MELONGOK PERLINDUNGAN KEPENTINGAN HUKUM NEGARA MELALUI TINDAKAN EKSTRADIKSI
Oleh
: Bayu Dwiwiddy Jatmiko[1]
E mail: bayu.dj15@yahoo.com
Abstraksi
Ekstradiksi menjadi salah satu cara bagi negara untuk
melindungi kepentingan hukum yang menjadi tugasnya dan pelaksanaannya
membutuhkan kerja sama antar negara. Perjanjian ekstradiksi yang dilakukan
antar negara harus jelas menyebutkan tindak pidana apa saja yang diekstradiksi
dan beberapa tidak pidana yang dikecualikan untuk diekstradiksi.
Kata Kunci: Kepentingan Hukum, Ekstradiksi, tindak
Pidana.
Abstraction
Extradition be one way for the state to protect the legal interests of the
task and its implementation requires cooperation between countries .
Extradition agreement made between countries should clearly mention any
criminal offenses that are not criminal extradition and some that are excluded
for extradition .
Keywords : Interest Law , extradition , criminal acts .
PENDAHULUAN
Tujuan negara
Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Dalam konteks
demikian maka hukum
di Indonesia yang berfungsi sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatan telah
melalui rentetan sejarah yang panjang, mengalami perubahan dan perkembangan dari satu
cara yang bersifat pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan, berubah
menjadi alat untuk: pertama, memberikan
perlindungan kepentingan hukum (korban)
dari gangguan kejahatan, yang dilanggar atau dibahayakan; kedua. perlindungan/ pembinaan individu pelaku tindak pidana[2], Hal ini kemudian terus berubah dan berkembang kearah fungsi
hukum, khususnya hukum sebagai wadah pembinaan untuk menjaga dan mengembalikan
ketertiban dan ketentraman dalam tatanan masyarakat.
Mengenai
perlindungan kepentingan hukum sebenarnya bukan hanya bagi korban, tetapi yang
lebih tepat yang termasuk disini adalah
perlindungan bagi:
-
Kepentingan hukum perorangan
-
Kepentingan hukum masyarakat.
- Kepentingan hukum negara .[3]
Dalam proses perlindungan kepentingan hukum tersebut, Indonesia telah mempunyai UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradiksi. Ekstradiksi merupakan tindakan penyerahan oleh suatu negara kepada negara
yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi
wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya[4].
Tulisan ini akan
mengkaji bagaimana ketentuan-ketentuan tentang ekstradiksi menjadi salah satu
cara bagi negara untuk melindungi kepentingan hukum yang menjadi tugasnya.
KONSEPSI DASAR
Di dalam Pelaksanaannya tindakan Ekstradiksi dapat
dilakukan oleh Negara – antar Negara
berdasarkan beberapa hal, yakni:
- Ekstradiksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
- Dalam hal belum ada perjanjian, maka ekstradiksi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya.[5]
Mereka yang dikenakan tindakan Ekstradiksi, adalah
mereka yang telah melakukan berbagai tindak pidana dan telah mempunyai
kejelasan atas status yang dimilikinya sebagai pelaku tindak pidana, yakni:
1.
Yang
dapat diekstradiksikan ialah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara
asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana
atau perintah penahanan.
2.
Ekstradiksi
dapat juga dilakukan terhadap orang yang disangka melakukan atau telah dipidana
karena melakukan pembantuan, percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan
kejahatan tersebut dalam pasal 3 ayat (1), sepanjang pembantuan, percobaan, dan
permufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia
dan menurut hukum negara yang meminta ekstradiksi.[6]
Tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradiksi
merupakan tindak pidana yang termasuk dalam daftar yang telah disusun oleh
Negara-negara peserta perjanjian ekstradiksi, hal tersebut sebagaimana yang
telah disebutkan dalam pasal 4 UU Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradiksi tersebut, yakni:
1.
Ekstradiksi
dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir
sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
2.
Ekstradiksi
dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan dari negara yang diminta terhadap
kejahatan lain yang tidak disebut dalam daftar kejahatan.
3.
