan (nyawanya, kedudukannya): ia bersedia - kedudukannya demi keadilan”[20]

 

Saat Negara dalam situasi luar biasa tersebut, seluruh atau sebagian wilayah Negara dapat dinyatakan sebagai dalam keadaan bahaya oleh Presiden, hal mana terlihat dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1959:
(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
a. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alatperlengkapan secara biasa;
b. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
c. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Dari Ketentuan di atas, maka dapat dikemukakan pengertian keadaan bahaya secara ringkas, yaitu:
Keadaan bahaya adalah suatu keadaan terganggunya keamanan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari wilayah negara dengan kekerasan atau timbul ancaman perang atau terjadi perang yang tidak dapat diatasi oleh aparatur negara secara biasa.[21]

Keadaan bahaya terdiri dari beberapa tingkatan, sesuai dengan peristiwa yang terjadi yang melatarbelakanginya, tingkatan keadaan bahaya terdiri atas:
1.   Tingkatan keadaan darurat sipil, yaitu
2.   Tingkatan keadaan darurat militer
3.   Tingkatan keadaan perang
Beberapa catatan yang perlu dikemukakan terkait keadaan darurat sipil, keadaan  darurat militer dan keadaan perang  secara garis besar  antara lain: 
1. Penguasaan tertinggi dalam situasi Negara keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa  darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat. Sedangkan  penguasaan di daerah- daerah, terdiri dari:
a. Penguasa Darurat Sipil  Daerah adalah kepala daerah yang dibantu komandan militer, kepala polisi, dan kepala kejaksaan setempat.
b. Penguasa Darurat Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan kepala kejaksaan setempat.
c. Penguasa Perang Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan kepala kejaksaan setempat.
2. Kewenangan / hak.
a.  Penguasa Darurat Sipil  Daerah  antara lain berwenang :
1) Melakukan tindakan penggeledahan
2)  Melakukan pemeriksaan dan penyitaan
3) Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi dll.
b. Penguasa darurat militer antara lain berhak :
1) Mengatur, membatasi atau melarang segala sesuatu tentang persenjataan dan barang-barang peledak.
2)  Menguasai perlengkapan-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi
3)   Mengadakan militerisasi terhadap suatu instansi daerah.
4)  Melakukan penangkapan dan penahanan hari.[22]
c.  Penguasa Perang antara lain  berhak:
1)   Mengambil atau memakai, memerintahkan penyerahan barang- barang untuk kepentingan keamanan atau pertahanan.
2)   melarang penggunaan sarana komunikasi dan informasi
3)   Pembentukan milisi / komponen cadangan
4)   mencegah  perbuatan yang dapat menimbulkan  kerugian pada ketertiban umum atau pada kehidupan ekonomi masyarakat.
5)   memerintahkan, bersama-sama dengan larangan tersebut di atas, kepada majikan untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang layak bagi kepentingan buruh yang bekerja padanya.
6)   mengadakan militerisasi terhadap instansi daerah.

 


Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, keadaan bahaya secara umum telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain dalam:

1.    Undang-Undang Keadaan Bahaya tanggal 6 Juni1946;
2.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1946 Tentang Pernyataan Keadaan Bahaya di Seluruh Indonesia;
3.    Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Pengesahan Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang Telah Dilakukan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957.
4.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) Dan Penetapan Keadaan Bahaya)
5.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1960 Tentang Perpanjangan Jangka waktu Berlakunya Peralihan yang Tersebut pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 No. 139) Tentang Keadaan Bahaya
6.    Undang-Undang Nomor 52 Prp Tahun 1960 Tentang Perpanjangan Jangka waktu Berlakunya Peralihan yang Tersebut pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 No. 139) Tentang Keadaan Bahaya setelah sebelumnya diperpanjang dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1960.
7.    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957  Tentang Pencabutan "staat van beleg" dan Pernyataan Seluruh Wilayah Republik Indonesia, termasuk semua perairan teritornya, dalam keadaan perang menurut Undang-Undang Keadaan Bahaya  1957.[23]


Terlihat bahwa keadaan bahaya juga diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Pemilihan bentuk dasar hukum berupa Perpu,  menunjukkan latar belakang pembuatan perpu harus memenuhi unsur keadaan bahaya dan unsure kegentingan yang memaksa. setidaknya terdapat  3 unsur penting yang secara bersama-sama membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.[24]
Perpu lahir dikala negara, khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. [25]
Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau normal.[26]


PEMBAHASAN
A.    Substansi Keadaan Bahaya
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum yang baik pada hekekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan berbagai peristiwa hukum dalam masyarakat / negara. Kebijakan penanggulangan oleh Negara  berusaha  memberikan perlindungan kepada Negara, masyarakat dan perorangan. Segala usaha tersebut erat kaitannya dengan tindakan pembaharuan hukum, karena itu pembaharuan hukum adalah merupakan bagian dari kebijakan/ politik hukum. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik hukum, maka politik hukum identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan berbagai keadaan/ peristiwa yang dialami Negara oleh berbagai lembaga kenegaraan yang berwenang membuat produk legislasi.
Kebijakan Legislatif; yang dimaksudkan di sini adalah kebijakan pengundangan[27], artinya masalah pemahaman tentang keadaan bahaya yang dialami negara dan pilihan penetapan status bahaya yang dianggap relevan untuk ditetapkan dalam perumusan perundang – undangan Negara dalam siatuasi darurat, jadi  pada dasarnya adalah masalah pilihan politik (kebijakan masyarakat dimana peraturan perundang – undangan itu ditetapkan).
Saat menjelaskan istilah kebijakan, Barda Nawawi Arief mengikuti pendapat Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana, yakni:
”pertama, bahwa istilah kebijakan dimaksudkan sebagai pengganti dari istilah Policy, yang diterjemahkan dengan istilah “kebijakan”. Secara harfiah, istilah kebijakan mempunyai arti seperti  kepandaian, kemahiran dan kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Sehingga kemudian kebijakan legeslatif diartikan sebagai perencanaan atau program dari pembuat UU mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu”[28].

Tahap kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis bagi upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Tahap ini merupanan tahap  formulasi  yang menjadi dasar , landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi [29].  Jadi kebijakan legislatif merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu  di dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu sering juga kebijakan legislatif  disebut dengan irtilah “kebijakan formulatif”[30].
Usaha penanggulangan keadaan bahaya antara lain dapat dilakukan dengan pembuatan UU (hukum) keamanan nagara, yang pada hakekatnya merupakan usaha perlindungan masyarakat, sebagai salah satu upaya penegakan hukum. Ini merupakan suatu upaya yang rasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Negara dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, dapat terjadi jika mengalami berbagai persoalan sebagai berikut:
a. Keadaan keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alatperlengkapan secara biasa;
b. Keadaan yang menimbulkan perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
c. Keadaan kehidupan Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Penjabaran lebih lanjut mengenai hal tersebut dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
1.   Keadaan bahaya yang dipicu oleh pemberontakan dan kerusuhan
Terkait dengan Pemberontakan dan kerusuhan yang mengancam keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia, maka kiranya perlu dikaji berbagai tindak pidana terhadap keamanan Negara. yang membahayakan Negara.
Kejahatan terhadap keamanan negara  merupakan kejahatan yang menyerang  kepentingan hukum negara. Sesuai dengan namanya, maka sebagai salah satu fenomena hukum  kejahatan jenis  ini mempunyai obyek keamanan negara.  Aturan Kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat) dimuat dalam Bab I Buku Ke dua KUHP, mulai dari pasal 104 sampai dengan pasal 129.
Padmo Wahyono mengatakan, bahwa:
“Aturan dalam Bab I Buku Ke dua KUHP adalah suatu aturan terhadap kegiatan kehidupan ketatanegaraan, yaitu tentang penjagaan terhadap ancaman kehidupan bernegara. Umpamanya  tidak berfungsinya Presiden, merubah ideologi negara dan sebagainya. Lebih tepat apabila disebut  sebagai Kejahatan Terhadap  Pelestarian Kehidupan Negara, karena yang dijaga di sini adalah berlangsungnya kehidupan bernegara, atau Kejahatan Tata Negara”[31].

Dirumuskannya kejahatan dalam bentuk demikiani dimaksudkan  untuk melindungi kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan negara dari perbuatan-perbuatan yang mengancam, mengganggu dan merusak kepentingan hukum negara tersebut[32].
Adami Chazami menyatakan bahwa,
 “obyek kejahatan dari jenis-jenis kejahatan terhadap keamanan negara ini ada berbagai bidang mengenai kepentingan hukum negara, misalnya kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan Presiden dan Wakilnya, keamanan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah negara, kepentingan hukum atas  rahasia negara, kepentingan hukum atas pertahan dan keamanan negara terhadap serangan dari luar das, yang semuanya itu tercermin dari rumusan kejahatan dalam pasal-pasal bersangkutan”. [33]

Jadi kejahatan ini memuat tindak pidana yang bersifat mengganggu kedudukan negara sebagai suatu kesatuan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat internasional yang terdiri dari berbagai negara, yang masing-masing merdeka dan berdaulat [34].
Sebagai suatu fenomena sosial, maka dalam kriminologi, batasan kejahatan dipahami sebagai perilaku manusia yang melanggar   norma (hukum pidana), merugikan, menjengkelkan, menimbulkan korban-korban, sehingga tidak dapat dibiarkan[35]. Jadi kejahatan adalah setiap perbuatan yang anti sosial, merugikan, dan menjengkelkan masyarakat. Masyarakatlah yang menilai perbuatan tersebut baik atau buruk[36] Bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara, oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara beraksi, dengan hukuman sebagai upaya pamungkas[37].
Perlu diketahui bahwa dari berbagai jenis tindak pidana yang ada dalam kejahatan terhadap keamanan negara memiliki  sifat yang jelas. Wiryono Prodjodikoro menjelaskan, bahwa:
“Sifat pengkhianatan (verraad)-lah  yang merupakan nada bersama dari tindak pidana titel I. Adu dua macam pengkhinatan, yaitu:
ke-1: Pengkhianatan intern (hoogverraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga rindak pidana terhadap kepala negara, jadi mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari negara.
Ke-2: Pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri,  jadi mengenai keamanan ekstern (uitwendige veiligheid) dari negara, misalnya hal memberi pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan negara kita”[38].

Dari hal di atas dapat diketahui bahwa ada ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam aturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara itu. Ketertiban  hukum yang harus dileindungi dalam hal ini meliputi:
1.   Keamanan kepala negara
2.  Keamanan wilayah negara
3.  Keamanan bentuk pemerintahan[39]. 
 Jadi apabila ditinjau lebih mendalam permasalahannya sampai ke analisis terhadap negara termasuk kepentingan negara itu, sehingga faktor waktu  dan tempat  menjadi faktor yang dominan untuk melihat perbuatan  yang dianggap mengganggu atau mengancam  kepentingan negara.  Sehingga kejahatan itu dianggap sebagai kejahatan terhadap berlangsungnya  kehidupan ketata negaraan atau  delik ketata negaraan[40].
Mengenai pemberantasan terhadap pemberontakan dan terorisme, sebelumnya perlu diketahui secara garis besar apa yang dimaksud dengan pemberontakan dan terorisme itu.
Pasal 108 KUHP yang menyatakan:
(1)   Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama I5 (lima belas) tuhun:
1. orang yang melawan Pemerintah dengan senjata;
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintahan dengan senjata.
(2)   Para pemimpin dan puaa pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Jadi Kejahatan yang diberi kualifikasi oleh pembentuk UU dengan pemberontakan (opstand) adalah kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 108 KUHP , terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a.       Pemberontakan yang dilakukan oleh orang yang perbuatannya melawan Pemerintah dengan senjata;
b.      pemberontakan yang dilakukan oleh orang yang bermaksud melawan Pemerintah Indonesia dengan cara menyerbu bersama-sama;
c.       pemberontakan yang dilakukan oleh orang yang bermaksud melawan Pemerintah Indonesia dengan melakukan perbuatan menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.
Kualifikasi Pelaku pemberontakan (opstand) menurut rumusan pasal 108 ayat (1) KUHP tersebut, adalah:
1.      orang yang perbuatannya melawan Pemerintah dengan senjata;
2.      orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama dengan gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata;
3.      orang yang dengan maksud melawan Pemerintah menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintahan dengan senjata.
Sedangkan kualifikasi  pelaku pemberontakan (opstand) menurut rumusan pasal 108 ayat (2), berupa: pemberontakan yang diperberat, pemberatan pidana mana diletakan pada kualitas subyek hukumnya, yang terdiri dari dua, yaitu:
1.       orang yang berkualitas sebagai pimpinan pemberontakan, dan
2.       orang yang berkualitas sebagai pengatur atau perencana pemberontakan.[41]

