Kajian Jihad Konstitusi
12 Juni 2011
Keadaan Bahaya Dalam Negara: Sebuah Catatan Sejarah Hukum keamanan Negara di
Indonesia[1]
Oleh Bayu Dwiwiddy
Jatmiko[2]
Email:
bayu.dj15@yahoo.com
كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
"Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan
(Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
(Al Qur'an Surat As Saba ayat 15)
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Berkaitan dengan kajian tentang Hukum pertahanan dan keamanan Negara menurut hukum Islam, dalam perkembangan kehidupan
ketatanegaraan Indonesia, pernah mencuat pembahasan yang berkaitan dengan
masalah ini. [3]
Sekedar catatan, sebagaimana telah diberitakan beberapa media,
dalam pidatonya di hadapan kurang lebih sekitar 1.500 warga nahdliyyin di kantor NU Cabang Kebumen,
Jawa Tengah, (13/1/2001), anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR, KH Nur
Muhammad Iskandar SQ menegaskan
dukungannya pada Presiden Wahid, yang menurutnya kini telah digoyang
kekuasaannya. Dan membela Gus Dur berarti pula membela para
ulama.. Dalam ceramahnya itu
menyebut-nyebut nama Amien Rais dan Akbar Tandjung. yang belakangan
berseberangan terus dengan Gus Dur dan menyebut Amien Rais dan Akbar Tandjung
telah berbuat makar dan halal darahnya.. “Kalau Gus Dur jatuh, martabat ulama
akan turut jatuh pula, Kalau Anda mati melawan Amien Rais dan konco-konconya,
mati melawan Akbar Tandjung dan konco-konconya, maka Anda akan mendapat kredit point masuk surga karena membela
ulama!” [4].
Sementara ada ulama lain yang bernama Habib Husein Al Habsyi[5] ,
menyatakan:
“Saya sudah
memfatwakan bahwa penggulingkan Gus Dur adalah wajib, dan saya menyerukan
kepada kaum muslim untuk berpartisipasi menyumbangkan
keringat dan darahnya dalam upaya menggulingkan dan menjungkalkan dia. Kalau
kita mati, maka matinya adalah mati syahid. Sebaliknya, saya serukan kepada
pembela-pembela Gus Dur yang awam itu bahwa kalau mereka mati karena membela
Gus Dur, maka matinya adalah mati sangit (konyol) “.
Dalam Hukum Islam, bidang hukum yang berkenaan dengan hukum
pidana dinamakan jarimah/ jinayah.
Pembagian jarimah, bila dilihat dari segi berat ringannya hukuman yang ditentukan terhadap tindak pidana tersebut, maka dibagi menjadi:
“1). jarimah Hudud yakni segala tindak pidana
yang telah ditentukan bentuk, jumlah dan ukuran hukumannya dan merupakan hak
Allah semata-mata. Bentuk dan hukuman jarimah
hudud terbatas yaitu zina dihukum rajam/ dihukum cambuk 100 kali/ dihukum
cambuk 80 kali dan diasingkan) , pencurian (dihukum potong tangannya),
menuduh orang lain berbuat zina (dihukum
cambuk 80 kali dan tak boleh menjadi saksi),
pengacau keamanan (dihukum bunuh/ disalib/ dipotong tangan dan kakinya
dengan bertimbal balik/ diasingkan), minum-minuman keras (dicambuk), murtad
(dibunuh dan penyitaan harta), dan bughat (diperangi hingga mati).
2);
jarimah Qishash/ di’at yakni tindak pidana yang berkaitan dengan jiwa atau anggota tubuh seseorang, Bentuk jarimah
ini adalah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pembunuhan tersalah, pelanggaran
terhadap anggota tubuh secara sengaja,
dan pelanggaran terhadap anggota tubuh secara tersalah. Hukuman untuk jarimah
ini adalah pembalasan (qishash) sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku atau
pembayaran di’at (ganti rugi dan denda) jika dimaafkan oleh ahli waris korban.
3). Jarimah takzir yakni segala tindak pidana
yang dikenakan hukuman takzir ( hukuman selain hudud dan kafarat), yang bersifat tidak terbatas bentuk dan
hukumannya (diserahkan kepada ulul amri/
hakim)”[6].
Tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan Negara, merupakan
bagian dari jarimah hudud, yang bisa
berupa salah satu dari 3 bentuk, yaitu:
a. Makar adalah
“suatu perbuatan (usaha) untuk menentang atau membunuh seseorang yang tidak
disenangi atau dianggap sebagai musuh atau saingan, baik dalam hal agama maupun
dunia, dengan cara tipu daya dan
perbuatan-perbuatan lain yang
bertentangan dengan agama Islam”[7]
Menurut KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PB NU,
“Makar adalah setiap
usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan tidak melalui hukum atau
konstitusi yang ada. Makar juga berarti pemaksaan terhadap pergantian kekuasaan
apalagi dengan cara mendesak-desak dengan kekuatan tertentu. Dalam bahasa
agama, hal itu disebut bughat
(pemberontak).[8]
Perbuatan makar itu
biasanya dilakukan setelah mengatur siasat yang dianggap tepat untuk mewujudkan tujuan yang direncanakan, dapat
dilakukan oleh seorang dapat juga berkelompok.
Pada umumnya, makar dilakukan dengan tipu daya atau politik licik dan
jahat, terkadang dilakukan secara
kekarasan untuk melenyapkan jiwa seseorang.
KH. Hasyim Muzadi,
menjelaskan:
“menurut fikih,
makar tidak boleh dilakukan kepada pemerintah
sah, sesuai dengan konstitusi. Dalam konteks negara Islam bughat boleh
diperangi. Untuk negara konstitusi seperti Indonesia penanganannya diserahkan
kepada Presiden. Terserah presiden mau nyuruh siapa untuk menanganinya, bisa
TNI atau yang lain,” [9]
Pada dasarnya Fatwa bughat hanya
boleh dilakukan terhadap orang-orang kafir yang menyerang orang-orang Islam.
Tapi, tidak semua orang kafir boleh
serang. Yang dimaksud dengan kafir itu juga ada dua macam. Yang pertama,
kafir harbi, yang memerkosa kaum muslim, membakar
rumah-rumah kaum muslim, yang melarang kaum muslim salat, yang memusuhi kita.
Itu boleh kita perangi. Yang kedua, kafir dzimni, yaitu orang sebangsa, hidup, makan, berdagang, membayar
pajak, dan hidup normal senegara, itu tidak boleh kita perangi.
Nadirsyah Hosen, dosen Fakultas Syariah UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, menyatakan:
“Ibn Qayyim dalam Badai'u al-Fawaid (h, 12-13)
menjelaskan bahwa hakim tidak akan dapat mengeluarkan keputusan yang adil
kecuali memiliki tiga pengetahuan: pertama, mengetahui dalil masyru'iyyat
al-hukm (hukum materiil); kedua, mengetahui dalil wuqu'u al-hukm (ratio legis
hukum) sehingga hakim dapat memahami ahwal al-nas, baik itu berupa pengetahuan
sosiologi hukum, kriminologi, viktimologi, antropologi hukum dan lainnya.
Ketiga, hakim dituntut untuk mengetahui hukum formiil (hukum acara)”[10].
Salah satu kunci keberhasilan sistem syari’at
Islam –dalam bidang peradilan- adalah tegas dan adilnya sanksi-sanksi yang
dijatuhkan, baik bagi terdakwa maupun pendakwa termasuk masyarakat banyak.
Perkara yang menyangkut sanksi inilah yang dikenal di dalam khasanah hukum
Islam dengan ‘al-Uqubat’.Untuk menilai sebuah hukum, khususnya sanksi (uqubat)
yang merupakan produk hukum syari’at, hendaknya di tinjau secara objektif dan
menyeluruh sesuai dengan fungsi dan hukum itu bagi keamanan dan ketentraman
masyarakat manusia.
Sanksi (uqubat) di dalam Islam, dalam catatan
sejarah, telah terbukti mampu mencegah kejahatan, menjamin keamanan, keadilan
dan ketentraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku
tindak kriminal antara lain berfungsi untuk:
- “Sebagai “zawajir” (pencegah) sangat efektif mencegah
orang-orang yang hendak melakukan perbuatan dosa dan kejahatan.
- ada (jaminan kelangsungan) hidup dalam qishash
- Kesucian kehormatan manusia dlindungi oleh hukum
syara’ yang benar-benar efektif dalam mencegah terjadinya pelanggaran
kehormatan dengan menjilid atau merajam para pezina dengan disaksikan oleh
masyarakat
- Sebagai Penebus Dosa “jawabir” (penebus)
siksaannya di akhirat kelak”.[11]
Sedangkan
menurut fiqih, hukuman terhadap pelaku makar disesuaikan dengan akibat
yang ditimbulkan, yaitu:
“1) Apabila
perbuatan makar itu mengakibatkan nyawa seseorang hilang, maka dikenakan
hukuman Qishash
2).