Dengan
Peraturan Pemerintah, pada daftar kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat
ditambahkan jenis perbuatan lain yang oleh Undang-undang telah dinyatakan
sebagai kejahatan.[7]
Namun tidak setiap tindak pidana dapat
dilakukan tindakan ekstradiksi terhadap para pelakunya, Pasal 5 UU Ekstradiksi telah
menyebutkan secara garis besar
ruang lingkup bidang hokum atas tindak pidana yang dapat dilakukan tindakan ekstradiksi, yaitu:
1.
Ekstradiksi
tidak dilakukan terhadap kejahatan politik.
2.
Kejahatan
yang pada hakekatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan
politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik.
3.
Terhadap
beberapa jenis kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradiksikan
sepanjang diperjanjikan antara negara Republik Indonesia dengan negara yang
bersangkutan.
4.
Pembunuhan
atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota-keluarganya tidak
dianggap sebagai kejahatan politik.
TINDAK PIDANA YANG DAPAT DIEKSTRADIKSI
Berbagai Tindak pidana tersebut telah diperinci dalam Lampiran UU Ekstradiksi, yang
mana di dalamnya disebutkan jenis pelanggaran hukum yang dapat diserahkan,
yakni :
1.
Pembunuhan.
2.
Pembunuhan yang direncanakan.
3.
Penganiayaanyang berakibat
luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yangdirencanakan dan
penganiayaan berat.
4.
Perkosaan, perbuatan cabul
dengankekerasan.
5.
Persetubuhandengan seorang
wanita di luar perkawinan atau perbuatan-perbuatan cabul denganseseorang
padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya atauorang itu belum
berumur 15 tahun atau belum mampu dikawin.
6.
Perbuatan cabul yang dilakukan
oleh orang yang cukup umur dengan orang lain sama kelaminyang belum cukup umur.
7.
Memberikanatau mempergunakan
obat-obat dan atau alat-alat dengan maksud menyebabkan guguratau mati kandungan
seorang wanita.
8.
Melarikanwanita dengan
kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengajamelarikan
seseorang yang belum cukup umur.
9.
Perdagangan wanita dan
perdagangan anaklaki-laki yang belum cukup umur.
10. Penculikandan penahanan
melawan hukum.
11. Perbudakan.
12. Pemerasan dan pengancaman.
13. Meniruatau memalsukan mata uang atau uang kertas negeri atau uang
kertas bank ataumengedarkan mata uang kertas negeri atau kertas bank yang
ditiru ataudipalsukan.
14. Menyimpan atau memasukkan uang keIndonesia yang telah ditiru atau
dipalsukan
15. Pemalsuan dan kejahatan
yangbersangkutan dengan pemalsuan.
16. Sumpah palsu.
17. Penipuan.
18. Tindak pidana-tindak pidana berhubungdengan kebangkrutan.
19. Penggelapan.
20. Pencurian, perampokan.
21. Pembakaran dengan sengaja.
22. Pengrusakan barang atau bangunan dengansengaja.
23. Penyelundupan.
24. Setiap tindak kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan
keselamatan kereta api, kapal laut atau kapal terbang dengan
penumpang-penumpangnya.
25. Menenggelamkan atau merusak kapal ditengah laut.
26. Penganiayaandi atas kapal di tengah laut dengan maksud menghilangkan
nyawa atau menyebabkanluka berat.
27. Pemberontakan atau permufakatan untuk memberontak oleh 2 (dua) orang
atau lebih di atas kapal di tengah laut menentang kuasanakhoda, penghasutan
untuk memberontak.
28. Pembajakan laut.
29. Pembajakan udara, kejahatan penerbangandan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan.
30. Tindak Pidana Korupsi.
31. Tindak Pidana Narkotika dan
obat-obatberbahaya lainnya
32. Perbuatan-perbuatanyang
melanggar Undang-undang Senjata Api, bahan-bahan peledak dan bahan-bahan yang
menimbulkan kebakaran
Menurut UU ini pada
pokoknya ekstradiksi merupakan penyerahan seorang tersangka atau terpidana yang
telah melakukan suatu tindak pidana
diluar negara yang meminta penyerahan, yang dilakukan secara formal oleh
suatu negara kepada negara lain yang mempunyai wewenang untuk memeriksa dan
mengadili penjahat tersebut. [8].