 Pasal ini seluruhnya tidak ada dalam KUHP Belanda, barangkali karena di negeri Belanda tindak pidana semacam ini tidak dikhawatirkan akan ada, hanya ada didalam WvS Hindia Belanda yang dimuat dalam tahun 1930. Pembentuk UU di Negeri Belanda tidak pernah memikirkan bahwa di Negaranya sendiri akan dapat terjadi kejahatan pemberontakan seperti yang dirumuskan tersebut diatas. Untuk menjamin keselamatan pemerintahan Hindia Belanda dari kemungkinan serangan­-serangan seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada pasal 108 tersebut
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang per­buatan apa yang dirumuskan dalam Pasal 108 KUHP, maka berikut ini akan diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalarn Pasal 108 KUHP adalah:
Unsur –unsur dalam Pasal 108 (1)  ke-1 KUHP,  terdiri dari:
-      Melawan dengan senjata.
-      Terhadap pemerintah atau kekuasaan.
-      Yang ada di Indonesia.
Unsur pertama dalam Pasal 108 (1) KUHP adalah unsur melawan dengan senjata. Dengan adanya unsur ini, maka agar seseorang dapat dipersalahkan telah melanggar larangan dalam Pasal 108 (1) KUHP angka ke-l, maka harus.dapat dibuktikan, bahwa pada saat ia melakukan tindak pidana tersebut ia bersenjata atau mempergunakan senjata.
Menurut Adami Chazawi,
“Pemberontakan bentuk ini rumusannya sangat singkat, aslinya berbunyi "hij, die de wapenen voert tegen het Indonesie gevestigde gezag", yang oleh Prof. Satochid Kartanegara diterjemahkan dengan `barangsiapa yang mengangkat senjata terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia" (322). Rumusan dengan terjemahan dari Satochid, ada perbedaan dengan yang dilakukan oleh BPHN, yakni kata "de wapenen voert tegen" oleh Satochid diterjemahkan dengan mengangkat senjata terhadap" sedangkan oleh BPHN diterjemahkan dengan "melawan dengan senjata", juga kalimat "Indonesie gevastigde gezag" oleh Satochid diterjemahkan dengan "kekuasaan yang ada di Indonesia, jadi gezag diterjemahkan dengan kekuasaan, dan BPHN menterjemahkan "Indonesie gevastigde gezag" dengan "Pemerintah Indonesia", jadi gezag diterjemahkan dengan pemerintah “[42].
Apa yang dimaksud dengan senjata (wapenen) tidak saja dalam arti senjata api seperti bedil, meriam, granat, roket dan alat-alat senjata perang yang sempurna yang biasanya digunakan oleh Angkatan Perang atau pasukan Kepolisian, akan tetapi semua jenis senjata apapun yang dapat digunakan oleh orang untuk melakukan perlawanan (dengan kekerasan), misalnya senjata tajam (tombak, parang, keris, bambu runcing, panah, arit, celurit) atau palu, tongkat-tongkat kayu atau besi, ketepil, yang tidak terbatas jenisnya.
 Unsur kedua dari Pasal 108 (1) ke-1 adalah unsur terhadap kekuasaan. Patut menjadi catatan, bahwa dalam unsur ini terdapat banyak perbedaan pandangan.Istilah kekuasaan dalam Pasal 108 (1) ke-1 sebenarnya berasal dari istilah Belanda gezag yang, oleh sarjana lain juga diterjemahkan sebagai pemerintah.
Sekalipun dalam hal penafsiran atau penerjemahan istilah gezag, sarjana hukum di Indonesia tidak terjadi kesatuan pendapat,[43] namun pada hakikatnya di antara perbedaan itu terdapat satu pemahaman di mana kekuasaan atau pemerintah yang dimaksud dalam tindak pidana ini adalah kekuasaan atau pemerintah Negara.
unsur yang ketiga yaitu unsur yang ada di Indonesia, maka yang dimaksud dengan kekuasaan atau pemerintah adalah kekua­saan yang ada di Indonesia atau pemerintah yang ada di Indonesia. Jadi pengertian Pemerintah  Indonesia, tidak hanya sekedar badan atau alat-alat perlengkapan pemerintahan negara di pusat maupun di daerah, melainkan lebih luas dari itu. yaitu berupa kekuasaan umum yang ada dalam pemerintahan beserta lembaga­-lembaga dan bagian-bagiannya, baik ditingkat pusat maupun didaerah. 
Perlu dicatat, bahwa tindak pidana pemberontakan seba­gaimana yang diatur dalam Pasal 108 (1) ke-1 KUHP memper­syaratkan, bahwa perlawanan atau serangan dengan senjata tersebut harus dilakukan oleh banyak orang dalam hubungan organisasi. Apabila hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja dan tidak dalam hubungan organisasi tetapi hanya dilakukan terhadap pegawai pemerintah atau pegawai pemegang ke­kuasaan, maka hal itu tidak masuk dalam tindak pidana pem­berontakan sebagaimana diatur dalam Pasal 108 (1), tetapi hanyalah suatu perlawanan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 212 KUHP.[44]
Unsur-unsur Pasal 108 (1) ke-2 KUHP, terdiri dari:
1.      Unsur obyektif, yang terdiri dari:
-      melawan.
-      terhadap kekuasaan atau pemerintah.
-      yang ada di Indonesia.
-      maju bersama atau menyerbu bersama-sama.
-      atau menggabungkan diri dengan
-      suatu gerombolan.
-      atau yang melakukan perlawanan bersenjata
-      terhadap kekuasaan atau pemerintah.
2.      Unsur subyektif: dengan maksud.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 108 (1) ke-2 KUHP tersimpul, bahwa untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan atau pemerintah yang ada di Indonesia, ketentuan Pasal 108 (1) ke-2 KUHP tidak mempersyaratkan diperguna­kannya senjata oleh pelaku. Dengan perumusan tersebut, maka agar seseorang dapat dituntut sebagai orang yang melanggar tindak pidana yang diatur dalam Pasal 108 (1) ke-2 KUHP, orang tersebut tidak perlu membawa senjata, melainkan cukup apabila orang tersebut ikut atau bergabung dengan suatu gerom­bolan yang sedang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah atau kekuasaan yang sah di Indonsesia. Bergabungnya orang tersebut ke dalam gerombolan bersenjata itu juga tidak dipersyaratkan, agar setelah bergabung dengan gerombolan itu pelaku harus ikut melakukan perlawanan dengan memanggul senjata. Bergabung dengan gerombolan bersenjata yang sedang melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau kekuasaan yang ada di Indonesia dengan misalnya menjadi mata-mata, atau hanya sekedar menjadi pengantar berita atau melakukan pekerjaan­-pekerjaan lain yang menjadi bagian dari upaya perlawanan itu misalnya dengan menyediakan makan bagi para anggota ge­rombolan tersebut.[45]
Pemberontakan itu ada, bila. perlawanaa atau serangan dengan senjata tersebut dilakukan oleh orang banyak dalam hubungan organisasi, bila hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja dan tidak dalam hubungan organisasi terhadap pegawai pemegang kekuasaan pemerintah  tidak masuk pemberontakan, akan tetapi suatu perlawanan yang diancam hukuman dalam pasal 212.
Perlawanan itu harus ditujukan kepada kekuasaan pemerintah yang syah, misalnya ditujukan kepada para penjabat militer, penjabat pemerintah daerah, penjabat polisi, para pemegang kekuasaan pemerintahan setempat. Untuk dapat dihukum menurut pasal ini tidak perlu harus ada maksud untuk mengganti atau merobah pemerintahan lama dengan yang lain, dengan maksud untuk melawan saja, misalnya,  karena merasa tidak puas dengan keadaan waktu itu, sudah cukup.
Unsur lain dalam Pasal 108 (1) ke-2 KUHP yang masih me­merlukan penjelasan adalah unsur menyerbu bersama-sama atau maju bersama. Unsur maju bersama" dalam konteks Pasal 108 (1) ke-2 KUHP sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda optrekken. Istilah optrekken oleh sarjana Indonesia kemudian telah diterjemahkan ke dalam berbagai istilah. Ada sarjana yang menerjemahkan istilah optrekken dengan istilah maju dengan[46], melawan[47], dan berbagai istilah yang lain seperti menyerbu dan lain-lain.[48] Kata "optrekken met" oleh BPHN diterjemahkan dengan menyerbu - lengkapnya menyerbu bersama-sama, yang oleh Wirjono Prodjodikoro dengan maju - lengkapnya maju dengan pasukan (1980:208), dan oleh Satochid dengan ikut serta (322).
Dengan contoh istilah bahasa Indonesia itu, memang sukar untuk mencari arti sebenarnya yang mencakup tiga istilah itu, karena sukar untuk dapatnya menyatukan arti antara istilah "menyerbu" dengan "turut serta". Agaknya pengertian istilah "menyerbu bersama-sama" tidak berbeda jauh dengan "maju dengan pasukan", yang menggambarkan suatu pengerlian dimana banyak atau segeromboian orang (pasukan) dengan bersama-sama dan serentak dan terkomando serta terkoordinasi bergerak kesuatu daerah/ wilayah tertentu dengan suatu maksud atau tujuan tertentu yang sama yang incasu maksud ini adalah untuk melawan Pemerintah Indonesia.
Unsur berikutnya dari ketentuan Pasal 108 (1) ke-2 KUHP adalah unsur menggabungkan diri. Dalam konteks bahasa Indonesia kiranya tidak terlalu sulit untuk memalrarni apa yang dimaksud dengan unsur tersebut. Dalam hal ini rasanya istilah tersebut tidak menimbulkan kesulitan pemahaman, sebab istilah tersebut sudah menjadi istilah umum yang orang dengan mudah dapat membayangkan apa yang dimaksudnya itu.
Perbuatan menggabungkan diri dalam perwujudannya dapat bermacam-macam bentuk. Bentuk itu dapat benrupa mendaftarkan diri secara tertulis atau lesan dan diterima secara tertulis atau lesan, atau bisa juga bentuk yang  lebih konkrit berupa menjadi kurir, juru masak, menerima tumpangan, memberi makan, melakukan kegiatan mata-mata, semua perbuatan itu bagi kepentingan kelompok atau gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata itu.
Perbuatan menggabungkan diri (zicht aansluiten) memang tidak diperlukan dengan menggunakan senjata, karena snfat dari menggabungkan diri itu tidak dengan menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun, melainkan dilakukan secara sukarela. Sedangkan penggunaan senjata selalu berhubungan dengan kekerasan. Justru jika bergabung itu karena paksaan baik dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka terhadap perbuatan yang demikian ini, adalah dalam keadaan daya paksa, maka. orang itu tidak dijatuhi pidana, melainkan diputus oleh hakim berupa pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervoiging). Oleh sebab itu jelaslah bahwa menggabungkan diri (dengan gerombolan) itu dilakukan dengan sukarela.
Unsur lain dalam Pasal 108 (1) ke-2 KUHP adalah unsur suatu gerombolan. Dalam konteks Pasal 108 (1) ke-2 KUHP, rnaka yang dimaksud gerombolan adalah gerombolan yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau kekuasaan yang sah di Indonesia. Apakah yang dimaksud gerombolan? Menurut Memory van Toelichting (MvT), istilah atau unsur gerombolan dalam konteks Pasal 108 (1) ke-2 KUHP menunjuk pada.suatu kelompok orang-orang yang memperjuangkan suatu tujuan politik tertentu. Dengan batasan yang diberikan oleh Memory van Toelichting di atas cukup jelas kiranya apa yang dimaksud dengan gerombolan.
 Berdasarkan pengertian ini, kiranya Partai Politik dapat juga disebut dengan suatu gerombolan (bede) yang dimaksudkan ini. Kalau ada sebuah Partai Politik yang kegiatannya melawan Pemerintah, dan ada anggota-anggotanya melakukan perbuatan menyerbu, atau ada orang yang bukan anggota kemudian bergabung menjadi anggota, maka kedua perbuatan itu adalah pemberontakan dalam arti pasal 108.
Berikut ini akan diku­pas sedikit tentang ketentuan dalam Pasal 108 (2) KUHP. Ketentuan Pasal 108 (2) KUHP menegaskan, bahwa pemimpin­-pemimpin dan pengatur-pengatur pemberontakan diancam de­ngan pidana penjara lima belas tahun penjara. Hukuman itu dinaikkan sampai hukuman penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun kalau mengenai pemimpin atau pengatur pemberontakan ini, dengan kemungkinan hukuman mati menurut Penetapan Presiden no. 5 tahun 1959.
Ketentuan Pasal 108 (2) KUHP di atas pada hakikatnya mem­berikan penegasan, bahwa terhadap orang yang menjadi pemim­pin atau pengatur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 108 (1) KUHP diancam dengan pidana yang lebih berat dibandingkan bagi mereka yang melakukan tindak pidananya itu sendiri (sebagai anggota/ orang yang dipimpin). Penegasan ini sangat logis, sebab sangat wajar kiranya apabila seorang pemimpin itu diberi tanggung jawab yang lebih berat daripada orang yang dipimpinnya. Dalam konteks Pasal 108 KUHP sangat wajar apabila terhadap pemimpin gerombolan itu diberikan sanksi yang berat.
Pasal ini dimuat dalam K.U.H.P. dalam tahun 1930 untuk menggantikan pasal 109 K.U.H.P. Yang lama. Alasan utama dari penggantian itu ialah karena dalam pemberontakan didaerah Jakarta dan Banten dalam tahun 1926 terhadap pemerintah Hindia Belanda dahulu para organisator daa pemimpinnya yang mengatur pemberon­takan itu tidak dapat dikenakan pasal 109 K.U.H.P. lama, jika mereka tidak turut serta melaksanakan pemberontakan itu. Ketentuan dalam ayat (2) dari pasal 108, bah­wa pemimpin atau pengatur pemberontakan malahan dihukum lebih berat itu dalam pasal 109  KUHP lama tidak ada:

2.      Keadaan Bahaya yang disebabkan oleh Tindak PidanaTerorisme.
Sedangkan pengertian tindak pidana terorisme bisa dilihat pada uraian tentang pasal 6 dan pasal 7 dari UU no. 15 tahun 2003, yang intinya terdapat dua macam tindak pidana yaitu tindak pidana teror dan tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana teror. Tindak pidana teror terdiri dari dua bagian, yaitu rumusan umum dan rumusan tindak pidana tertentu yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana teror.
Sementara kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan, sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya .Terorisme digunakan sebagai senjata psykologis untuk menciptakan suasana panik, suasana tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror tersebut.
Terrosime tidak mengenal batas negara maupun pemerintahan. Sehingga dengan demikian sudah menjadi permasalahan internasional, dimana masing-masing negara berusaha untuk menangkalnya. Disatu pihak terorisme dianggap sebagai pahlawan,  tetapi dipihak lain terorisme amatlah dikutuk. Dua kutub yang saling berbeda pendapat sering mengakibatkan hubungan yang tegang antara satu negara dan negara lain. Ditambah dengan ikut campur negara-negara lain yang ikut menyatakan simpati kepada salah satu negara atau pemerintah yang bersengketa, menyebabkan rasa ketidakamanan di kalangan masyarakat. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Terutama diinginkan adanya perhatian atas perbuatan teror tersebut[49].
Apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme dalam UU no. 15  tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[50]. Dalam UU tersebut terdapat dua macam tindak pidana yaitu tindak pidana teror dan tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana teror. Tindak pidana teror terdiri dari dua bagian, yaitu rumusan umum dan rumusan tindak pidana tertentu yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana teror.
Tindak pidana terorisme itu dirumuskan dalam dua pasal yaitu Pasal 6 yang mengandung delik materil dan Pasal 7 mengan­dung delik formil.
Pasal 6 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”[51]

Dalam ketentuan umum UU no.15 tahun 2003 dirumuskan tindak pi­dana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan  dalam UU ini. (Pasal 1 ayat 1).  dan  pasal 6 UU no.15 tahun 2003, terorisme didefinisikan sebagai: “perbuatan yang merupakan kekerasan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. [52]
Berkaitan dengan itu Ali Syafa’at  mengutip pendapat dari T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)yang mendefinisikan, bahawa:
“Terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tersebut.[53]

Sedangkan menurut Tjipta Lesmana:
Terorisme adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivaskan politis, ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror adalah menciptaklan state of terror (suasana teror/ketakutan) di dalam masyarakat. [54]
Selanjutnya Penjelasan pasal 6  menerangkan yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" adalah tercemarnya/ rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.Termasuk dengan sengaja melepaskan/ membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya/ beracun ke dalam tanah, udara, air permukaan yang membahayakan orang.
Todung Mulya Lubis, mengomentari:
“Rumusan definitif seperti dalam pasal 6 ini akan menyulitkan orang/ rakyat mengira apakah tindakannya merupakan tindak­an terorisme/ bukan. Kesulitan dalam memprediksi sedari awal sebuah tindakan itu bisa dilihat dari suasana terror/ rasa takut terhadap orang secara meluas . Pengertian suasana teror dan rasa takut secara meluas itu sama sekali tidak ada kuantifikasinya di sini. Begitu juga objek-objek vital yang strategis yang tidak dijelaskan secara rinci.  Jika sebuah definisi tidak mengandung kerincian dalam menunjukkan unsurnya maka penen­tuan terpenuhinya unsur pidana terorisme akan sangat ditentukan oleh kehendak dan pandangan subyektif penyelidik atau penyidik. Sehingga pada gilirannya akan sangat mudah diseleweng-kan berbagai pihak, terutama kalangan intelijen yang setiap lapor­an­nya dapat menjadi barang bukti permulaan yang cukup.  Keti­dak­rincian juga terlihat dalam merumuskan apa yang dimaksud secara jelas tentang obyek-obyek vital strategis. Ini akan sangat mudah dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh MNC (Multinational Corporation) atau perusahaan besar dan instansi tertentu untuk mengintimidasi rakyat di sekitarnya jika terjadi perselisihan. atau barang”[55].
Dengan mengetengahkan dua unsur pidana dari delik materil pada Pasal 6 di atas bisa dilihat bahwa definisi mengenai tindakan terorisme dalam Perppu ini belum memadai dan belum rinci untuk mengkalkulasi sebuah tindakan dan akibat tindakan yang akan dijadikan sebagai unsur pidana dalam kuantifikasi pidana terorisme.
  Pasal 7 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”

