Minggu, 08 November 2015

kajian jihad konstitusi



Kajian Jihad Konstitusi
12 Juni 2011

Keadaan Bahaya Dalam Negara: Sebuah Catatan Sejarah Hukum keamanan Negara di Indonesia[1]
Oleh Bayu Dwiwiddy Jatmiko[2]
Email: bayu.dj15@yahoo.com


كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
"Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".  (Al Qur'an Surat As Saba ayat 15)
 

بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Berkaitan dengan kajian tentang Hukum pertahanan dan keamanan Negara menurut hukum Islam,  dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan Indonesia, pernah mencuat pembahasan yang berkaitan dengan masalah ini. [3]
Sekedar catatan,  sebagaimana telah diberitakan beberapa media, dalam pidatonya di hadapan kurang lebih sekitar 1.500 warga nahdliyyin di kantor NU Cabang Kebumen, Jawa Tengah, (13/1/2001), anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR, KH Nur Muhammad Iskandar SQ  menegaskan dukungannya pada Presiden Wahid, yang menurutnya kini telah digoyang kekuasaannya.  Dan  membela Gus Dur berarti pula membela para ulama.. Dalam ceramahnya itu  menyebut-nyebut nama Amien Rais dan Akbar Tandjung. yang belakangan berseberangan terus dengan Gus Dur dan menyebut Amien Rais dan Akbar Tandjung telah berbuat makar dan halal darahnya.. “Kalau Gus Dur jatuh, martabat ulama akan turut jatuh pula, Kalau Anda mati melawan Amien Rais dan konco-konconya, mati melawan Akbar Tandjung dan konco-konconya, maka Anda akan mendapat kredit point masuk surga karena membela ulama!” [4].
Sementara ada ulama lain yang bernama Habib Husein Al Habsyi[5] , menyatakan:
“Saya sudah memfatwakan bahwa penggulingkan Gus Dur adalah wajib, dan saya menyerukan kepada kaum muslim untuk berpartisipasi menyumbangkan keringat dan darahnya dalam upaya menggulingkan dan menjungkalkan dia. Kalau kita mati, maka matinya adalah mati syahid. Sebaliknya, saya serukan kepada pembela-pembela Gus Dur yang awam itu bahwa kalau mereka mati karena membela Gus Dur, maka matinya adalah mati sangit (konyol) “.
Dalam Hukum Islam, bidang hukum yang berkenaan dengan hukum pidana  dinamakan jarimah/ jinayah. Pembagian jarimah, bila dilihat dari segi berat ringannya hukuman  yang ditentukan  terhadap tindak pidana tersebut,  maka dibagi menjadi:
 “1). jarimah Hudud yakni segala tindak pidana yang telah ditentukan bentuk, jumlah dan ukuran hukumannya dan merupakan hak Allah semata-mata. Bentuk dan hukuman jarimah  hudud terbatas yaitu zina dihukum rajam/ dihukum cambuk 100 kali/ dihukum cambuk 80 kali dan diasingkan) , pencurian (dihukum potong tangannya), menuduh  orang lain berbuat zina (dihukum cambuk 80 kali dan tak boleh menjadi saksi),  pengacau keamanan (dihukum bunuh/ disalib/ dipotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik/ diasingkan), minum-minuman keras (dicambuk), murtad (dibunuh dan penyitaan harta), dan bughat (diperangi hingga mati).
2); jarimah Qishash/ di’at yakni tindak pidana yang berkaitan dengan jiwa  atau anggota tubuh seseorang, Bentuk jarimah ini adalah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan  tersalah, pembunuhan tersalah, pelanggaran terhadap anggota tubuh  secara sengaja, dan pelanggaran terhadap anggota tubuh secara tersalah. Hukuman untuk jarimah ini adalah pembalasan (qishash) sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku atau pembayaran di’at (ganti rugi dan denda) jika dimaafkan oleh ahli waris korban.
3).  Jarimah takzir yakni segala tindak pidana yang dikenakan hukuman takzir ( hukuman selain hudud dan kafarat),  yang bersifat tidak terbatas bentuk dan hukumannya  (diserahkan kepada ulul amri/ hakim)”[6]. 

Tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan Negara, merupakan bagian dari jarimah hudud,  yang bisa berupa salah satu dari 3 bentuk, yaitu:
a.  Makar adalah “suatu perbuatan (usaha) untuk menentang atau membunuh seseorang yang tidak disenangi atau dianggap sebagai musuh atau saingan, baik dalam hal agama maupun dunia,  dengan cara tipu daya dan perbuatan-perbuatan lain  yang bertentangan dengan agama Islam”[7]
Menurut KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PB NU,
“Makar adalah setiap usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan tidak melalui hukum atau konstitusi yang ada. Makar juga berarti pemaksaan terhadap pergantian kekuasaan apalagi dengan cara mendesak-desak dengan kekuatan tertentu. Dalam bahasa agama, hal itu disebut bughat (pemberontak).[8]
Perbuatan makar itu biasanya dilakukan setelah mengatur siasat yang dianggap tepat untuk  mewujudkan tujuan yang direncanakan, dapat dilakukan oleh seorang dapat juga berkelompok.  Pada umumnya, makar dilakukan dengan tipu daya atau politik licik dan jahat,  terkadang dilakukan secara kekarasan untuk melenyapkan jiwa seseorang.

KH. Hasyim Muzadi, menjelaskan:
“menurut fikih, makar tidak boleh dilakukan kepada pemerintah  sah, sesuai dengan konstitusi. Dalam konteks negara Islam bughat boleh diperangi. Untuk negara konstitusi seperti Indonesia penanganannya diserahkan kepada Presiden. Terserah presiden mau nyuruh siapa untuk menanganinya, bisa TNI atau yang lain,” [9]
Pada dasarnya  Fatwa bughat hanya boleh dilakukan terhadap orang-orang kafir yang menyerang orang-orang Islam. Tapi, tidak semua orang kafir boleh  serang. Yang dimaksud dengan kafir itu juga ada dua macam. Yang pertama, kafir harbi, yang memerkosa kaum muslim, membakar rumah-rumah kaum muslim, yang melarang kaum muslim salat, yang memusuhi kita. Itu boleh kita perangi. Yang kedua, kafir dzimni, yaitu orang sebangsa,  hidup, makan, berdagang, membayar pajak, dan hidup normal senegara, itu tidak boleh kita perangi.

Nadirsyah Hosen, dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyatakan:
“Ibn Qayyim dalam Badai'u al-Fawaid (h, 12-13) menjelaskan bahwa hakim tidak akan dapat mengeluarkan keputusan yang adil kecuali memiliki tiga pengetahuan: pertama, mengetahui dalil masyru'iyyat al-hukm (hukum materiil); kedua, mengetahui dalil wuqu'u al-hukm (ratio legis hukum) sehingga hakim dapat memahami ahwal al-nas, baik itu berupa pengetahuan sosiologi hukum, kriminologi, viktimologi, antropologi hukum dan lainnya. Ketiga, hakim dituntut untuk mengetahui hukum formiil (hukum acara)”[10].

Salah satu kunci keberhasilan sistem syari’at Islam –dalam bidang peradilan- adalah tegas dan adilnya sanksi-sanksi yang dijatuhkan, baik bagi terdakwa maupun pendakwa termasuk masyarakat banyak. Perkara yang menyangkut sanksi inilah yang dikenal di dalam khasanah hukum Islam dengan ‘al-Uqubat’.Untuk menilai sebuah hukum, khususnya sanksi (uqubat) yang merupakan produk hukum syari’at, hendaknya di tinjau secara objektif dan menyeluruh sesuai dengan fungsi dan hukum itu bagi keamanan dan ketentraman masyarakat manusia.
Sanksi (uqubat) di dalam Islam, dalam catatan sejarah, telah terbukti mampu mencegah kejahatan, menjamin keamanan, keadilan dan ketentraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kriminal antara lain berfungsi untuk:
-     “Sebagai “zawajir” (pencegah) sangat efektif mencegah orang-orang yang hendak melakukan perbuatan dosa dan kejahatan.
-     ada (jaminan kelangsungan) hidup dalam qishash
-     Kesucian kehormatan manusia dlindungi oleh hukum syara’ yang benar-benar efektif dalam mencegah terjadinya pelanggaran kehormatan dengan menjilid atau merajam para pezina dengan disaksikan oleh masyarakat
-     Sebagai Penebus Dosa “jawabir” (penebus) siksaannya di akhirat kelak”.[11]