Di dalam pasal
2 dari UU ini dijelaskan ada beberapa jenis pelanggaran hukum yang dapat
diserahkan oleh suatu negara yang diminta kepada negara yang meminta penyerahan Pelanggaran hukum yang dimaksud adalah:
- pelanggaran yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia dan
hukum Negara yang terikat perjanjian ekstradiksi
dengan Indonesia
yakni berdasarkan asas tindak pidana ganda (double
criminality),
- pelanggaran hukum tersebut diancam dengan pidana
penjara lebih dari 1 (satu) tahun atau dengan pidana lebih berat [9].
Secara garis besar di dalam penjelasan pasal 4 UU Ekstradiksi ini, Negara Diminta boleh menolak untuk
menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan pidana yang
berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara lain.
1- tindak pidana yang berlatar belakang politik,
2- tindak pidana militer,
3- penuntutan yang telah kadaluarsa,
4- ne bis in
idem.
5- tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah
Negara Peminta (extraterritorial crime)
dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta
6- tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati[10]:
Sebagai contoh tentang pengaturan
lebih lanjut tentang masalah ekstradiksi, misalnya terlihat pada beberapa bagian penting dalam UU No. 1 tahun 2001 Tentang Pengesahan
Perjsetujuan antara pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk
Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan diri, yang
mengatur antara lain mengenai Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana, sebagai
berikut:
1.
Penolakan pemberian bantuan
(Pasal 4) Perjanjian Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana mengatur hak negara-negara pihak terutama Negara
Diminta untuk menolak permintaan bantuan.
2.
Hak Negara Diminta untuk
memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak
mutlak dalam arti dapat menolak.
3.
Hak negara untuk menolak yang
bersifat mutlak dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional
yang dalam suatu perjanjian internasional yang berkaitan dengan proses
peradilan pidana antara lain yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan
tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan
yang telah kadaluarsa, dan ne bis in idem.
4.
Hak Negara Diminta untuk
menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip
resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak
pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta
(extraterritorial crime) dan tidak
diatur menurut hukum Negara Diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati.[11]
Contoh lainnya tentang pengaturan lebih lanjut
tentang masalah ekstradiksi, misalnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Perjanjian Antara Republik IndonesiaDan Australia Mengenai Bantuan
Timbal BalikDalam Masalah Pidana (treaty between the republic of indonesia
and australia on mutual assistance in criminal matters). Pemerintah Republik Indonesia dan Australia mengadakan perjanjian bantuan
timbal balik dalam masalah pidana yang telah ditandatangani pada tanggal 27
Oktober 1995 di Jakarta. Perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kerjasama yang efektif dalam rangka penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan
antara kedua negara yang meliputi :
a. pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk mendapatkan
pernyataan dari orang, termasuk pelaksanaan surat rogatoir;
b. pemberian dokumen dan catatan lain;
c.
lokasi dan
identifikasi dari orang;
d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;
e. upaya-upaya untuk mencari, menahan, dan menyita hasil kejahatan;
f.
mengusahakan
persetujuan dari orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu
penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu berada dalam tahanan, mengatur
pemindahan sementara ke Negara tersebut;
g. penyampaian dokumen; dan
h. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini
yang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.
i.
Untuk meningkatkan
efektifitas kerjasama dalam penanggulangan tindak pidana, terutama yang
bersifat transnasional, maka pelaksanaan prinsip-prinsip umum hukum
internasional yang menitikberatkan pada asas penghormatan kedaulatan hukum dan
kedaulatan negara harus mengacu pada asas tindak pidana ganda (double
criminality).
AZAS-AZAS EKSTRADIKSI
Dalam UU ini
ketentuan ekstradiksi tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia,
sehingga amat mempengaruhi pelaksanaan ekstradiksi atas diri seorang penjahat[12].