Sedangkan dalam Pasal 7 yang merupakan delik formil yang dijadikan unsur pidananya adalah niat yang dirumuskan “bermak­sud”. Menjadikan niat atau “bermaksud” sebagai unsur tindak pidana pada gilirannya akan mendatangkan kekuasaan yang berle­bihan kepada pihak intelijen dalam mencokok siapa saja sebagai teroris. Karena “bermaksud” tidak diperlukan bukti material, maka aparat polisi, intel atau TNI bisa saja menangkap orang atau menya­dap, mengintai orang atau menuduh orang sebagai teroris tanpa orang itu berbuat sesuatu. Dengan kata lain rumusan “ber­mak­sud” hanya cukup dengan keyakinan subjektif seseorang penyelidik atau penyidik dalam memenuhi unsur ini.       
Perbedaan kedua pasal d­i atas adalah Pasal 6 merupakan tindak pidana selesai sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah akibat perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Sedangkan Pasal 7 adalah tindak pidana tidak selesai (percobaan) sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan atau keke­rasannya belum dilakukan[56].
Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, masing-masing bisa ditafsirkan meliputi dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:
1.   Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menim­bulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menim-bulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.
Rumusan Tindak pidana ini menitikberatkan pada munculnya akibat yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal dan cara yang digunakan yaitu: merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (dalam pasal 7 harus dibuktikan maksud untuk mencapai akibat tersebut). Yang perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara massal seharusnya “suasana teror” tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat keamanan.
2.   Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengaki­batkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karena sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti keta­kutan dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar dalam struktur kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan unsur “dengan cara”. Hal ini sangat berbahaya karena mengandung ketidakjelasan tentang perbuatan kekerasan apa sebagai cara­nya, serta apa yang dimaksud dengan obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional. Dengan ketentuan ini sebagai contoh perbuatan yang dapat dijaring adalah: aksi demonstrasi yang “merusak” pagar DPR/MPR atau lembaga negara dan instansi pemerintah atau lembaga internasional, dan aksi reklaiming tanah oleh petani dapat dikategorikan merusak lingkungan. Berdasarkan tafsiran ini, sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana teror tanpa perlu adanya ketakutan dan korban secara massal.[57]
Dalam kedua pasal 6 dan 7  di atas  terdapat tiga istilah yang sangat luas pengertiannya atau multi intepretatif, yaitu: pertama istilah,  “mengin­timidasi”. Kedua, istilah “proses peradilan menjadi tergang­gu” dan ketiga, istilah “tidak langsung”. Kata “mengintimidasi” bisa ditafsirkan bermacam-macam, mulai tindakan nyata sampai dengan pendapat atau komentar. “Inti­mi­dasi” bisa dilakukan oleh siapa saja, baik masyarakat, akademisi, atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Nantinya jangan coba-coba mengomentari penanganan kasus tindak pidana teror karena bisa dituduh “mengintimidasi.  Istilah-istilah  tersebut akan membuat orang sulit untuk memperkirakan apakah tindakannya melawan Perppu ini ataukah tidak (unpridictable). Setiap orang dengan demikian akan menjadi kuatir atau takut aktifitasnya akan dikualifikasikan sebagai perbuatan terorisme.
Secara mendasar persoalan pokok dari  UU no 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu No.1/2002 ini adalah longgarnya definisi mengenai tindakan terorisme itu sendiri. Definisi yang longgar ini akan mudah mendatangkan kecerobohan dari aparat terkait dalam mejalankannya dan sebaliknya menyulit­kan masyarakat memperkirakan tindakannya.
Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau seke­lom­­­­pok individu, dan suatu organisasi. Tindakan teror yang dilaku­kan oleh negara telah dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM (gross violation against human rights)[58]. Jadi pelaku tindak pidana teror yang masih membutuhkan pengaturan adalah individu dan organi­sasi non negara [59].  Pelaku tindakan teror utamanya adalah pelaku yang merupakan bagian dari suatu organisasi  dengan moti­vasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu. Namun dijumpai pula bebe­­rapa kasus teror yang dilakukan oleh seorang atau bebera­pa orang, bukan sebuah organisasi, dengan motivasi politik atau keyakinan tertentu.
Rumusan tindak pidana teror selanjutnya, disebut­kan dalam Pasal 8, yang mengharuskan adanya kesengajaan dan memungkinkan menjerat  kealpaan sebagai suatu perbuatan terorisme  ( pasal 8, d dan g )[60].  Pasal 8 memasukan 18 macam perbuatan sebagai tindak pidana teror dan dipidana sama dengan tindak pidana teror dalam Pasal 6,  yaitu setiap orang yang:
“a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara / menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tsb;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya /rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. karena alpa menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tak dapat dipakai,/ rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan /menyebabkan ditempatkannya  di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat/bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang /menyebabkan kerusakan pesawat udara tsb yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, m, n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan”.

 Selain yang tersebut dalam pasal 6 dan pasal 7, maka tindak pidana lain yang dimasukkan sebagai tindak pidana teror, yaitu dalam ketentuan Pasal 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16. Pencermatan terhadap pasal-pasal ini seperti pada Pasal 8 akan menunjukkan kecenderungan “teorisasi” tindak pidana biasa.
  Secara khusus disini patut dilihat ketentuan pasal 14 yang berbunyi:“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”
Kata “merencanakan” dalam pasal ini, coba untuk disambungkan dengan Kata “menggerakkan”, sehngga mempunyai pengertian bias. Pasal ini bisa menjerat dan me­mbelenggu kebebasan mengemu­kakan pendapat dan kebebasan pers. Kata “menggerakkan” tidak memiliki ukuran jelas sehingga bisa saja ditafsirkan yang “memoti­vasi” atau yang “menginspirasi” dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana teror. Seorang guru, ulama, pastor, atau pengamat dapat dikenai pasal ini jika kemudian ada seseorang yang melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan mereka. [61]
Dalam Penjelasan UU AntiTerorisme dikatakan bahwa Terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan;  terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Pemberantasan Pemberontakan dan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme. Ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan ;
Pemberontakan dan terorisme itu merupakan ancaman  keamanan nasional.. Ancaman itu sendiri mempunyai hakekat majemuk (the nature of threat).Ancaman dapat ber-bentuk fisik atau non fisik, konvensional atau nonkonvensional, global atau lokal, segera (immediate) atau mendatang (future), potensial atau aktual, militer atau non militer, langsung atau tak langsung, dengan kekerasan bersenjata atau tanpa kekerasan bersenjata, ancaman perang tak terbatas atau perang terbatas, datang dari luar negeri atau dari dalam negeri.
Atas dasar pertimbangan ini banyak negara yang melengkapi instrument pengaturnya dengan Undang-undang tentang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Amerika Serikat baru saja menerbitkan ISA. ISA adalah instrumen pengatur untuk men-dukung tindakan cepat otoritas Keamanan Nasional dalam menanggulangi gangguan keamanan dalam negeri yang disebabkan oleh ancaman non tradisional[62]. Sebenarnya baik Singapura, Malaysia maupun Thailand "meniru" Indonesia yang telah sejak lama mempunyai Undang-undang tentang Anti Subversi guna menanggulangi ancaman non tradisional, dan UU keadaan bahaya  untuk daerah-daerah yang terkena konflik/ pemeberontakan. Namun seiring dengan gencarnya reformasi nasional UU ini dianggap sangat represif dan melanggar HAM sehingga UU ini kemudian dicabut.
Dari uraian di atas dapat dikatakan secara universal banyak negara melengkapi manajemen Keamanan Nasionalnya dengan beberapa instrumen pengatur seperti UU tentang Keamanan Nasional (NSA), UU tentang Keamanan Dalam Negeri (ISA), UU tentang Intelijen Negara, UU tentang Keadaan Darurat/ Emergency Act,  UU tentang Kepolisian, sebaliknya belum ada negara mempunyai UU tentang Pertahanan Negara kecuali Indonesia paska reformasi. Pada masa lalu, UU tentang Pertahanan Keamanan Negara RI dapat disetarakan dengan NSA. [63]

Dari hal di atas ada beberapa catatan yang kiranya  dibutuhkan dalam pemberantasan pemberontakan dan terorisme, yaitu:
1). Diperlukan adanya Peningkatan kemampuan instusi kepolisian yang menurut ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya bertugas menanggulangi kelompok mana yang menjadi master mind aksi pemberontakan  dan  terorisme. Dengan cara meningkatkan keamanan di pusat kegiatan publik seperti hotel, mal, bandara, terminal, instansi pemerintah dan swasta dalam rangka mencegah serangan fisik kaum teroris. Dan penerapan keadaan darurat sipil, darurat militer sampai keadaan perang di daerah rawan pemberontakan. Termasuk ide pembentukan Satuan Gugus Tugas Anti teroris (Counter Terrorism Task Force/ CTTF) pada Februari 2003 oleh  Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
2). Pembuatan suatu instrumen hukum yang lebih keras untuk menghadapi kelompok-kelompok Pemberontak dan teroris. Dengan harapan pencegahan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.      Di daerah konflik dengan pencabutan status DOM (missal; di Aceh), pencabutan status keadaan bahaya, tawaran pemberian amnesty dan perjanjian genjatan senjata. Dalam penanganan terorisme, perlu tindakan Adopsi Hukum Pidana Internasional dan ratifikasi berbagai konvensi internasional sejak tahun 1937 mengenai terorisme telah menempatkan Tindak Pidana Terorisme sebagai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana internasional
      Sekedar catatan, sebenarnya UU No. 15 dan 16 Tahun 2003 juga sudah lebih keras dibandingkan dengan KUHP dan undang-undang sebelumnya yang dibuat dalam rangka menanggulangi tindak pidana yang dikategorikan sebagai ordinary crime. Sebagai instrumen hukum untuk menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat extra ordinary crime. UU No. 15 dan 16 Tahun 2003 juga dibuat dengan memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tidak lagi bersifat umum tetapi sudah bersifat spesifik antara lain penerapan asas Retroaktif serta Non Lapse of Time kecuali terdakwa meninggal dunia dan sesuai kaidah hukum universal.
      Kebijakan yang masih dalam tataran perdebatan adalah keinginan pemerintah untuk menerapkan Internal Security Act seperti diterapkan di Singapura dan Malaysia. Melalui ISA pemerintah berharap dapat melakukan pencegahan bersifat repressive-preventive dengan memberlakukan penahanan  bersifat nonjudikatif selama kurun waktu tertentu terhadap orang yang diindikasikan kelompok teroris atau setidak-tidaknya merencanakan kegiatan terorisme. 
3). Peningkatan peran serta dalam kehidupan ketatanegaraan dan Keterbukaan acces to justice. Karena tindak pidana pemberontakan dan terorisme oleh beberapa ahli hukum dikatakan sebagai political criminal di mana aktivitas kejahatannya dilakukan untuk tujuan bersifat ideologis. Kejahatan tersebut dilakukan bukan atas dasar motivasi nafsu dan keinginan pribadi, tetapi atas keyakinan pelaku bahwa mereka sedang memperjuangkan atau mempercayai  adanya suatu  moralitas yang  lebih tinggi untuk menggantikan moralitas masyarakat dan rezim yang saat itu  ada.
4). Peningkatan peran/ kemampuan keamanan, misalnya  instusi intelijen seharusnya lebih dikedepankan karena dengan alasan struktur dan aktivitas kelompok pemberontak dan terorisme identik dengan struktur dan aktivitas intelijen, contoh:
- Adanya pemberian status otonomi khusus dan pemberlakuan syari’at Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam..
-  Adanya  ide pembentukan sekolah penanggulangan teroris Asia Tenggara yang di Indonesia.
- Gagasan Negara Australia menerapkan upaya pertahanan laut (konsep Australia Maritime International Zone (AMIZ)/ Zona Informasi Maritim Australia) dengan memasang radar dengan jangkauan hingga 1000 mil laut atau sekitar 1850 kilometer dari kawasan perairannya dalam upaya menanggulangi tindakan teroris.[64]
-  Tindakan  Jepang memperketat pengamanannya dari kemungkinan ancaman teroris. Setiap warga negara asing di negeri sakura itu diambil foto dan sidik jarinya. Bahkan, direncanakan,  menempatkan polisi udara di setiap penerbangan.[65]
- AS dan Australia menyatakan tekadnya melakukan serangan pendahuluan (pre-empt strike) untuk menangkal terorisme, Demikian juga Rusia mengumumkan haknya untuk melakukan serangan pencegahan (preventive strike). Serangan tersebut, serangan preventif ke seluruh dunia, menurut Moskow, akan dilakukan terhadap setiap pangkalan teror di mana pun di dunia ini. [66]
5). Keinginan pemerintah untuk menanggulangi pemberontakan/  terorisme sebagai implementasi kewajiban negara melindungi warganya tidak boleh  terjebak kepada suatu tindakan yang mengarah kepada abuse of power yang dapat menimbulkan pemberontakan dan terorisme bentuk lain yaitu State Terrorism, yang akan menempatkan Pemerintah Indonesia sebagai pelaku pelanggaran HAM di mata masyarakat Internasional, contoh Kasus Timor Timur.[67]