Sedangkan  menurut fiqih, hukuman terhadap pelaku makar disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkan,  yaitu:
“1) Apabila perbuatan makar itu mengakibatkan nyawa seseorang hilang, maka dikenakan hukuman Qishash
2). Apabila  perbuatan makar dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang sah dalam pelaksanaannya tergolong bughat  maka dikenakan hukuman bughat yaitu diperangi.
3). Apabila dalam perbuatan makar itu terjadi pembunuhan dan  perampasan harta maka dikenakan hukuman muharabah yaitu dihukum bunuh/ disalib/ dipotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik/ diasingkan”. [12]

b. Bughat adalah tindakan penganiayaan/ penyelewengan yang dilakukan oleh sekelompok orang  yang terorganisasi, dengan kekuatan yang perlu dipertimbangkan  dan pemimpin yang karismatis, terhadap pemerintah negara[13].
Bughat dalam aksinya  menggunakan kekuatan fisik dan senjata untuk menggulingkan pemerintah yang sah dan jika perlu langsung membunuh pemerintah yang  yang digulingkan itu.  Hal mana berbeda dengan makar yang dalam aksinya lebih menekankan pada segi tipu daya dan tujuannya adalah menjatuhkan atau melenyapkan seseorang dari muka bumi. Hukuman bagi pelaku bughat adalah diperangi sampai mati.

c.  Hirabah adalah perbuatan pengacauan keamanan yang berupa perampasan harta dengan diiringi kekerasan/  senjata [14]. Hukuman bagi pelaku hirabah berupa  dihukum bunuh atau  disalib atau  dipotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik atau / dibuang  dari negeri tempat tinggalnya.
Hal ini dipertegas oleh  Nadirsyah Hosen, dengan menyatakan bahwa:
“Terhadap perampok, pembegal, pencopet dan penjambret, Islam memberikan sanksi yang tidak tanggung-tanggung, yaitu: dihukum mati dan disalib mayatnya di jalanan apabila penjahat tersebut membunuh dan menyakit barang korbannya, dihukum mati saja jika penjahat itu membunuh tapi tidak sempat mengambil barang korban, dan penjahat itu dipotong tangan dan kakinya saling silang bila ia hanya merampok barang korbannya (Qs. al-Mâ’idah [5]: 33)”.[15]

Namun  penanganan Kejahatan terhadap keamanan negara dalam hukum islam mempunyai catatan bahwa harus diakui, sulit dan hampir tidak mungkin mencegah keterlibatan agama dalam politik.
 Walaupun demikian, Jalan untuk itu di negara Indonesia adalah hukum harus menyesuaikan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang memberikan persamaan perlakuan di depan hukum  kepada semua warga negara tanpa membedakan agama. Indonesia jelas bukan negara agama persisnya “negara Islam”,  meski mayoritas penduduknya memeluk Islam. Tapi juga bukan  negara sekuler, karena Pancasila  dan UUD 1945 memberikan tempat resmi kepada agama-agama. Dalam proses itu, tantangan terbesar bagi para ulama dan pemimpin muslim di Indonesia adalah membuktikan  bahwa keterlibatan  Islam dalam poltik tidak menjadi catatan hitam  bagi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, HAM, kebebasan warga dan multi kulturalisme. Karenanya berbagai kejahatan terhadap keamanan Negara menurut konsep hukum Islam dapat pula menjadi bahan baku hukum keamanan negara termasuk sebagai salah satu  dasar pertimbangan penetapan Negara dalam status keadaan bahaya.