Hak asasi manusia itu telah mendorong lahirnya beberapa azas-azas ekstradiksi
yang berlaku dalam perjanjian antar Negara[13]
. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang ekstradiksi dapat disimpulkan
beberapa azas sebagai berikut :
a.
Azas kejahatan rangkap (Double
Criminality), yakni perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun
negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan (pasal 4);
b.
Azas penolakan terhadap
permintaan ekstradiksi penjahat politik
(pasal 5);
c.
Azas untuk tidak menyerahkan
warga negaranya sendiri kepada Negara peminta (pasal 7);
d.
Azas penolakan ekstradiksi yang
dilakukan seutuhnya atau sebagian di wilayah negara yang diminta dalam
yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradiksi
(pasal 8);
e.
Azas penolakan ekstradiksi jika
pejabat yang berwenang dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan
terhadap seorang penjahat yang bersangkutan (pasal 9);
f.
Azas Ne Bis In Idem (pasal 10);
g.
Azas untuk tidak menahan,
menuntut atau memidana atas kejahatan lain, kecuali kejahatan dimana penjahat
tersebut diminta ekstradiksi kecuali negara yang diminta tersebut menyetujuinya
(pasal 15)[14].
Omar Seno Aji
menyatakan azas-azas ekstradiksi diberikan penekanan kepada empat azas
yakni :
a.
Azas “Double Criminality”,
yakni kejahatan rangkap, bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara yang
minta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai suatu kejahatan;
b.
Azas bahwa negara yang diminta
berhak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri;
c.
Azas bahwa jika suatu kejahatn
tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai suatu kejahatan politik,
maka permintaan ekstradiksi ditolak;
d.
Azas bahwa suatu kejahatan yang
seluruhnya atau sebagian diwilayah yang termasuk dalam yuridiksi negara yang
diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradiksi ini[15]
DELIK POLITIK
TIDAK DAPAT DIEKSTADISI
Hal yang perlu di garis bawahi, bahwa terhadap delik
politik tidak dapat diekstadisi, ini
sehubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian
kejahatan politik[16].
Pasal 5 UU Ekstradiksi mengatur
sebagai berikut:
(1) Ekstradiksi tidak dilakukan
terhadap kejahatan politik.
(2) Kejahatan yang pada hakekatnya
lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap
sebagai kejahatan politik.
(3) Terhadap beberapa jenis
kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradiksikan sepanjang
diperjanjikan antara negara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Pengecualian terhadap tidak dapat diserahkannya
seorang penjahat politik dari negara yang diminta kepada negara peminta adalah
apabila terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala
Negara atau anggota keluarganya [17].
Karena perbuatan tersebut dianggap bukan sebagai kejahatan politik, meskipun
hal sedemikian mungkin terjadi dengan latar belakang atau tujuan-tujuan
politik.
Penjelasan
pasal 5 Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradiksi menyebutkan[18].:
“Kejahatan yang diatur dalam ayat (4) itu sebetulnya
merupakan suatu kejahatan politik yang murni, tetapi karena kejahatan tersebut
dianggap sangat dapat menggoyahkan masyarakat dan negara, maka untuk
kepentingan ekstadisi dianggap tidak merupakan kejahatan politik. Hal ini
merupakan ‘Attentat-Clause’ yang dianut
pula oleh Indonesia”
Lobby Loqman menjelaskan bahwa “Attentat-Clause” yang
memandang makar terhadap Presiden/Raja dianggap bukan sebagai delik politik,
berasal dari Belgia. Pada waktu ada percobaan
pembunuhan terhadap Napoleon III oleh Jaguin, yang kemudian melarikan diri ke
Belgia dan pemerintah Perancis meminta diekstradiksinya penjahat tersebut.