3. Keadaan Bahaya Yang Disebabkan Tindak Pidana Yang Mengancam Pertahanan Negara
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam penerapan hukumnya sangat ditunjang oleh adanya Sistem pertahanan Negara.
Sistem pertahanan Negara, yang di maksud disini merupakan suatu sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. [68]
Di Indonesia Berkaitan dengan masalah pertahanan Negara telah diatur dalam UU no.  3 tahun 2002  Tentang Pertahanan Negara,  UU tersebut mereupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan perubahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia, yang didorong oleh perkembangan kesadaran hukum, yang hidup dalam masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti.
Dalam Pelaksanaannya, proses penegakan hukum Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Sehingga Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan.
 Untuk itu Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman. Karenanya, pertahanan Negara terutama akan  diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara.. Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan.
Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.
Unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa terdiri dari:
  1. Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
  2. Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara.(2) Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan Negara”[69].
Dari pasal-pasal di atas bisa dilihat bahwa konsep Pertahanan Negara menekankan pada segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa, dengan sistem pertahanan yang bersifat semesta [70], yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya  sebagai komponen pertahanan negara. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. [71]
Ancaman pertahanan negara, sebenarnya merupakan Ancaman terhadap kedaulatan Negara, semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. [72]. Ancaman bisa berupa   ancaman militer dan ancaman non militer.  Ancaman militer,  berbentuk antara lain:
a.   Agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata  negara lain terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan cara-cara,[73]:
b.  Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non komersial.
c.   Spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia militer.
d.  Sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan obyek vital nasional yang membahayakan keselamatan bangsa.
e.   Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri yang bereskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
f.   Pemberontakan bersenjata.
g.  Perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan kelompok masyarakat bersenjata lainnya. [74]
Ancaman yang bersifat multi dimensional tersebut bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.
Fungsinya pertahanan Negara adalah untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan. Dan Penyelenggara pertahanan negara, adalah pemerintah, dalam menghadapi ancaman militer maka menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen  pendukung[75]. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Untuk itu Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan Negara[76],  dengan menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
UU Pertahanan Negara ini isinya mengesankan hanya mengatur tentang pemberian wewenang yang lebih besar pada pihak militer untuk berkuasa dan tidak mengatur syarat-syarat keadaan bahaya dan prosedur keselamatan negara dari ancaman krisis ekonomi, politik, sosial budaya, dan iptek[77]. Menimbulkan penafsiran bahwa UU ini  memiliki tujuan tendensius untuk memberikan kekuasaan dan wewenang berlebihan terhadap militer Hal mana terlihat dari dimungkinkannya  TNI  untuk melakukan operasi militer, sebagaimana yang tergambar dalam penjelasan  pasal 10 ayat 3 (c), yakni:
“Operasi militer pada dasarnya, terdiri atas operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Operasi militer meliputi kegiatan terencana yang dilaksanakan oleh satuan militer dengan sasaran, waktu, tempat, dan dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan terinci. Operasi militer selain perang, antara lain berupa bantuan kemanusiaan (civic mission), perbantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengamanan pelayaran/penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan (Search And Resque), bantuan pengungsian, dan penanggulangan korban bencana alam.Operasi militer selain perang dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan” [78].
 Sehingga hal ini memerlukan pengkajian lebih mendalam, mengingat "pertahanan negara" dari ancaman pihak asing adalah tugas TNI, sedangkan "keamanan" dalam negeri adalah tugas polisi. Secara yuridis formal TNI dan Polri telah dipisahkan, maka UU yang mengatur TNI selaku militer dan Polri harus dipisahkan sebagai UU Militer dan UU Kepolisian. Dan beresiko tinggi melahirkan rejim militer di Indonesia karena tujuannya adalah memberi kekuasaan yang sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum apapun, setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer dengan mudahnya dapat mengesahkan keadaan darurat.
UU ini memberi peluang pada militer untuk berkuasa total dengan menggantikan fungsi keamanan domestik yang merupakan tugas Polri dan fungsi administratif pemerintahan sipil baik pusat maupun daerah. Bahkan UU ini bisa memberikan peluang pada militer untuk memberlakukan hukumnya sendiri di atas hukum yang berlaku dan mengambil alih pengadilan tindak pidana sipil oleh peradilan militer. diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan demokrasi, dan akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat karena merasa kebebasannya direnggut penguasa militer. [79]
Dengan demikian sistem pertahanan negara "Militerisme" bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara, namun justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan bangsa[80].
Warna militerisme yang kental di Indonesia, sedikit terungkap dalam  laporan Al-Qaeda in South-east Asia: the Case of the "Ngruki Network" in Indonesia (2002)  ditulis oleh Direktur International Crisis Group, Sidney Jones, peneliti dari Amerika Serikat. Telah diulas tentang “JI itu bernama JARINGAN ISTANA”,  Di sini Jamaaah Islamiyah (JI) tergambarkan - meski menyisakan ada kesangsian [81].  Lebih jelasnya  laporan tersebut menulis sebagai berikut:
“Kelompok bayang-bayang, siluman bahkan hantu kondang. Begitulah anggapan sebagian orang terhadap Jamaah Islamiyah (JI). Anggapan ini tidak salah. Pasalnya, sosok JI memang temaram. Yang aneh, Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai repot hingga memasukkan JI ke dalam daftar teroris internasional, seusai JI disebut-sebut terlibat serangan bom di Kuta, Bali, 12 Oktober.
Amerika, dengan semua propaganda, menggambarkan JI punya jaringan sel di Asia Tenggara. Tujuannya; mendirikan negara Islam se-Asia Tenggara. Tapi siapa pemimpin JI tidak jelas. Penasehat senior Singapura, Lee Kuan Yew, usai dapat masukkan dari intelijen Singapura, menuding Abu Bakar Ba'asyir sebagai pemimpin umum JI, meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan mudah, pengasuh Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, membantah tudingan Lee.
JI tak terlepas dari tiga peristiwa penting. Yakni, Darul Islam (DI) pimpinan Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, pemberontak Kahar Muzakar di Luwu, Sulawesi Selatan dan perlawanan DI di Aceh yang memunculkan Gerakan Aceh Merdeka.
Tiga peristiwa tersebut, dalam kadar yang berbeda, mempengaruhi apa yang disebut 'Ngruki Network' (jaringan Ngruki) --pimpinan Ba'asyir dan Abdullah Sungkar. Selama satu dekade, pemerintahan RI bisa menghancurkan DI. Sidney Jones juga mengupas tentang sikap pemerintah terutama di masa rezim Presiden Soeharto dalam menghadapi gerakan bernafaskan Islam itu.
Mendekati Pemilu 1977, ditulis Sidney Jones, partai berbasis Islam (PPP) berupaya mengumpulkan kekuatan sebagai oposisi setia. Soeharto, rupanya, ketakutan. Lalu, ia mendahului untuk memiliki kemungkinan suara PPP yang besar. Almarhum Jenderal TNI Ali Moertopo, pemimpin operasi rahasia atau operasi khusus (Opsus) Soeharto, menggiatkan kembali DI. Lewat cara ini, Ali Moertopo berharap rakyat tidak ingin diidentifikasikan dengan bentuk politik Islam apapun. Untuk itulah, ia menggiatkan agen intelijen BAKIN.
Lewat intelijen BAKIN, para pejuang DI --terutama di Jawa-- dibujuk agar menghubungi teman-teman seperjuangan mereka. Rayuannya kejatuhan Vietnam Selatan menghadapkan Indonesia pada bahaya komunis. Sejumlah pimpinan DI termakan umpan Ali Moertopo. Lalu, pemerintah menahan 185 orang termasuk Ba'asyir dan Sungkar, sebagai anggota organisasi bernama; Komando Jihad.
Dalam realitanya, tulis Jones, Komando Jihad hanya ciptaan Ali Moertopo. Komando Jihad dipimpin oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) dan Haji Danu. Hispran disebut-sebut sebagai agen BAKIN. Di pengadilan, Haji Danu jelas mengatakan dirinya telah direkrut BAKIN untuk menjadi intel, sejak 1971. Di persidangan, muncul "Jemaah Islamiyah" (komunitas Islam). Dan istilah itu ditemukan dalam dokumen pengadilan, 1980. Jaksa penuntut menunjukkan bukti JI adalah organisasi dengan kepemimpinan yang bisa diidentifikasi.
JI yang dimaksud jaksa sebenarnya yakni JI struktural bentukan Moertopo. (Baca: Perkembangan dan Perpecahan JI Tahun 1995-2000). Pada tahun 1995, struktur kepemimpinan kubu Solo dan Kudus (Ba'asyir dan Sungkar) ke luar dari JI struktural. Mereka lalu bergabung dengan Ikhwanul Muslimin Mesir Jemaah Islamiyah. Pada tahun ini kelompok itu mengembangkan Daulah Islam Nusantara (DIN), lantas membikin Angkatan Muslim Islam Nusantara (AMIN).
Dari sinilah, muncul sosok bernama Riduan Isamuddin alias Hambali. Jones dalam laporannya menulis bahwa Hambali alias Enceng Nurjaman, diprediksi sebagai kontak utama Al-Qaeda di Indonesia. Sebenarnya, Hambali masuk ke JI nonstruktural selaku seorang intruder (penyusup). Ia disusupkan pemerintahan Soeharto lewat Opsus dengan sandi G-8. Dulunya, ada G-1, G-2, G-3 dst. Tugas Hambali; membangun struktur keuangan JI nonstruktural, mengirim anak-anak bekas JI Aceh yang berada di Malaysia sebagai Bantuan Tenaga Operasi (BTO) Jaring Merah. Mereka disusupkan ke GAM dengan cita-cita Republik Islam Aceh. Mereka dikirim untuk memicu konflik di daerah.
JI, di bawah Hambali yang terhubung dengan istana kepresidenan Soeharto, tidak lagi kependekkan dari Jamaah Islamiyah namun juga Jaringan Istana. Sumber-sumber intelijen mengatakan bahwa JI yang berarti Jaringan Istana saat ini memiliki anggota mencapai 305 orang. Jaringan Istana membangun aliansi di 10 provinsi. Keuangannya; melimpah. Setiap bulan, ada kucuran dana mencapai Rp 1,5 miliar untuk gelar operasi-operasi Jaringan Istana.
Jaringan Soeharto yang dipimpin Hambali ini melakukan latihan militer di kamp Abubakar di Filipina Selatan. Kepala Polri (Kapolri), Jenderal Pol. Da'i Bachtiar, mengatakan polisi terus mengejar Hambali. Sewaktu dikejar di Jakarta, jelas Da'i, Hambali lari ke Ambon. Dikejar ke Ambon, Hambali lari ke Poso. Waktu diburu ke Poso, Hambali terakhir dikabarkan kabur ke Pakistan. ''Saat ini, Hambali diduga ada di Aceh. Ia memimpin operasi JI dari Aceh,'' kata seorang sumber intelijen di Mabes Polri. Mau bukti, JI (Jaringan Istana) pimpinan Hambali membangun mas'ul --wilayah-- di Aceh.
Tak lama setelah bom meledak di Bali, JI pimpinan Hambali termasuk salah satu kelompok yang dicurigai oleh polisi ada di balik peledakan bom itu. Tuduhan Matori pada Amrozy sebagai bagian dari JI pimpinan Sungkar JI --yang disusupi Hambali-- benar dan Jaringan 50 terkuak, lantas ada kaitan dengan Hambali, pembaca bisa meraba sendiri, siapa di balik bom di Bali.
(tim adil)
Perkembangan & Perpecahan Jemaah Islamiyah
Masa Soekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, 1948-1962
Tahun 1953, Aceh menyatakan diri sebagai negara bagian Aceh. Tahun 1960, Kahar Muzakkar menyempal dari struktur Kartosuwirjo dan memproklamasikan diri sebagai Republik Persatuan Islam.
Masa PascaSoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, 1962-1968
Di bawah kepemimpinan Agus Abdullah, Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi.
Masa PascaSoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, 1969-1976
Jemaah Islamiyah (JI) Fillah (nonstruktural) melakukan musyawarah dengan kubu JI struktural bentukan Jenderal TNI Ali Moertopo --pimpinan operasi rahasia atau operasi khusus (Opsus) Presiden Soeharto. Musyawarah lantas memutuskan kepemimpinan struktural diserahkan kepada Daud Bereueh, tahun 1976.
Masa Daud Bereueh, 1978-1984
Terjadi perpecahan. JI struktural dipimpin Daud Bereueh. Kubu lain yakni struktur kepemimpinan Adah Djaekani Tirtapradja. Sedang, kepemimpinan JI nonstruktural di bawah Wakil Imam. Djadja Sudjadi lantas dieksekusi Adah Djaelani tahun 1978.
Perpecahan Jemaah Islamiyah, 1995-2000
Tahun 1995, struktur kepemimpinan Solo dan Kudus (Jawa Tengah), Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, di pengasingan (Malaysia), dan menyatakan ke luar dari struktur maupun doktrin JI struktural. Mereka lantas gabung secara metodologi pada Ikhwanul Muslimin Mesir Jamaah (Gemaat) Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman.
Struktur Jalur Kepemimpinan (JK) Wilayah I memisahkan diri lalu dipimpin Aceng Kurnia dan selanjutnya dipimpin Asep (Syaiful), putra Aceng. Kini, wilayahnya melebar hingga Cirebon dan Jakarta. Lalu, struktur JK Wilayah IX dipimpin oleh Abu Toto dilegalisir Adah Djaelani dan mengklaim secara resmi sebagai pemegang kepemimpinan JI struktural. Struktur kepemimpinan Dodo-Tahmid Kartosuwirjo pada tahun 1997, berdiri sendiri lalu bergabung dengan Ajengan Masduqi tahun 1998.
Tahun 2000, para eksponen JI struktural dari berbagai jalur kepemimpinan membentuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melalui Kongres Mujahidin di Yogyakarta, lantas mengangkat Abu Bakar Ba'asyir sebagai Ketua Ahlul Halli Wal Aqdi. Namun, kelompok Abdullah Sungkar yang telah menyatakan ke luar dari struktur dan doktrin JI struktural melepaskan diri atas terpilihnya serta pengangkatan Ba'asyir. Struktur pimpinan Dodo-Tahmid Kartosuwirjo, pecah lagi dari struktur Ajengan Masduqi dan menyatakan berdiri sendiri.
Tahun 2000 pula, beberapa bekas narapidana politik JI mendirikan Majelis Khilafatul Muslimin Indonesia (MKMI) lalu mengangkat Abdur Qadir Baradja sebagai pimpinan atau khalifahnya. MKMI secara organisasi telah masuk ke dalam struktur kepengurusan MMI melalui Kongres Mujahidin di Yogyakarta. (dari berbagai sumber). Catatan: Lihat komentar Abu Bakar Ba'asyir ,”Tidak ada Ngruki Network”. Untold Story / the X files Oleh : Redaksi 18 Jun 2004 - 12:15 am “.[82]



4. Keadaan Bahaya yang disebabkan Tindak Pidana Politik
           Delik Politik merupakan istilah sosiologis, bukan istilah yuridis, di kalangan  hukum lebih terkenal dengan delik keamanan negara [83]. Hal senada juga diungkapkan oleh Sumiyanto, yakni: “Kejahatan politik  merupakan istilah sosiologis, sedang secara yuridis  disebut kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan terhadap ketatanegaraan. Obyek kejahatan terhadap ketatanegaraan  dapat mengenai lembaganya  maupun mengenai aktifitasnya”[84].
Kata politik  berasal dari bahasa Yunani “politia” yang mempunyai arti segala sesuatu yang berhubungan dengan negara atau segala tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai pemerintahan  suatu negara (WJS Poerwadarminta, 1982, h. 763) Menurut Juwono  Sudarsono pengertian politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Sedang menurut Dennis Kavanagh pengertian politik adalah upaya untuk mendapatkan kuasa [85].
Dengan demikian dapat ditentukan bahwa:
a.       Politik sebagai suatu tujuan negara;
b.      Politik adalah kekuasaan dalam arti mendapatkan  dan mempertahankan kekuasaan;
c.       Politik menyangkut pengambilan keputusan;
d.      Politik adalah suatu kebijaksanaan dalam mengambil keputusan”. [86] 

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa kejahatan politik adalah salah satu Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, sehingga harus diatur melalui ketentuan umum yang mendasar pada asas umum dalam hukum pidana. Karena itu setiap negara berhak untuk mempertahankan  kelangsungan  hidupnya dan membela diri dari setiap tindakan yang  bermaksud untuk meruntuhkan negara, untuk itu negara berhak untuk mengadakan berbagai sarana  dan lembaga hukum  yang bisa mendukung hal itu.
Dalam Lingkup materi pembahasan  kejahatan terhadap keamanan Negara, maka kejahatan terhadap keamanan Negara dapat dikategorikan sebagai  Kejahatan di bidang politik, yang dalam penjabarannya diperinci menjadi Kejahatan politik yang bersifat nasional dan kejahatan politik yang bersifat internasional.
Beberapa perbuatan yang tergolong sebagai kejahatan politik nasional.  Antara lain adalah  perbuatan  berupa:
1.      Pengkhianatan (pelanggaran tugas kesetiaan)
2.      Penghasutan (provokator/ penganjur)
3.      Makar terhadap kepala Negara.
4.      Bergabung dengan musuh
5.      Pemberontakan
6.      Penculikan
7.      Penyerangan
8.      Kegiatan mata-mata
9.      Kerusuhan (gangguan dengan kekerasan/ ancaman kekerasan)
10.  Permusuhan antar ras/ suku/ penganut agama
11.  Pengrusakan barang-barang untuk kepentingan umum
12.  Fitnah terhadap pejabat pemerintah”. [87]

Sedangkan perbuatan kejahatan politik internasional, M. Cherif Bassiouni,  berpendapat , antara lain berupa:  
1.      Piracy (Pembajakan kapal laut)
2.      Hijacking (Pembajakan pesawat terbang)
3.      Teroris (Penggunaaan kekerasan untuk tujuan politik)
4.      Sabotase  (perbuatan yang menyebabkan kerusakan atau gangguan).
5.      Genocide (pemusnahan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok agama)
6.      Hostages (penyanderaan)
7.      Misuse of Drugs (Penyalahgunaan obat)
8.      Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan)
9.      Apartheid ( tindakan kekerasan atas dasar perbedaan ras, warna kulit atau asal kebangsaan)”.[88]

Lebih jelasnya, pasal-pasal di dalam Bab I Buku Ke dua KUHP  adalah tindak pidana terhadap kehidupan negara, terutama tentang kelembagaan negara, meskipun masih terasa belum mencakup keseluruhan perlindungan lembaga-lembaga negara, umpamanya bagaimana dengan suatu perbuatan tentang mengacaukan  sidang MPR atau DPR atau perbuatan tentang tidak berfungsinya DPR/ MPR atau anggota-anggotanya.
Loebby Loqman selanjutnya mengemukakan empat teori dalam menentukan delik politik,  dengan mengutip pendapat  Hazewinkel–Soeringa. Keempat teori itu adalah:
a. Teori obyektif atau disebut teori absolut.
    Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara.
b. Teori Subyektif atau teori relatif.
     Pada asasnya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik politik.
c. Teori “Predominan”.
    Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik terutama terhadap teori subyektif dan teori relatif. Dalam hal ini diperhatikan apa yang dominan  dari suatu perbuatan. Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbuatan tersebut tidak disebut sebagai delik politik.
d. Teori “Political Incidence”.
    Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiiatan politik.[89]

Berangkat dari beberapa teori itu maka beliau mengemukakan pengertian delik politik, yakni dengan menyetir apa yang dikemukakan menurut Konperensi Internasional tentang hukum pidana, bahwa suatu delik politik adalah “ suatu kejahatan, yang menyerang baik organisasi ataupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut”.