Apabila perbuatan makar dilakukan untuk
menggulingkan penguasa yang sah dalam pelaksanaannya tergolong bughat maka dikenakan hukuman bughat yaitu diperangi.
3). Apabila
dalam perbuatan makar itu terjadi pembunuhan dan perampasan harta maka dikenakan hukuman
muharabah yaitu dihukum bunuh/ disalib/ dipotong tangan dan kakinya dengan
bertimbal balik/ diasingkan”. [12]
b. Bughat adalah tindakan penganiayaan/ penyelewengan yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang terorganisasi, dengan
kekuatan yang perlu dipertimbangkan dan
pemimpin yang karismatis, terhadap pemerintah negara[13].
Bughat dalam aksinya menggunakan kekuatan fisik dan senjata untuk
menggulingkan pemerintah yang sah dan jika perlu langsung membunuh pemerintah
yang yang digulingkan itu. Hal mana berbeda dengan makar yang dalam
aksinya lebih menekankan pada segi tipu daya dan tujuannya adalah menjatuhkan
atau melenyapkan seseorang dari muka bumi. Hukuman bagi pelaku bughat adalah
diperangi sampai mati.
c. Hirabah adalah perbuatan pengacauan keamanan yang berupa perampasan harta dengan
diiringi kekerasan/ senjata [14].
Hukuman bagi pelaku hirabah berupa dihukum bunuh atau disalib
atau dipotong tangan dan kakinya dengan
bertimbal balik atau / dibuang dari
negeri tempat tinggalnya.
Hal ini dipertegas oleh Nadirsyah Hosen, dengan menyatakan bahwa:
“Terhadap perampok, pembegal, pencopet dan
penjambret, Islam memberikan sanksi yang tidak tanggung-tanggung, yaitu:
dihukum mati dan disalib mayatnya di jalanan apabila penjahat tersebut membunuh
dan menyakit barang korbannya, dihukum mati saja jika penjahat itu membunuh
tapi tidak sempat mengambil barang korban, dan penjahat itu dipotong tangan dan
kakinya saling silang bila ia hanya merampok barang korbannya (Qs. al-Mâ’idah
[5]: 33)”.[15]
Namun penanganan Kejahatan terhadap keamanan negara dalam hukum
islam mempunyai catatan bahwa harus diakui, sulit dan hampir tidak mungkin
mencegah keterlibatan agama dalam politik.
Walaupun
demikian, Jalan untuk itu di negara Indonesia adalah hukum harus menyesuaikan
dengan Pancasila dan UUD 1945 yang memberikan persamaan perlakuan di depan
hukum kepada semua warga negara tanpa
membedakan agama. Indonesia jelas bukan negara agama persisnya “negara
Islam”, meski mayoritas penduduknya
memeluk Islam. Tapi juga bukan negara
sekuler, karena Pancasila dan UUD 1945
memberikan tempat resmi kepada agama-agama. Dalam proses itu, tantangan
terbesar bagi para ulama dan pemimpin muslim di Indonesia adalah
membuktikan bahwa keterlibatan Islam dalam poltik tidak menjadi catatan
hitam bagi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, HAM, kebebasan warga
dan multi kulturalisme. Karenanya berbagai kejahatan
terhadap keamanan Negara menurut konsep hukum Islam dapat pula menjadi bahan baku hukum keamanan negara termasuk sebagai
salah satu dasar pertimbangan penetapan
Negara dalam status keadaan bahaya.
[3]Sekedar perlu diingat pada zaman
Orde lama, Soekarno, pernah diberikan gelar "Waliyul Amri"
(lengkapnya Waliyul Amri Addaruriyu bis-Syauqah, artinya pemimpin umat di masa
darurat yang wajib dipatuhi). Ternyata
dalam masa pemerintahannya terjadi pemberontakan DI/TII. PERMESTA, dsb. Dan di
tahun 2001 di Era Reformasi saat Pemerintahan Abdurrahman Wahid mendapat
ancaman mosi tidak percaya melalui sidang DPR RI dan SI MPR, Rabhitah Ma'ahid Islamiyah (RMI: Persatuan
Pesantren Islam) PB NU membahas masalah bughat (makar) pada pertemuan di
Pesantren Al Masturiyah, Sukabumi (Jabar), diharapkan bisa memberikan pendidikan
politik, sehingga makar memiliki terminologi yang utuh dalam
perspektif fiqh al-Siyasah (fiqihpolitik).