Selanjutnya Belgia menambahkan klausula baru dalam undang-undang ekstradiksinya
yang kemudian dikenal dengan “Attentat-clausule” tahun 1833. Lebih jauh Lobby Loqman menyatakan, bahwa
“Sejauh ini dalam perundang-undangan hukum pidana, khususnya yang termuat dalam
suatu kodifikasi (umpamanya KUHP) tidak secara nyata memberikan latar belakang
terhadap perbuatan di bidang politik
Memang ada beberapa pengecualian dalam masalah ekstradiksi
terhadap pelaku kejahatan politik [19]
Dalam hal ini Hazewinkel-soeringa, melakukan pengelompokan terhadap sikap
beberapa negara dalam melakukan tindakan terhadap apa yang dimaksud dengan
delik politik menjadi empat teori. Keempat teori tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Teori obyektif, atau juga
disebut sebagai teori absolut. Teori ini mengemukakan bahwa delik politik
ditujukan terhadap negara dan lembaga-lembaga negara.
2.
Teori Subyektif atau teori
relatif. Pada dasarnya semua perbuatan yang dilakukan dengan berlatar belakang
atau bertujuan politil adalah suatu delik politik.
3.
Teori Predominan. Teori ini
membatasi pengertian yang luas terhadap delik politik, terutama teori relatif.
Dalam teori ini dicari perbuatan apa yang paling dominan. Apabila yang dominan
adalah kejahatan umum, perbuatan itu bukan termasuk delik politik.
4.
Teori `Political Incident`.
Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.
Perlu diperhatikan dalam uraian tentang teori-teori di atas, bahwa teori
tersebut merupakan hasil klasifikasi suatu keadaan, jadi sifatnya adalah
empiris. Bukan dibentuk suatu teori dan diterapkan teori-teori itu, akan tetapi
bagaimana negara-negara melihat suatu perbuatan sebagai suatu delik politik,
barulah dilakukan klasifikasi. Sebagai umpama dapat dilihat ketentuan yang ada
di Indonesia. [20].
Pengecualian dalam masalah ekstradiksi terhadap pelaku
kejahatan politik ini sesuai dengan persetujuan antara negara yang
bersangkutan. Dimana secara universal bahwa penjahat politik adalah nonekstradiksi.
Karena masalah ekstradiksi merupakan
salah satu kekhususan lain dari delik politik
Sebagai contoh, dalam persetujuan ekstradiksi antara Indonesia dan
Malaysia, meskipun pada hakekatnya pelaku kejahatan politik nonekstradiksi,
akan tetapi terhadap pembunuhan presiden, masih dimungkinkan adanya ekstradiksi,
tanpa melihat latar belakang serta tujuan perbuatan itu.
Dalam kepustakaan hukum,
kejahatan politik ternyata harus
dibedakan antara kejahatan yang ditujukan kepada pemerintah dengan kejahatan
yang diilakukan oleh pemerintah. Tentang
hal itu perlu dikemukakan pendapat yang menyatakan:
Kejahatan terhadap pemerintah
dapat berupa suatu kekerasan yang
merupakan protes atas kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh suatu
pemerintah, keinginan merubah struktur
pemerintah di luar konstitusi dan sebagainya. Sedangkan kejahatan yang
dilakukan pemerintah dapat berupa serangan atau ancaman terhadap hak-hak azasi warga, perbuatan kejahatan yang
bertalian dengan penyalah gunaan suatu wewenang dan sebagainya.[21]
Dari situ terlihat bahwa kejahatan politik bisa
dilakukan oleh siapa saja dan dalam
berbagai bentuk kejahatan, baik oleh rakyat sebagai warga negara maupun oleh
pemerintah sebagai penguasa negara, dalam lingkup satu negara nasional ataupun
yang mempunyai dimensi antar negara/ internasional, yang mengancam berbagai sendi kelangsungan kehidupan
bernegara..