5. Keadaan Bahaya yang disebabkan terjadinya bencana alam.

Posisi wilayah Negara Indonesia yang di lintasi garis khatulistiwa, berada di antara dua benua, menjadi lokasi pertemuan dua lingkaran alur gunung berapi dunia, berupa kepulauan yang diapit dua samudera dan sebagainya, menjadikan wilayah Indonesia sering mengalami berbagai peristiwa bencana alam yang dating silih berganti.

Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan kehidupan biasa menurut undang-undang. Beberapa unsur yang harus ada di antaranya ialah:
1.       Adanya bahaya negara yang patut dihadapi secara luar biasa.
2.       Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3.       Kewenangan yang biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.
4.       Wewenang luar biasa itu dalam HTN Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat tersebut dipandang tidak membahayakan lagi. Dikatakan dalam Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang” [90]

Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 22 UUD 1945 :
1. Dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
2. Peraturan tersebut haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut

Dalam Pasal 12 UUD 1945  kalimat kedua  menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang".  Jadi UUD 1945 mengamanatkan pembentukan UU untuk mengatur syarat-syarat keadaan bahaya[91].  
Hal mana kemudian diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya  sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960, yang selanjutnya akan disebut sebagai UU Keadaan bahaya.

Sedangkan secara khusus keadaan bahaya beberapa daerah telah diatur, antara lain:
1. Keppres RI no. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2002
2. Keppres RI no. 27 tahun 2003 Tentang Penghapusan Keadaan Darurat Sipil Di Propinsi Maluku Utara.
3. Kepres RI no. 28 Thn.2003 Tentang Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat  Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Keppres RI no. 97 tahun 2003 Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam.
5. Keppres no. 43 Tahun 2004 Tentang Pernyataan Perubahan Status Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer menjadi Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .
6. Peraturan Presiden RI no. 2 tahun 2004 Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan darurat Sipil Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam. [92]


B.     PROSES PENETAPAN KEADAAN BAHAYA
Terlihat bahwa keadaan bahaya juga diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Pemilihan bentuk dasar hukum berupa Perpu,  menunjukkan latar belakang pembuatan perpu harus memenuhi unsur keadaan bahaya dan unsure kegentingan yang memaksa. setidaknya terdapat  3 unsur penting yang secara bersama-sama membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.[93]
Perpu lahir dikala negara, khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. [94]
Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau normal.[95]
Pada situasi negara dalam bahaya yang diperlukan adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamatan dan keamanan negara yang pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan rakyat harus berdasarkan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.  Dalam situasi demikian tanggung jawab  utama ada pada Presiden dengan menetapkan negara keadaan bahaya dalam status darurat sipil atau status darurat militer atau keadaan perang, dalam kapasitas presiden sebagai penyelenggara  pemerintahan negara  tertinggi, untuk menyelamatkan dan mengamankan negara.
 Hal mana terlihat dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1959:
“Bahwa di daerah-daerah penguasaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala daerah serendah-rendahnya dari daerah Tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Namun untuk suatu daerah tertentu Presiden selaku Penguasa Darurat Sipil Pusat dapat menunjuk susunan penguasaan dalam keadaan darurat sipil yang berlainan dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 1959 apabila dipandang perlu serta disesuaikan dengan kondisi daerah yang bersangkutan”

C.    AKIBAT HUKUM KEADAAN BAHAYA
Perbedaan antara keadaan darurat sipil, keadaan  darurat militer dan keadaan perang  secara garis besar  antara lain: 
2. Penguasa.
Penguasaan tertinggi dalam situasi Negara keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa  darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.
Sedangkan  penguasaan di daerah- daerah, terdiri dari:
a. Penguasa Darurat Sipil  Daerah adalah kepala daerah yang dibantu komandan militer, kepala polisi, dan kepala kejaksaan setempat.
b. Penguasa Darurat Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan kepala kejaksaan setempat.
c. Penguasa Perang Militer Daerah adalah komandan resimen Angkatan Darat/Angkatan Laut/Angkatan Udara dibantu kepala daerah, kepala polisi dan kepala kejaksaan setempat.
2. Kewenangan / hak.
a.  Penguasa Darurat Sipil  Daerah  antara lain berwenang :
1) Dapat menyuruh atas namanya pejabat polisi atau pejabat pengusut lainnya memasuki atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.
2)  Dapat menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang memakai barang itu.
3) Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi seperti telepon, telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga menyita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.
b. Penguasa darurat militer antara lain berhak :
1) Mengatur, membatasi atau melarang sama sekali dengan peraturan tentang pembikinan, pemasukan dan pengeluaran, pengangkutan, pemegangan dan perdagangan senjata api, obat peledak mesiu, barang-barang yang dapat meledak dan barang-barang peledak.
2)  Menguasai perlengkapan-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi seperti telepon, telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak.
3)   Mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan/perusahaan/perkebunan atau sebagian daripada itu atau suatu jabatan.
4)  Penguasa darurat militer berhak menangkap orang dan menahannya selama-lamanya 20 hari. Tiap-tiap penahanan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah harus dilaporkan kepada Penguasa Darurat Militer Pusat dalam waktu 14 hari.[96]
c.  Penguasa Perang antara lain  berhak:
1)   Mengambil atau memakai barang- barang semacam apapun juga langsung untuk kepentingan keamanan atau pertahanan.
2)   Penguasa Perang berhak sewaktu-waktu memerintahkan penyerahan barang-barang yang akan diambil untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan keamanan atau pertahanan.
3)   melarang pertunjukan-pertunjukan, pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar, menutup percetakan.
4)   memanggil orang warga negara bukan militer, yang bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia, untuk bekerja pada Angkatan Perang Republik Indonesia dan  diminta pertolongan serta bantuan untuk menjaga keamanan atau ikut serta dalam pertahanan, maupun untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan militer yang dapat dilakukan olehnya.
5)   mencegah jangan sampai orang dengan sengaja melalaikan atau menolak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah disanggupinya atau yang harus dipenuhinya oleh karena jabatannya apabila menurut pertimbangan Penguasa Perang hal itu mengakibatkan atau dapat diperhitungkan akan mengakibatkan kerugian pada pertahanan Negara, kerugian pada ketertiban umum atau pada kehidupan ekonomi masyarakat.
6)   memerintahkan, bersama-sama dengan larangan tersebut di atas, kepada majikan untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang layak bagi kepentingan buruh yang bekerja padanya.
7)   mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan/perusahaan/perkebunan atau sebagian dari padanya itu atau suatu jabatan yang ada di daerahnya.

Dalam pasal 12-20 UU No. 23 Tahun 1959, dijelaskan tentang wewenang penguasa darurat sipil untuk menyusun berbagai peraturan. Misalnya, membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, dan perdagangan. Penguasa darurat juga berhak menggeledah tiap tempat, memeriksa badan dan pakaian orang yang dicurigai, membatasi kegiatan orang di luar rumah, dan menahan siapa pun yang dicurigai. Penguasa berhak melarang pertemuan, menyita segala macam barang, menyadap semua percakapan telepon, radio, dan melarang pengiriman berita ke luar daerah, bahkan penguasa berhak menghancurkan perlengkapan komunikasi Dalam UU itu juga terlihat presiden berhak mengumumkan dan mencabut keadaan bahaya kapan pun dia suka, karena UU Darurat tidak mengatur ketentuan pertanggungjawabannya. Presiden dapat menentukan waktu darurat ini sesuka hati seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan 10 tahun, tanpa perlu persetujuan DPR[97].


PENUTUP
A.Kesimpulan
a.      Hukum yang mengatur tentang Penetapan Negara dalam status keadaan bahaya, prosedur dan akibat hukumnya  masih mengacu pada ketentuan yang bersifat darurat yang di buat mada masa Orde lama, sehingga perlu dilakukan pengkajian dan pembaharuan hokum.
b.      Penetapan suatu daerah menjadi berstatus darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang harus disesuaikan dengan kenyataan sebenarnya yang terjadi, yakni benar-benar karena telah terjadi keadaan bahaya yang disebabkan oleh tindak pidana pemberontakan, kerusuhan, terorisme, kejahatan dalam lingkup pertahanan Negara, kejahatan polituk menurut hokum nasional / interrnasional ataupun menurut hokum Islam, Bencana alam dan sebagainya.
c.       Perlu dibuat aturan yang lebih jelas tentang prosedur dan akibat hokum penetapan Negara dalam status keadaan bahaya, untuk mengindari adanya bias kepentingan yang melatar belakanginya.





DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Radja Grafindo Persada, Jakarta

Burhan Bungin, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif,, Radja Grafindo Persada, Jakarta

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Jurnal Yuridika, Volume 12,4 Maret 2005

Suharto, 2006, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta

________, 2004,  Hukum Pidana Materiil , Sinar Grafika, Jakarta

Zainudin,2005,  Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Zainal Abidi, 2006, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta


Perundang-undangan:
UUD 1945 hasil perubahan pertama hingga ke empat

UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi

UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik

UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden 

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Sinar Grafika, Jakarta


Web Site:
http://sekilasindonesia.com 
http://www.kpu.go.id
http://forum-politisi.org
http://www.analisadaily.com
http://id.wikipedia.org


LAMPIRAN 1.
Tabulasi kasus peledakan dari tahun 1962 - 2003 *
No.
Waktu
Lokasi
Jenis Bahan Peledak
Motif
Pelaku
KOrban
Keterangan
1
1962
Kompleks Perguruan Cikini, Jakarta
Belum diketahui
Politik, usaha pembunuhan Presiden Soekarno
Belum diketahui
Tidak ada korban

2
11 November 1976
Masjid Nurul Iman, padang
Belum diketahui
Belum diketahui
Timzar Zubil, Hukuman mati
Belum diketahui
Timzar tidak pernah ditemukan sampai sekarang
3
14 April 1978
Masjid Istiqlal
Misterius hingga kini.
Bahan peledak TNT (trinitrotoluene)
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

4
1984
Rangkaian Peledakan Kompleks BCA, Jl. Pecenongan, Pertokoan Glodok dan Gajah Mada Jakarta
Belum diketahui
Protes atas peristiwa Tanjung Priok
  • Muhammad Jayadi
  • Chairul YunusTasrif
  • Tuasikal Hasnul Ramli
  • Edy Ramli
Mereka semua adalah Anggota Gerakan Pemuda Ka’bah
Belum diketahui
HM. Sanusi, AM. Fatwa dan HR Dharsono dimasukkan ke penjara. Mereka adalah tokoh petisi 50
5
24 Desember 1984
Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara, Jl Margono, Malang, Jawa Timur
Bahan peledak TNT
Diduga untuk mengadu domba umat beragama
Belum diketahui
Belum diketahui

6
20 Januari 1985
Candi borobudur
Belum di ketahui
Belum diketahui
Husein Ali Habsy, penjara seumur hidup
Belum diketahui
Pelaku mendapat Grasi pada 23 Maret 1999
7
16 Maret 1985
Bis Pemudi Ekspress, Banyuwangi Jawa Timur
TNT batangan PE 808/tipe
Belum diketahui
Abdul Kadir Alhabsy
Belum diketahui
Kasus ini dikaitkan dengan peledakan Candi Borobudur
8
30 September 1991
Dahana Hotel Mini, Surabaya
Bahan peledak Potasium yang biasa dipakai untuk mengebom ikan.
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

9
13 september 1991
Mragen, Demak - Jawa Tengah
Belum diketahui
Tidak sengaja
Tiga pemuda Timor Timur
Belum diketahui
Xanana gusmao menyatakan bertanggung Jawab
10
18 Januari 1998
Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta
Belum diketahui
Tidak sengaja
Agus proyono, Anggota SMID
Belum diketahui
Kasus ini sempat menyeret nama Yusuf Wanandi dan Surya Paloh.
11
20 Februari 1998
Kampung Batik Sari Semarang
Belum diketahui
Kriminal (balas dendam pribadi )
Belum diketahui
Belum diketahui

12
11 desember 1998
ATM BCA, Atrium Plaza Senen, Jakarta
Bahan peledak berbau belerang
Kriminal
Belum diketahui
Belum diketahui

13
2 Januari 1999
Toserba Ramayana, Jl Sabang Jakarta Pusat
Bahan peledak TNT
Kriminal (sengketa pribadi)
VM Rosalin Handayani dan Yan Pieterson Manusama
Belum diketahui

14
9 Februari 1999
Mal Kelapa Gading Jakarta Utara
Baham peledak TNT
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

15
15 April 1999
Plaza Hayam Wuruk, Jakarta
Bahan Peledak Ramuan Kcl 03 (Kalium Klorat) dan TNT.
Kriminal (perampokan)
Ikhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan Edi Rohadi.
Belum diketahui
Pemeriksaan belum tuntas
16
19 April 1999
Masjid Istiqlal, Jakarta
Bahan Peledak Ramuan Kcl 03 (Kalium Klorat) dan TNT.
Belum diketahui
AMIN (Angakatan Mujahidin Islam Nusantara)
Belum diketahui
Pemeriksaan belum tuntas
17
28 Mei 2000
Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Medan
Belum diketahui
Adu domba antar umat beragama
Belum diketahui
Belum diketahui

18
4 Juni 2000
Gedung Bundar Kejaksaan Agung Jakarta
Bom dikategorikan M-1 (C3/C4) Buatan Pindad
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum terungkap

1 Juli 2000
kediaman Kedubes Filipina. Jl Imam Bonjol Jakarta Pusat
C4
Belum diketahui
Belum diketahui
20 Luka –luka dan 2 Orang meninggal


27 Agustus 2000
Peledakan Granat di Kedubes Malaysia
Granat nenas buatan Ceko
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


13 September 2000
Gedung Bursa Efek Jakarta
RDX jenis plastik explosive
Belum diketahui
Tersangka : Tengku Ismuhadi, Iwan Setiawan, Nuryadin Ibrahim, Abdul Manaf(Kostrad), Irwan (Kopassus), Ibrahim Hasan (Kostrad)
10 korban tewas, 46 luka, 62 mobil terbakar, 72 mobil rusak berat, 45 mobil rusak ringan
Ibrahim Abdul Manaf melarikan diri