Wakil Sekjen PB NU Masduki Baidlawi menambahkan, pembahasan makar dari
sisi fiqih dalam waktu bersamaan juga akan dilakukan di Pesantren Raudlathut
Thalibin (Rembang) dan Lirboyo (Kediri). Ada empat agenda yang menjadi topik
pembahasan bahtsul masail ulama di
ponpes NU terbesar di Jawa Barat ini. Pertama, sah dan tidaknya pemilihan
presiden jika dilihat dari syariat Islam. Kedua, apa hukum bagi sekelompok
orang yang menurunkan presiden yang dipilih secara sah. Ketiga, orang yang
berusaha menurunkan presiden dan melepaskan diri dari NKRI itu menurut syariat
Islam dikategorikan seperti apa. Dan terakhir sanksi yang diberikan kepada
mereka yang melakukan makar dan siapa yang memberikan sanksinya. http://www.kompas.com.25-01-2001
[4] Http://www.tempotnteraktif,com,
25-01-2001. Senada dengan itu: Menjelang keluarnya memorandum DPR kepada
Presiden Abdurrahman Wahid, Pengasuh Pesantren Buntet
(Cirebon) KH Abdullah Abbas yang pertama kali menyebutkan
bahwa goyangan terhadap Presiden merupakan tindakan bughat. Bagi kiai
khos NU ini, mempertahankan kepemimpinan Abdurrahman Wahid
adalah ibadah yang bisa disamakan dengan jihad. http://www.kompas.com. 25-01-2001 Mengenai hal itu, Sekjen PKB Muhaimin
Iskandar mengatakan, resolusi jihad seperti dikumandangkan
sebagian ulama NU, merupakan sesuatu yang berbahaya bagi
pengembangan demokrasi. "PKB tidak punya urusan dengan itu (resolusi
jihad). Tetapi, kita bisa mengimbau karena itu bisa berbahaya”. Ibid.
[5] Habib Husein Al Habsyi,
"Jabatannya" adalah Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI) atau
Persaudaraan Muslim Indonesia, sebuah organisasi yang mempunyai link ke 72
negara. Ulama yang matanya buta sejak usia 29 tahun itu. pernah mendekam di
penjara selama 10 tahun akibat kasus peledakan Candi Borobudur pada 1985. Ia
juga salah seorang dari segelintir tokoh Islam penentang asas tunggal Pancasila
yang kemudian "ditumpas" oleh rezim Orde Baru.Beliau menjelaskan,
mengapa Gus Dur wajib digulingkan? Karena kinerjanya yang sangat-sangat buruk,
rakyat semakin sengsara, dolar semakin naik, dan rupiah semakin anjlok. Pembodohan
kepada bangsa dan negara terus dilakukan. Di satu sisi, TNI dan Polri berusaha
untuk menghancurkan kelompok-kelompok preman, tapi Presiden sendiri adalah
seorang preman. Buktinya, ia mengerahkan kiai-kiai dari kelompok
"klenikisme". Cerita tentang pengerahan jin, tentang orang berjalan
di dinding seperti cecak, semuanya itu merupakan pembodohan kepada umat dan
merampok intelektualitas umat. Mengapa saya sampai memfatwakannya? Karena ia
adalah seorang pendiri Yayasan Shimon Perez, yayasan ini bergerak untuk kepentingan
Yahudi. Yang kedua, zionis bertujuan menghancurkan umat Islam dan negara-negara
Timur guna mengeruk harta kekayaannya demi keuntungan mereka. Apa yang ia
lakukan sebelum dan sesudah menjadi Pesriden adalah kampanye zionis.http://www.go.to/ambon, 20-02-2003.
[6] Insklopedi Hukum Islam,
Hal. 806-807 dan 1874.
[7] Secara semastis berarti 1). Akal busuk , tipu muslihat. 2).
Perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, 3). Perbuatan menjatuhjkan
pemerintah yang sah. Lihat Isklopedi Hukum Islam, hal. 1080.
[8] Http://www.tempotnteraktif,com,
25-01-2001
[9] Ibid.
[12] Isklopedia Hukum Islam, hal. 1082.
0 komentar:
Posting Komentar