[1] Penggalan Hasil Kajian tentang penetapan Negara dalam Keadaan bahaya, DP2M. UMM, 2011.
[2] Dosen FH UMM
[3]Sekedar perlu diingat pada zaman Orde lama, Soekarno, pernah diberikan gelar "Waliyul Amri" (lengkapnya Waliyul Amri Addaruriyu bis-Syauqah, artinya pemimpin umat di masa darurat yang wajib dipatuhi). Ternyata dalam masa pemerintahannya terjadi pemberontakan DI/TII. PERMESTA, dsb. Dan di tahun 2001 di Era Reformasi saat Pemerintahan Abdurrahman Wahid mendapat ancaman mosi tidak percaya melalui sidang DPR RI dan SI MPR,  Rabhitah Ma'ahid Islamiyah (RMI: Persatuan Pesantren Islam) PB NU membahas masalah bughat (makar) pada pertemuan di Pesantren Al Masturiyah, Sukabumi (Jabar), diharapkan bisa memberikan pendidikan politik, sehingga makar memiliki terminologi   yang utuh dalam perspektif fiqh al-Siyasah (fiqihpolitik).  Wakil Sekjen PB NU Masduki Baidlawi menambahkan, pembahasan makar dari sisi fiqih dalam waktu bersamaan juga akan dilakukan di Pesantren Raudlathut Thalibin (Rembang) dan Lirboyo (Kediri). Ada empat agenda yang menjadi topik pembahasan bahtsul masail ulama di ponpes NU terbesar di Jawa Barat ini. Pertama, sah dan tidaknya pemilihan presiden jika dilihat dari syariat Islam. Kedua, apa hukum bagi sekelompok orang yang menurunkan presiden yang dipilih secara sah. Ketiga, orang yang berusaha menurunkan presiden dan melepaskan diri dari NKRI itu menurut syariat Islam dikategorikan seperti apa. Dan terakhir sanksi yang diberikan kepada mereka yang melakukan makar dan siapa yang memberikan sanksinya. http://www.kompas.com.25-01-2001 
[4] Http://www.tempotnteraktif,com, 25-01-2001. Senada dengan itu: Menjelang keluarnya memorandum DPR kepada Presiden Abdurrahman Wahid,    Pengasuh Pesantren Buntet (Cirebon) KH Abdullah Abbas yang pertama    kali menyebutkan bahwa goyangan terhadap Presiden merupakan tindakan bughat. Bagi  kiai khos NU ini, mempertahankan kepemimpinan Abdurrahman Wahid adalah   ibadah yang bisa disamakan dengan jihad. http://www.kompas.com. 25-01-2001   Mengenai hal itu, Sekjen PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, resolusi    jihad seperti dikumandangkan sebagian ulama NU, merupakan sesuatu yang    berbahaya bagi pengembangan demokrasi. "PKB tidak punya urusan dengan itu (resolusi jihad). Tetapi, kita bisa mengimbau karena itu bisa berbahaya”. Ibid.
[5] Habib Husein Al Habsyi, "Jabatannya" adalah Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI) atau Persaudaraan Muslim Indonesia, sebuah organisasi yang mempunyai link ke 72 negara. Ulama yang matanya buta sejak usia 29 tahun itu. pernah mendekam di penjara selama 10 tahun akibat kasus peledakan Candi Borobudur pada 1985. Ia juga salah seorang dari segelintir tokoh Islam penentang asas tunggal Pancasila yang kemudian "ditumpas" oleh rezim Orde Baru.Beliau menjelaskan, mengapa Gus Dur wajib digulingkan? Karena kinerjanya yang sangat-sangat buruk, rakyat semakin sengsara, dolar semakin naik, dan rupiah semakin anjlok. Pembodohan kepada bangsa dan negara terus dilakukan. Di satu sisi, TNI dan Polri berusaha untuk menghancurkan kelompok-kelompok preman, tapi Presiden sendiri adalah seorang preman. Buktinya, ia mengerahkan kiai-kiai dari kelompok "klenikisme". Cerita tentang pengerahan jin, tentang orang berjalan di dinding seperti cecak, semuanya itu merupakan pembodohan kepada umat dan merampok intelektualitas umat. Mengapa saya sampai memfatwakannya? Karena ia adalah seorang pendiri Yayasan Shimon Perez, yayasan ini bergerak untuk kepentingan Yahudi. Yang kedua, zionis bertujuan menghancurkan umat Islam dan negara-negara Timur guna mengeruk harta kekayaannya demi keuntungan mereka. Apa yang ia lakukan sebelum dan sesudah menjadi Pesriden adalah kampanye zionis.http://www.go.to/ambon, 20-02-2003.
[6]   Insklopedi Hukum Islam, Hal. 806-807 dan 1874.

[7] Secara semastis berarti 1). Akal busuk , tipu muslihat. 2). Perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, 3). Perbuatan menjatuhjkan pemerintah yang sah.  Lihat Isklopedi Hukum Islam, hal. 1080.
[9] Ibid.

[12] Isklopedia Hukum Islam, hal. 1082.
[13] Ibid, hal. 1080.

[14] Ibid, hal. 1082.

0 komentar:

Posting Komentar