24 Desember 2000
Peledakan Di beberapa Gereja di Jakarta
TNT dan dicampur dengan gotri
Belum diketahui
Belum diketahui
4 orang tewas dan 42 orang luka-luka
Jakarta tercatat lima gereja : Gr. Matraman, Gr. Katedral, Gr. Kanisius, Gr. Koinonia, Gr, Oikumene Halim Perdana Kusuma

24 Desember 2000
Ledakan didaerah pertokoan Cicadas dan di Jl. Terusan Jakarta No. 43
TNT
Belum diketahui
Tersangka :
Aceng, Iqbal, Piping, Abdul Hadi, Maman, Nanang Hamdani, Karso, Otang, Ayat, Nana Suryana, dan Effendi.
Belum diketahui


24 Desember 2000, Pukul 21.18 Wib
Jl Otto Iskandardinata Kodya Sukabumi.

Belum diketahui
Tersangka : Musa alias Mahfud alias Jabir alias Anis (38)Umar (44)
3 orang meninggal dunia dan 11 orang terluka


24 Desember 2000, Pukul 21.10
Gereja Pantekiosta Sindang Kristus di Jl Masjid No.20 Alun-alun Utara Sukabumi.

Belum diketahui
Belum diketahui
4 orang meninggal dan 8 terluka


24 Desember 2000 , Pukul 20.30
Gereja Allah Baik, Jl. HOS Tjokroaminoto Mojokerto
TNT dan diberi alat denator (peledak) "Ldr" buatan India
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


24 Desember 2000 Pukul 21.00
Gereja St. Yosef Jl. Pemuda Mojokerto.
TNT dan diberi alat denator (peledak) "Ldr" buatan India
Belum diketahui
Belum diketahui
1 orang meninggal dan 2 orang terluka


24 Desember 2000 20.30 dan 20.45 WIB
Gereja Ebenezer, Jl. Kartini, Mojokerto
TNT dan diberi alat denator (peledak) "Ldr" buatan India
Belum diketahui
Belum diketahui
1 orang meninggal dan 2 orang terluka


24 Desember 2000
Gereja Bhetany Mojokerto.
TNT dan diberi alat denator (peledak) "Ldr" buatan India
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


24 Desember 2000 Pukul 22.00
Pekuburan Kristen Kapitan Ampenan, Mataram - NTB
Pengatur waktu elektrik dengan daya ledak high explosive
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


24 Desember 2000 Pukul 22.00
Gereja Betlhem Pantekosta Pusat Surabaya (GBPPS), Mataram NTB
Pengatur waktu elektrik dengan daya ledak high explosive
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


24 Desember 2000
Gereja protestan Indonesia Barat Imanuel Jl Bung Karno, Mataram, NTB.
Pengatur waktu elektrik dengan daya ledak high explosive
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


24 Desember 2000
Gereja Katolik Beato Damian, Bengkong Batam.
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam digital merek Casio
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


24 Desember 2000 21.15 WIB,
Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Sungai Panas Batam
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam digital merek Casio
Belum diketahui
Belum diketahui
21 orang terluka


24 Desember 2000 21.00 WIB
Gereja Bethany Lantai II Gedung My Mart Batam Center, Batam
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam digital merek Casio
Belum diketahui
Belum diketahui
4 orang terluka


24 Desember 2000 20.30 WIB
Gereja Pantekosta di Indonesia Pelita Jl Teuku Umar (Atas) Batam
Dari sisa-sisa ledakan ditemukan jam digital merek Casio
Belum diketahui
Belum diketahui
2 orang terluka


24 Desember 2000 21.00 WIB
Gereja HKBP Pekan Baru Jl. Hang Tuah, Pekanbaru
Ditemukan sejumlah gotri atau butiran besi berupa kacang disekitar lokasi ledakan
Belum diketahui
Belum diketahui
5 0rang tewas dan 12 orang terluka


24 Desember 2000
 Jl. Sidomulyo, Pekanbaru
Ditemukan sejumlah gotri atau butiran besi berupa kacang disekitar lokasi ledakan
Belum diketahui
Belum diketahui
9 orang terluka


25 desember 2000 22.00 WIB
Bangunan rumah Pendeta El Imanson Sumbayak Jl Kasuari Pematang Siantar.-

Belum diketahui
Tersangka Edi Sugiarto
1 Orang terluka


26 desember 2000 13.00 WIB
Gereja Yohannes Penginjil Kudus

Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


29 Desember 2000
Jl. Dahlia Gg. Horas Kel. Kedungsari - Pekanbaru
Ditemukan sejumlah gotri atau butiran besi berupa kacang disekitar lokasi ledakan
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


7 Januari 2001 22.00 WITA
Rumah A Rasyid warga Desa Banjur kec Labuapi, Lombok Barat NTB.

Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


29 Desember 2000 04.35 WIT
Kantor PT NNT (Newmont Nusa Tenggara)Jl Pendidikan, Mataram, NTB
Sejenis bom ikan.
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui



Peledakan Jembatan Cisadane
TNT
Motif politik
Belum diketahui
Belum diketahui


10 Mei 2001
Wisma Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda, Jl. Perahu Manggarai - Jakarta Selatan
High Explosive
Belum diketahui
Belum diketahui
Dua korban meninggal dunia dan enam orang luka-luka


10 Mei 2001
Jl. Mangga raya no 79 Margonda Depok
low explosive dan bersifat personal injure
Belum diketahui
Belum diketahui
1 orang terluka


16 Juni 2001
Rumah Kontrakan Jalan Cikoko Barat III No 23, Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan
Terdiri dari campuran bahan kimia nitrat dan klorat yang dikemas dalam beberapa pipa paralon mobil dengan diameter 5 cm dengan panjang 10 cm
Diduga meledak secara tidak sengaja
Tersangka: Edi Susilo
4 orang terluka


7 Juli 2001
Jl Kedung Sroko I/25, Surabaya

Asmara
Tersangka : Antonius Gunarto Budi Cahyono
1 orang Meninggal


10 Juli 2001
Fly Over Slipi, Jakarta

Belum diketahui
Belum diketahui
1 orang meningggal dan 11 orang luka-luka


15 Juli 2001
Fly Over Mampang, Jakarta

Belum diketahui
Belum diketahui
12 orang luka-luka


22 Juli 2001
Gereja St. Anna, Duren Sawit, Jakarta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Jalan Arteri Rt 07/Rw 06, Cipinang Melayu, Jatiwaringin, Jakarta

Belum diketahui
Belum diketahui
56 orang terluka


23 Juli 2001
Atrium Senen Jakarta
bom rakitan yang berdaya ledak tinggi (high explosive) yang terbuat dari TNT (trinitrotoluene)
Belum diketahui
Tersangka: Dani alias Taufik bin Abdullah
6 orang luka-luka


1 Agustus 2001
Gereja Kristus Alpha Omega, Jl. Gajah Mada, Semarang, Jawa Tengah
low explosive, AF 381 buatan Belgia.
Belum diketahui
Belum diketahui
2 orang luka-luka


23 September 2001
Tempat parkir Atrium Senen
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui


12 Oktober 2001
Restoran KFC, Panakkukang Mas, Makassar
Ditemukan beberapa serpihan dan sebuah benda yang terdiri dari kabel dan bubuk baterai yang diduga adalah bahan bom
Belum diketahui
Belum diketahui
Kerusakan fisik bangunan: Kaca dan pintu hancur serta dua sepeda motor ikut rusak


13 oktober 2001
Gereja santo Thomas, Sleman
Ditemukan beberapa baterai kecil
Belum diketahui
Belum diketahui
Kerusakan fisik bangunan :Atap Atap Gereja dan beberapa eternit rusak berat


6 November 2001
Australian International School (AIS) Jl. Jatimurni Pejaten Jakarta Selatan
Bom rakitan dan beberapa sumber lainnya mengatakan granat manggis
Belum diketahui
Belum diketahui
Tidak ada
Menurut Kompas, ini adalah ledakan ketiga di Sekolah tersebut. Pertama dan kedua berasal dari bom molotov

9 November 2001
Gereja Petra, Jl. Jampea 44 Jakarta.
Belum diketahui
Belum diketahui
tersangka :
Wahyu Handoko dan Ujang Haris
Belum diketahui
dari empat bom yang dipasang, satu yang meledak.

18 November 2001
sebuah kantor a/n Sutikno Jl. Tambak V, Tanjung Pinang
High Explosive
Persaingan Bisinis
Belum diketahui
belum diketahui


3 Desember 2001
Jalur KA Sebelah Timur Cikampek, Dusun Daringo,
Desa Pangulah Selatan, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang,
Jabar
TNT
Belum diketahui
belum diketahui
Kerusakan fisik : kerusakan pada bantalan rel kereta api


24 Desember 2001
Rumah Soehadi M Harun, Jl Cikoko barat IV, Cikoko, Jakarta Selatan
Diduga terdiri dari campuran bahan kimia nitrat dan klorat yang dikemas dalam pipa paralon mobil
Bom diduga berasal dari ledakan tgl 16 Juni 2001 yg terpental ke dalam plafon rumah ybs
Belum diketahui
tidak ada korban luka maupun jiwa
lokasi rumah hanya berseberangan dg rumah peristiwa 16 juni 2001

30 Desember 2001
Asrama Haji Sudiang, Makassar
belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui
Tiga orang terluka berat


1 Januari 2002 
Depan Rumah Makan Ayam Bulungan, Jl. Bulungan, Kebayoran Baru - Jakarta Selatan 
Jenis Granat K-75 (Granat manggis) Buatan Korea dengan bahan dasar RDX dan TNT 
Belumdiketahui
Tersangka : Hasbullah (tewas)
Satu orang meninggal dunia Kerusakan Fisik: 2 unit Mobil Isuzu 


12 Oktober 2002
Sari Club dan Paddy's
TNT

Tersangka: Amrozi, Imam Samudra dkk
185 orang meninggal dunia dan kerusakan berat bagunan di sekitar lokasi ledakan


5 Agustus 2003, 12.45 Wib
Hotel JW. Marriot, Mega Kuningan Jakarta
RDX, HMX, campuran nitrat dan nitrogen (TNT), dan black powder
Belum diketahui
Tersangka: Asmar
14 Orang Meninggal dunia
tersangka diduga mempunyai hubungan dengan Jamaah Islamiyah
top
Diambil dan diolah dari data Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan berbagai sumber.Data ini akan di revisi bila terdapat perkembangan terbaru dan kasus yang tercantum diatas diluar kasus yang berada dalam daerah konflik.


















LAMPIRAN  2:
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA SELAMA ORDE BARU *
1965:
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga    sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966:
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967:
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969:
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970:
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972:
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973:
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.
1974:
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975:
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977:
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978:
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980:
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981:
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982:
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983:
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984:
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985:
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986:
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989:
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991:
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992:
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994:
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995:
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996:
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997:
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998:
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999.
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.

 




LAMPIRAN  3. Artikel yang menggambarkan peristiwa yg melatarbelakangi ditetapkannya suatu daerah menjadi berstatus darurat
From:  AgungPrimamorista@t...
Date:  Tue May 22, 2001  12:14 pm
Subject:  Setahun yang lalu ..Poso - Jejak Kelalawar Hitam, Pembantai Muslim Poso
Jejak Kelalawar Hitam, Pembantai Muslim Poso

Ratusan Muslim Poso dibantai, pelakunya adalah kelompok orang terlatih bernama Kelalawar Hitam. Investigasi Sahid di lapangan menunjukkan selain dipicu persoalan politik lokal ada keterlibatan tokoh-tokoh di Jakarta.
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yangtiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikutialiran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz , santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso  hanya tinggal puing-puing belaka.
Ilham (27) satu-satunya ustadz Pesantren Walisongo yang turut dibantai namun selamat setelah mengapung beberapa kilometer mengikuti aliran sungai Poso, menuturkan kepada Sahid, sebelum dibantai mereka mengalami  penyiksaan terlebih dahulu. Mereka dikumpulkan di dalam masjid Al Hirah.Di sanalah warga pesantren Walisongo yang sudah menyerah itu dibantai. Ada yang ditebas lehernya, dipotong anggota badannya, sebelum akhirnya diangkut truk ke pinggir Sungai Poso.
Sungai Poso menjadi saksi bisu pembantaian ummat Islam, khususnya warga Pesantren Walisongo. Mayat-mayat mereka hanyut di Sungai Poso danterbawa entah sampai ke mana. Belum ada angka yang pasti jumlah korban dalam pembantaian itu.
Seorang warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Syahrul Maliki, yang daerahnya dilewati aliran sungai Poso dan terletak Sembilan kilometer dari ladang pembantaian, menuturkan kepada Sahid, "Dari pagi hingga siang saja, saya menghitung ada 70-an mayat yang hanyut terbawa arus, berikutnya saya tidak menghitung lagi," katanya. Sementara Pos Keadilan Peduli Ummat PKPU) melaporkan jumlah mayat yang ditemukan di Sungai Poso tidak kurang dari 165 orang.
Tidak hanya lak-laki dewasa, banyak pula yang perempuan, orang tua, dan anak-anak. Biasanya mayat wanita disatukan dengan anak-anak. "Ada yang cukup diikat, ada pula yang dimasukkan karung," kata Syahrul. Sebagian besar mayat sudah rusak akibat siksaan.
Menurut Ilham, sebelum diserang, warga pesantren diteror oleh Pasukan Merah ini. Komplek Pesantren Walisongo sering dipanah. Hingga saat ini bekas panah tersebut masih terlihat jelas.
Pembantainya sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen yang dikenal sebagai Pasukan Kelalawar Hitam. Dalam aksinya mereka mengenakan pakaian serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Karena itu pula mereka sering disebut pula sebagai Pasukan Merah. Pembataian itu puncak dari hubungan ummat Islam dan Kristen yang kurang harmonis di kawasan itu.

Tercatat sekitar 200 - 400-an orang yang tewas terbantai.
Dalam laporannya, pihak gereja melalui `Crisis Center GKST untuk Kerusuhan Poso' mengakui dikalangan mereka ada kelompok terlatih yang berpakaian ala ninja ini. Mereka menyebutnya sebagai `Pejuang Pemulihan Keamanan Poso'.
Ada ciri-ciri yang sama ketika kelompok merah menyerang. Mereka selalu mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam, semua tertutup kecuali mata. Mereka juga mengenakan atribut salib di dada dan ikat kepala merah. Mayat-mayat juga ditemukan selalu dalam kondisi rusak akibat
siksaan atau sengaja dicincang hingga tidak dikenal identitasnya. Dalam berbagai penyerangan pasukan merah selalu di atas angin. Karena itu sebagian besar korbannya adalah orang-orang muslim.
Selain di Pesantren Walisongo penyerangan dan pembantaian juga dilakukan di sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas Muslim kampungnya hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan hingga mencapai Tentena. Dari arah Timur hingga Malei. Dari arah barat hingga Tamborana.
Temuan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) Ujungpandang yang melakukan investigasi di Poso menunjukkan adanya keterlibatan gereja dalam beberapa kerusuhan. Buktinya "Sebelum mereka melakukan penyerangan,mereka menerima pemberkatan dari gereja," kata Agus Dwikarna, ketua Kompak Ujung Pandang.
Misalnya pemberkatan yang dilakukan Pendeta Leniy di gereja Silanca (8/6/00)dan Pendeta Rinaldy Damanik di halaman Puskesmas depan Gereja Sinode Tentena. Selain kepada pasukan Kelelawar Hitam, pemberkatan juga diberikankepada para perusuh. Pemberkatan ini memberikan semangat dan  kebencian yang tinggi masyarakat Kristen kepada ummat Islam.
Yang menarik menurut Agus, meskipun mereka mengakui telah membumi hanguskan seluruh perkampungan ummat Islam dan membantai masyarakatnya, Pendeta R Damanik dan Advent Lateka mengadukan ummat Islam sebagai provokator.
Kini kabupaten yang dikenal sebagai penghasil kakau terbesar ini nyaris seperti kota mati karena ditinggal penduduknya mengungsi, bangunan yang ditinggalkan hanya tersisa puing-puing yang beserakan.
Penyerangan terhadap ummat Islam yang berlangsung sejak tanggal 23 Mei lalu, merupakan pertikaian ketiga antara Islam Kristen di Poso. Pertikaian pertama berlangsung pada Desember 1998. Enam belas bulan kemudian, 15 April 2000 pertikaian meledak lagi, yang dipicu perkelaian pemuda Kelurahan Kamayanya (muslim) dengan Lambogia (Kristen).
Dalam penyerangan kali ini kelompok merah yang bergabung dalam pasukan Kelelawar Hitam dipimpin oleh Cornelis Tibo asal Flores menyerang kampung Muslim Kayamanya. Mereka memukul-mukul tiang listrik hingga memancing kemarahan ummat Islam. Selanjutnya mereka menganiaya ummat Islam di situ dan membunuh Serma Komarudin.
Ummat Islam yang marah mengejar Pasukan Kelelawar Hitam yang lari ke Gereja Katolik Maengkolama. Karena bersembunyi di gereja itu ummat Islam yang marah membakar gereja yang dijadikan tempat persembunyian itu.
Salah satu yang dianggap menjadi penyebab pertikaian adalah konflik politik lokal. Perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998 merupakan salah satunya. Herman Parino, tokoh Kristen, gagal merebut jabatan. Namun Herman Parino dan para pendukungnya menuduh Arif
Patangga, bupati yang hendak digantikannya, muslim, merekayasa gagalnya Parino.
Karena jengkel, Parino menggalang massa untuk menyerang rumah Patangga. Namun rencana itu sudah tercium sebelumnya, para pendukung Patangga tidak diam dan bersiap menyambut. Bentrokan tidak terelakkan lagi. Dua hari kemudian giliran pendukung Patangga menyerang rumah Parino di desa Tentena. Dalam kerusahan itu polisi langsung menangkap tokoh dari kedua
belah pilah, Herman Parino dan Agfar Patangga, adik kandung Arif Patangga yang dianggap memprovokasi massa.
Nampaknya penangkapan Herman Parino yang merupakan tokoh Kristen yang dihormati membuat pendukungnya kecewa. Apalagi Herman lantas dijatuhi hukuman, meskipun Agfar juga dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Poso. Kasus inilah yang menjadi api dalam sekam. Maka ketika terjadi perkelaian pemuda Islam dan Kristen yang mabuk pada pertengahan April
2000 lalu, kerusuhan pun tidak dapat terhindarkan.
Dipicu kerusuhan pada bulan April, tanggal 23 Mei 2000 pasukan merah melakukan penyerangan ke beberapa perkampungan muslim. Pertikaian tidak hanya sebatas para pendukung Herman Parino dan Arif Patangga. Perkampungan Muslim yang tidak ada kaitannya dengan kerusuhan sebelumnya ikut dihancurkan, warganya dibantai, perempuannya diperkosa.
Selain konflik lokal, sumber intelejen menyatakan bahwa kerusuhan di Poso juga terkait dengan tokoh-tokoh di Jakarta. Salah satu kekuatan yang bermain itu adalah kelompok Soeharto. Indikasinya jika proses hukum Soeharto meningkat, tingkat kerusuhan meningkat. Temuan di lapangan menunjukkan keterlibatan sekitar 70-an purnawirawan TNI dalam melatih pasukan merah. Karena itulah pasukan merah sangat mahir dalam menggunakan berbagai senjata api maupun tangan kosong.
Pihak intelejen menyebutkan, kelompok yang berkepentingan terhadap kerusuhan di Poso ini juga didukung sumber dana yang kuat. Kasus beredarnya milyaran uang palsu dan hilangnya dua kontainer kertas uang yang hingga kini belum ditemukan juga sangat terkait dengan berlangsungnya kerusuhan di Poso ini.
Informasi sumber intelejen tersebut juga dibenarkan oleh Wakapolda Sulawesi Tengah, Kolonel Zaenal Abidin Ishak, yang menyatakan keterlibatan 15 anggota Polres Poso dan enam anggota TNI AD dalam kerusuhan itu. Mereka kini sedang ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Agus Dwikarna tidak percaya bahwa kerusuhan di Poso hanya persoalan gagalnya Herman Parino menjadi bupati. "Kalau hanya karena perebutan kursi bupati kenapa ummat Islam yang dibantai," tanya Agus. Ia yakin adaupaya melenyapkan ummat Islam dari bumi Poso.
Apapun penyebabnya, kerusuhan Poso menyebabkan trauma yang mendalam di kalangan orang-orang Muslim di Poso. Sejak kerusuhan itu ribuan ummat Islam menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Haryono, laporan Munanshar dan Pambudi (Poso)
Artikel Sekorelasi:
Jejak Kelalawar Hitam, Pembantai Muslim Poso
Kami Dibantai Seperti Menebas Batang Pisang
`Si Kelelawar Hitam' Pencabut Nyawa






[1] Laporan Penelitian tahun 2011,  dibiayai oleh dana DP2M UMM
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
[3] Kontras, Misteri Dibalik Teror Bom di Indonesia, Makalah disampaikan dalam workshop RUU tentang Penanggulangan Kejahatan terorisme,Batu 14-16 Januari 2003 hal 2-4.  Sebagai perbandingan , lihat LAMPIRAN 1: Tabulasi kasus peledakan  dari tahun 1962 – 2003 yang pernah terjadi di Indonesia,  yang telah menyebutkan  sekitar 44 rangkaian peristiwa dengan  74  peledakan bom. . Http://www.sekitarkita.com, 10-11-2003. Bandingkan pula dengan  LAMPIRAN 2:  Pelanggaran  HAM yang pernah terjadi di Indonesia  selama   Orde Baru ,  menyebutkan bahwa dari tahun 1965 – 1999 telah terjadi 83 kasus yang menyita perhatian nasional.,  dalam Http://www.sekitarkita.com, 10-11-2003.

[4] Jawa Pos, 22 Januari 2004,  hal.11 dan 12
[5] Lengkapnya Pasal 12 UUD 1945 berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”, pembuatan UU yang bertujuan untuk menanggulangi keadaan bahaya di Indonesia,  akan memungkinkan dipergunakan untuk mengatasi adanya fakta-fakta yang membahayakan kelangsungan kehidupan bernegara.
[6] Sebagai perbandingan lihat konsideran RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya  (PKB) yang pernah disetujui DPR untuk menggantikan UU No. 23 Prp Tahun 1959,  namun ditunda pengesahannya oleh Presiden karena banyak mendapatkan protes dari masyarakat, pada Konsiderans Menimbang point (a) menyatakan “bahwa guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus tetap terpelihara serta berjalan dengan aman dan tertib”. Http://www.megaforpresident.org,20-12-2004. RUU PKB sebelumnya bernama RUU Keselamatan dan Keamanan Negara (KKN),   disampaikan dalam sidang paripurna DPR tanggal 19 Juli 1999 bersamaan  dengan penyampaian RUU tentang Rakyat Terlatih. Pada pembahasan tanggal 6 September 1999 nama RUU KKN diubah menjadi RUU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Http://www.kompas.com, 5-01-2005.
[7] Lihat Penjelasan   Peraturan pemerintah pengganti undang-undang  Nomor 23 tahun 1959 Tentang Keadaan bahaya

[8] Wong Banyumas, Negara Hukum Indonesia,  http://fatahilla.blogspot.com, 27 -08- 2010.
[9] Ibid.
[10] Sulardi, Bahan tayang “Equality Before The Law”, Matrikulasi Mahasiswa FH UMM, 2010.
[11] Wongbanyumas, Op.Cit.
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945. 
[15] Saldi Isra,  makalah  “Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam Perspektif Undang-Undang Pemerintahan Aceh”, diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh bekerja sama dengan Forbes BRA, di Banda Aceh, http://www.saldiisra.web.id, , 22 Novemver 2006.
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Dengan kehadiran PP No 25/2000 tersebut, banyak penilaian mengatakan bahwa pemerintah menarik kembali semangat desentralisasi (resentralisasi) yang terdapat dalam UU No 22/1999.

[20] Http://www.infokata.com, 12 Desember 2011.
[21]   Http://www.detik.com, 7-7-2004.

[22] Http://www.koalisi. Ham.org, 10-10-2004
[23] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Makalah, Mengkaji Penetapan Suatu  Daerah Dalam Status Bahaya, Diskusi Internal FH UMM, Oktober 2004.

[24] Saldi Isra, Op.cit.
[25] Ibid
[26] Ibid.
[27] Tongat, dalam menjelaskan pengertian Kebijakan legeslatif, telah mengutip pendapat Barda Nawawi Arief, dalam disertasinya Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-undangan dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan, Universitas Padjajaran, Bandung 1986, hal 109 – 110. dan  Barda nawawi Arief, dalam bukunya yang berjudul  Kebijakan legeslatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hal 59. 
[28] Lihat pendapat Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana dalam  Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud dan CV. Rajawali , 1984, dan Tongat,  dalam Teisisnya  Kebijakan Legeslatif tentang Pidana Seumur Hidup di Indonesia,  Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hal 76 dan 78.

[29]  Prof. Dr.. Muladi, SH dan Dr.Barda Nawawi Arief, SH. Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung , 1992, hal. 158.

[30] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996 hal. 245.

[31] Lihat Dr. Loebby Loqman, SH.MH, Delik Politik di Indonesia, Ind=Hill-Co, Jakarta, 1993, hal. 67-68. .

[32] Lihat Drs. Adami Chazami, SH,  Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitan Brawijaya, Malang, 2001, hal. 2.
[33] Ibid.
[34] Prof.DR. Wirjono Prodjodikoro.SH, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,  Eresco, Bandung, 1986, hal. 193.

[35] Prof. Dr.Soedjono Dirdjosisworo, SH, Sinopsis Kriminologi Indonesia, CV. Mandar Maju. Bandung, 1994, hal. 16.

[36]  Made Darma Weda,SH.MS, Kriminologi, PT. Rja Grafindo Persada, Jakarta, hal.12.

[37] Dr. Soerjono Soekanto,SH.MA, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia ndonesia, Jakarta, 1981, hal. 22.

[38] Ibid, hal. 193-194. Hal ini dikukuhkan oleh pendapat yang menyatakan, bahwa “ Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dapat dibedakan dalam 2 jenis meskipun KUHP tidak mengenal pembagian atas 2 jenis tersebut secara tegas, yaitu:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara dalam negeri (hoogverraad = penghianatan dalam negeri) yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan terhadap bentuk pemerintahan dan bentuk negara, sebagaimana dapat diketemukan dalam Bab I Buku II pasal 104 sampai pasal 110 seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau wakilnya, pemberontakan dan revolusi. T.Gayus Lumbun dalam Htttp://www.kompas.com. 28-2-03
 2. Kejahatan terhadap keamanan negara di luar negeri (landverraad = pengkhianatan luar negeri) yaitu kejahatan yang dapat menimbulkan  bahaya bagi negara sendiri sehubungan dengan negara-negara asing sebagaimana dapat diketemukan  dala Bab I Buku II pasal 111 sampai pasal 129. Dalam Brig.Jen.Pol.Drs.HAK.Moch.Anwar.SH, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 217. Hal senada juga dikemukakan oleh  Djoko Prakoso.SH, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP,  Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal.. 34. 

[39]  Djoko Prakoso, Ibid,  hal. 33.

[40] Lihat Loebby Loqman dalam Penyelesaian Konflik Politik Tinjauan Historis – Filosofis dan Politik Pemanfaatan Peradilan sebagai Wahana dalam  Http: WWW. Yahoo. Com, 24 Oktober 2004.

[41] Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 29. Menurut Wirjono Projodikoro,  kualifikasi yang diberikan oleh pasal 108 adalah:  1). melawan kekuasaan yaqg telah berdiri di Indonesia dengan senjata,; 2). dengan maksud melawan kekuasaan yang berdiri di Indonesia, maju dengan pasukan atau masuk pat,ukan yang melawan kekuasaan itu dengan senjata. Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hal. 199.


[42] Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 30.
[43] Lihat misalnya : Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Trndak Pidana Tertentu di Indone­sia, op.cit., ha1.199. Dalam kaitannya dengan istilah gezag beliau telah menafsirkannya menjadi istilah kekuasaan dan tidak menjadi pemerintah. Sementara itu Moeljatno, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 43 telah menerjemahkan istilah gezag dengan istilah pemerintah.
[44] Pasal 212 KUHP: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam, karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah".Lihat : Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara. Jakarta, 1999, hal. 80.
[45] Lihat: Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, op.cit., hal. 81.

[46]  Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 199.

[47] R. Susilo, op.cit., hal. 110.

[48] Lihat lebih lanjut: Lamintang Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, op.cit., hal. 82.
[49] Sejak 1999 sampai Agustus 2003 (data di Mabes Polri), telah terjadi 199 kasus peledakan bom di tanah. Dari sebanyak kasus itu, polisi mampu mengungkap 153 kasus.Http://www.jawapos.dot. com,23-08-2003

[50] Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan penetapan  atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang mana Perpu no 1 tahun 2002 itu sempat diberlakukan terhadap kasus peledakan bom tanggal 12 oltober 2002 di Bali  berupa Perpu no. 2 tahun 2002 yang kemudian dijadikan UU no. 16 tahun 2003, kemudian  untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 pemerintah telah membentuk Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
[51]  Pasal 6 UU no.15 tahun 2003

[52]  Ibid.
[55] Dalam “Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme”, Http://www.imparsial.org. 14-12-2005


[56] Hal mana sesuai apa yang dikemukakan oleh Penjelasan UU no. 15 tahun 2003  bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Http://www.imparsial.com, 7-01-2004.
[57] Pasal 7 sama dengan Pasal 6 kecuali bahwa Pasal 7 yang ditekan­­kan adalah pada motif perbuatan untuk menimbulkan suasana teror atau ketakutan yang meluas atau korban secara massal. Masalah yang akan dihadapi adalah bagaimana membuktikan adanya suatu motif? yang dapat dipidana adalah penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan, yang hal ini telah diatur dalam hukum pidana Indonesia. Motif perlu diungkap adalah sebagai alat untuk penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.
[58] Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme berkembang seiring perkembangan peradaban manusia, sejarah manusia diwarnai oleh tindakan-tindakan teror mulai dari perang psikologis yang ditulis Xenophon (431-350), Kaisar Tiberius (14-37 SM) dan Caligula (37-41 SM) dari Romawi mempraktekkan terorisme dalam penyingkiran, perampasan harta benda, dan menghukum lawan-lawan politiknya. Roberspierre (1758-1794) di masa revolusi Perancis. Setelah perang sipil Amerika Serikat, muncul kelompok teroris rasialis  Ku Klux Klan. Demikian pula Hitler di Jerman  dan Joseph Stalin di Rusia.. Ibid. Hal mana sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Penjelasan UU no. 15 tahun 2003  bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah menjadi fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Http://www.imparsial.com, 7-01-2004.  Lihat pula LAMPIRAN 1 tentang  Jumlah Serangan Teroris Internasional terhadap Berbagai Jenis Fasilitas Internasional (1995-2000). Http://www.imparsial.org, 7-01-2005 . Kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia:- Bom Bali 2002 , -Bom JW Marriott 2003 , -Bom Kedubes Australia 2004, -Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004 .   Http://www.wikipedia.org, 5-01-2005 
[59] Dua tahun setelah lahirnya resolusi PBB no. 1267 tahun 1999 yang memuat daftar teroris, tepatnya sehari setelah traged1 11 September 2001, PBB mengeluarkan resolusi No 1368 yang mengutuk serangan teroris terhadap menara WTC, Pentagon, dan Pennsylvania dan mengkategorikannya sebagai telah mengancam kedamaian dan keamanan internasional (international peace and security). Lembaga ini pun memberi mandat bahwa individu maupun kelompok (negara) memiliki hak untuk membeladiri (self defense) dari serangan terorisme internasional. Kemudian, pada resolusi PBB No 1373 tahun 2001 yang dikeluarkan pada 28 September 2001, PBB menegaskan beberapa kewajiban negara sehubungan dengan kegiatan terorisme sebagai berikut: (1) bahwa setiap negara harus menghindari dan menindak tegas pembiayaan kegiatan terorisme (prevent and suppress the financing of terrorist acts); (2) bahwa setiap negara harus mengkriminalisasi setiap tindakan yang disengaja, baik secara langsung maupun tidak, setiap upaya pengumpulan dana oleh warga negara di wilayah teritorialnya di mana dana tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan terorisme; (3) bahwa setiap negara harus membekukan tanpa ditunda lagi setiap dana dan aset keuangan lainnya ataupun sumber daya ekonomi dari individu ataupun kelompok yang berpartisipasi ataupun melakukan kegiatan terorisme. Resolusi ini dipertegas dengan resolusi berikutnya No 1377 tanggal 12 November 2001 yang menetapkan terorisme internasional sebagai satu dari ancaman yang paling serius terhadap kedamaian dan keamanan internasional. Lalu resolusi No 1455 tanggal 17 Januari 2003 dan resolusi No 1456 tahun 2003 yang secara khusus membidik individu, kelompok, maupun negara yang mempunyai link dengan Taliban dan Alqaidah..  Ibid..  Lihat pula LAMPIRAN 1 tentang  Jumlah Serangan Teroris Internasional terhadap Berbagai Jenis Fasilitas Internasional (1995-2000) . Http://www.imparsial.org, 7-01-2005 . . Lihat, Kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri, antara lain:- Bom Bali 2002 , -Bom JW Marriott 2003 , -Bom Kedubes Australia 2004, -Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004 .   Http://www.wikipedia.org, 5-01-2005 .

[60] Pasal 8 ini merupakan pasal-pasal yang diambil  dari Bab XXIX Pasal 392 huruf a sampai dengan huruf r dari KUHP (yang berbeda hanya hukuman pidananya). Oleh karena itu, berarti pada saat ini, pasal-pasal tersebut (delik kealpaan) berada di dua buah peraturan yang berbeda. Pertama, ada di KUHP, dan kedua ada UU ini. Yang berada di KUHP merupakan peraturan yang bersifat umum dan di dalam Perppu ini merupakan peraturan yang bersifat khusus. Implikasi dari pencantuman pasal ini ke dalam UU pembe­rantasan terorisme nantinya akan berdampak saat  penentuan suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur kedua pasal  ini, apakah memakai pasal dalam KUHP atau memakai UU inio . Penjelasan Pasal 8: “Ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana “.
[61] Menindak lanjuti upaya penegakan hukum dari  resolusi PBB no 1267 tahun 1999 yang berhak dan dapat membekukan aset, mengontrol pergerakan (travel ban) serta melakukan embargo senjata kepada individu, entitas dan perusahaan yang terkait dengan pendanaan organisasi teroris internasional dan atau Taliban. dan  memuat daftar teroris, pemerintah Indonesia melakukan beberapa hal, antara lain:
 1) “Pemerintah tengah menyiapkan bukti-bukti guna mendukung rencana mengajukan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro ke PBB agar dimasukkan ke daftar teroris internasional”.Http://www.suarapembaharuan.com, 4-6-2003.
2). Diam-diam Indonesia telah meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memasukkan Jemaah Islamiah [JI] dalam daftar teroris. Menurut sumber detikcom di PBB, surat permintaan tersebut disampaikan oleh Perwakilan Tetap RI Untuk PBB kepada Komite Dewan Keamanan PBB [23/10/2002]. Masuknya JI dalam daftar teroris DK PBB telah dibahas secara intensif oleh Komite Sanksi 1267 DK PBB; sebanyak 50 negara mendukung HTTP;//www.mail-archive.com,  23-10-2002.
3). “Juru bicara Deplu Marty Natalegawa telah membenarkan adanya sejumlah nama WNI yang akan diusulkan untuk dicantumkan pada daftar teroris di bawah resolusi dewan keamanan PBB. Ketiga WNI itu masing-masing Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan Oskar Makawata“.  Http://www.Tempointeractif.com,  03 September 2004
4). “Pemerintah Indonesia  melalui Deplu segera mengirim surat kepada Komite Sanksi PBB, untuk mencabut nama Arif Munandar dari daftar teroris internasional atau daftar Resolusi 1267. http://www.tempointeraktif.com, 7-01-2005


[62] hasil pengumuman lembaga World Markets Research Centre (WMRC) di London, Senin (18/8), tentang Indeks Terorisme Global untuk tahun 2003-2004. Lembaga itu antara lain bertugas menilai tentang risiko terhadap ancaman terorisme yang dihadapi berbagai negara.Kolombia dan Israel berada pada posisi "risiko ekstrem" atau risiko jadi target terorisme sangat tinggi di antara sebanyak 186 negara yang ditelaah. sebagai sasaran serangan terorisme,Pakistan berada di urutan ketiga, Amerika Serikat (AS) berada di urutan keempat lalu Filipina, Afganistan. Sementara itu Indonesia berada di urutan ketujuh. Irak, dan India. Sri Lanka dan Inggris sama-sama berada di urutan kesepuluh.Http://www.kompas.com, 19-12-2003

[63] Dalam forum penyuluhan dalam rangka pembekalan tentang hukum dan HAM bagi prajurit TNI yang ditugaskan di daerah operasi NAD, Pimpinan TNI mengundang dua pakar Hukum dari Komnas HAM yakni Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H dan Dr. Taheri Noor.  Saat itu  Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H menyatakan: “Seluruh prajurit TNI/Polri yang sedang bertugas di NAD tidak perlu ragu dalam melaksanakan tugas mereka. Karena secara jelas sudah dinyatakan oleh Presiden RI, bahwa NAD dalam keadaan bahaya dan berada dalam status darurat militer. Jangan sampai HAM menjadi momok dalam pelaksanaan tugas, sehingga prajurit takut, ragu-ragu atau tidak berbuat apa-apa di daerah operasi militer. Darurat militer tidak sama dengan darurat perang. Sebab kalau darurat perang sudah jelas musuh yang kita hadapi dari negara mana. Sementara dalam darurat militer, para prajurit tersebut harus bisa membedakan antara GAM dan masyarakat sipil.”. Hal mana ini dilakukan dengan asumsi dengan agar kondisi keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan serta aktvitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat  berjalan normal, yang dalam pelaksanaannya dibarengi dengan  Operasi Terpadu, yang  meliputi Operasi Kemanusiaan, Operasi Pemulihan Ekonomi, Operasi Penegakan Hukum, Operasi Pemantapan Pemerintahan, dan Operasi Pemulihan Keamanan namun belum mencapai hasil yang maksimal karena masih terganggu oleh sisa-sisa Gerakan Separatis Bersenjata Gerakan Aceh Merdeka yang merupakan ancaman potensial terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat Http://www.tni.mil.go.id. 20-12-2004. Seperti apa yang kemudian dialami oleh rakyat NAD, lihat LAMPIRAN 3 tentang KORBAN WARGA SIPIL ACEH Mulai Juli 2001 sampai 21 April 2002. Http://www.sekitarkita.com,10-01-2005. 

[64] Http://www.persada.com, 21-12-2004.

[65] Http://www.jawapos.com, 11-12-2004

[66] Http://www.jawapos.com, 11-12-2004
[67] Http://www.sinarharapan.com, 14 -08-2004.

[68] Lihat pasal 1 UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara 





[69] Lihat UU no. 3 tahun 2992 Tentang  Pertahanan Negara . Http://www.ri.go.id, 1-2-2003.
[70] Sistem pertahanan negara melibatkan seluruh komponen pertahanan negara, yang terdiri atas komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung. Hal ini berbeda dengan komponen kekuatan Pertahanan Keamanan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, yang terdiri atas komponen dasar, komponen utama, komponen khusus, dan komponen pendukung. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam Undang-Undang ini, hanya Tentara Nasional Indonesia saja yang ditetapkan sebagai komponen utama, sedangkan cadangan Tentara Nasional Indonesia dimasukkan sebagai komponen cadangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan aturan hukum internasional yang berkaitan dengan prinsip pembedaan perlakuan terhadap kombatan dan nonkombatan, serta untuk penyederhanaan pengorganisasian upaya bela negara. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional, baik sebagai komponen cadangan maupun komponen pendukung. Lihat Penjelasan UU no.3 tahun 2002 , Ibid, 5-01-2005.
[71] Sistem pertahanan negara melibatkan seluruh komponen pertahanan negara, yang terdiri atas komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung. Hal ini berbeda dengan komponen kekuatan Pertahanan Keamanan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, yang terdiri atas komponen dasar, komponen utama, komponen khusus, dan komponen pendukung. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam Undang-Undang ini, hanya Tentara Nasional Indonesia saja yang ditetapkan sebagai komponen utama, sedangkan cadangan Tentara Nasional Indonesia dimasukkan sebagai komponen cadangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan aturan hukum internasional yang berkaitan dengan prinsip pembedaan perlakuan terhadap kombatan dan nonkombatan, serta untuk penyederhanaan pengorganisasian upaya bela negara. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional, baik sebagai komponen cadangan maupun komponen pendukung. Ibid.
[72] Dalam Penjelasan Pasal 4, yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Selanjutnya   dalam penjelasan Pasal 7 (2) yang dimaksud dengan ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) menambahkan, yang dimaksud dengan ancaman bersenjata adalah berbagai usaha dan kegiatan oleh kelompok atau pihak yang terorganisasi dan bersenjata, baik dari dalam maupun luar negeri yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Ibid.

[73] bentuk dan cara agresi, antara lain 1) Invasi berupa serangan oleh kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Indonesia. 2) Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Indonesia. 3) Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara Indonesia oleh angkatan bersenjata negara lain. 4) Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat atau satuan laut atau satuan udara Tentara Nasional Indonesia. 5) Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian yang tindakan atau keberadaannya bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian. 6) Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap Negara Indonesia. 7) Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melakukan tindakan seperti tersebut di atas. . Ibid.
[74] Ibid.

[75]  Untuk itu TNI  bisa melakukan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan. Ibid.
[76] Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 disebut kan bahwa wewenang Presiden, antara lain: a. memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945;  b. memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; c. dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain;  d. menyatakan keadaan bahaya.. Berdasarkan kewenangan tersebut, Presiden memegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk usaha penyelenggaraan pertahanan negara. Untuk itu, perlu dibentuk suatu undang-undang sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pertahanan Negara. Ibid.

[77] Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam menghadapi ancaman nonmiliter, menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama yang disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.  Ibid.

[78] Ibid.
[79] Presiden selaku penanggungjawab tertinggi dalam pengelolaan pertahanan negara dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional yang berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara. Untuk menghadapi ancaman bersenjata, Presiden berwenang mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam keadaan memaksa, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dengan kewajiban paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam harus mengajukan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan tersebut, Presiden harus menghentikan operasi militer. Lihat ketentuan dalam Pasal 14 (1) Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia. (2) Dalam hal pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia untuk menghadapi ancaman bersenjata, kewenangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia. Ibid.
[80]  Benar tidaknya, lihat LAMPIRAN,  Teror Bom di  Indonesia dari waktu ke waktu. Http://www.tempointeraktif.com, 17-04-2004.

[81] Sejak awal Ustad Abu (panggilan akrab Abu Bakar Ba'asyir) dan seluruh aktivis MM meyakini sepenuhnya, bahwa penangkapan, penahanan, dan penyidangan atas berbagai tuduhan makar, pengeboman, dan terorisme yang ditujukan kepada beliau sejak 28 Oktober 2002 hingga detik ini merupakan pesanan mutlak dari pemerintah Amerika Serikat. Bukti pertama yang baru terungkap adalah testimoni    Frederick    Burks (lahir, 20/2/58), mantan penerjemah pertemuan presiden George W Bush dan presiden Megawati di Gedung Putih (19/9/01) sepekan setelah serangan WTC 11-9 yang melansir kesaksiannya di The Washington Post (9/12/04). Ia menyebut adanya negosiasi tingkat tinggi, di mana Amerika minta Indonesia menyerahkan Ust Abu ke tahanan Amerika. Tapi Megawati menolak tekanan itu. Http://www.eramoslem.com, 26-12-2003. Bukti kedua,   kesaksiann Frederick Burks pada Jumat, 14 Januari 2005 lalu dalam sidang kasus "terorisme" dengan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (amir Majelis Mujahidin Indonesia) di Gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta, (13 Januari 2005). Dalam sidang itu, Burks antara lain mengatakan bahwa Pemerintah George W Bush pernah meminta agar Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (ABB) ditahan dan diserahkan ke AS. Permintaan AS itu, , disampaikan utusan khusus Bush kepada Presiden Republik Indonesia (saat itu) Megawati Soekarnoputri dalam pertemuan rahasia di Jalan Teuku Umar Jakarta (rumah pribadi Megawati), September 2002. Http://www.republika.co.id, 27-01-2005.
[83] Ibid.

[84] Sumiyanto, SH.MH, Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir  Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya.  Universitas Brawijaya, Malang 1999, hal. 11.

[85] Loebby Loqman,  Op.Cit, hal. 42
[86] Ibid, hal. 45.
[87] Sumiyanto, SH.MH, Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir  Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya.  Universitas Brawijaya, Malang 1999, hal. 16.

[88] Ibid, hal. 17. Untuk lebih jelas tentang berbagai pengaturan tentang hal ini lihat LAMPIRAN 1.

[89] Ibid, hal. 46.
[90] Saldi Isra,  makalah  “Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam Perspektif Undang-Undang Pemerintahan Aceh”, diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh bekerja sama dengan Forbes BRA, di Banda Aceh, http://www.saldiisra.web.id, , 22 Novemver 2006.

[91] Lengkapnya Pasal 12 UUD 1945 berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”, pembuatan UU yang bertujuan untuk menanggulangi keadaan bahaya di Indonesia,  akan memungkinkan dipergunakan untuk mengatasi adanya fakta-fakta yang membahayakan kelangsungan kehidupan bernegara.
[92] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Tesis, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kepala  Negara (Suatu Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Hukum Pidana), PPS Universitas Brawijaya, Malang, 2005. Hal 53-54.
[93] Saldi Isra, Op.cit.
[94] Ibid
[95] Ibid.
[96] Http://www.koalisi. Ham.org, 10-10-2004
[97] Beberapa pemerhati hukum menilai bahwa UU itu mengabaikan HAM karena presiden diberi wewenang masuk ke urusan pribadi seseorang (bebas menggeledah, menyadap, dsb) Lihat diskusi tentang “ Mencermati UU darurat.” Yang menghadirkan Mochtar Prabotinggi, Amien Rais dan Megawati  Http://www.detik.com, 24-9-2004, yang mengingatkan akan banyaknya kejadian pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia selama Orde Baru.  Http://www.sekitarkita.com, 10-11-2003.

0 komentar:

Posting Komentar