Dalam konteks negara nasional, menurut Sumiyanto, kejahatan politik antara lain berupa:
1. Pengkhianatan (pelanggaran tugas
kesetiaan)
2. Penghasutan (provokator/ penganjur)
3. Makar terhadap kepala Negara.
4. Bergabung dengan musuh
5. Pemberontakan
6. Penculikan
7. Penyerangan
8. kegiatan mata-mata
9. Kerusuhan (gangguan dengan kekerasan/
ancaman kekerasan)
10. Permusuhan antar ras/ suku/ penganut
agama
11. Pengrusakan barang-barang untuk
kepentingan umum
12. Fitnah terhadap pejabat pemerintah. [22]
Sedangkan dalam konteks kejahatan
internasional, menurut Sumiyanto dengan mengutip pendapat M. Cherif
Bassiouni, kejahatan politik antara lain
berupa:
1. Piracy (Pembajakan ka[al laut)
2. Hijacking
(Pembajakan pesawat terbang)
3. Teroris
(Penggunaaan kekerasan untuk tujuan politik)
4. Sabotase ( perbuatan yang menyebabkan kerusakan atau
gangguan).
5. Genocide
(pemusnahan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok agama)
6. Hostages
(penyanderaan)
7. Misuse of Drugs
(Penyalahgunaan obat)
8. Contempt of Court
(penghinaan terhadap pengadilan)
9. Apartheid (
tindakan kekerasan atas dasar perbedaan ras, warna kulit atau asal kebangsaan).[23]
BEBERAPA PENERAPAN UU EKSTRADIKSI
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan
yang menindaklanjuti Undang-undang No.1 tahun 1979 tentang ekstradiksi antara lain:
1.
Undang-undang No. 9 Tahun 1974
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradiksi antara Pemerintah indonesia
dengan Pemerintah Malaysia,
2.
Undang-undang No. 2 Tahun 1978
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradiksi antara Pemeritah Republik Indonesia
dengan pemerintah Kerajaan Thailand.
3.
Undang-undang No.
8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradiksi
antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah Australia dan Undang-undang No. 1 tahun 1999 Tentang Pengesahan Perjanjian Kerjasama antara
Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana (Treaty between the Republic of
Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang
telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta
4.
Undang-undang No. 1 tahun 2001
Tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of the
Republic of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of
Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997 di
Hongkong, dsb.
Berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian ekstradiksi di
atas, ada kasus yang menarik untuk disimak misalnya kasus ekstradiksi terhadap Umar al. Faruq [24], yang dituduh
bersama-sama dengan ustad Abu Bakar ba”asyir terlibat dalam upaya
pembunuhan terhadap presiden Megawati Soekarno
Putri. Dalam kasus Umar al
Faruq yang juga berkaitan dengan masalah
ekstradiksi atas Hambali oleh pemerintah Negara Thailand ke Negara Amerika Serikat,
maka Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Hidayat Nurwahid menilai:
“Pemeritahan
Megawati tak berdaya dan selalu mengikuti skenario AS dalam menghadapi isu
melawan terorisme. Pemerintah sangat lemah dan tidak memiliki pendirian dan
sikap tegas soal teroris. Contohnya,
dalam kasus Umar Al-Faruq dan Hambali keduanya ditangkap dan dibawa ke
Amerika. Ketika pemerintah mau memeriksa keduanya, lalu dipersulit dengan
alasan tidak memiliki perjanjian ekstradiksi dengan negeri Paman Sam tersebut.
Ini kan lucu.
Kalau memang tidak memiliki perjanjian ekstradiksi mengapa Hambali yang
notebene warganegara RI ditangkap dan langsung dibawa ke negara mereka. Lalu
kita mau memeriksanya pun dipersulit. Sangat aneh. Dalam beberapa bagian,
pemerintahan Megawati hanya mengikuti alur yang dimainkan Amerika. Pemerintah,
akhirnya tidak tampil sebagai negara yang berdaulat “.[25]
Dari itu, perlu mendapat perhatian dalam masalah ekstradiksi
adalah subyek-subyek dalam pelaksanaan ekstradiksi. Disamping Negara
Peminta ekstradiksi sebagai salah satu subyek dan Negara Diminta
untuk menyerahkan pelaku tindak pidana sebagai subyek lainnya, masih ada
kemungkinan subyek ketiga yakni negara
dimana pelaku tindak pidana menjadi warga negara. Karenanya penting untuk dipahami bahwa tiap
negara memiliki hak ekstradiksi, yakni untuk mengekstradiksi seorang tersangka
ke negara mana saja yang dikehendaki (state-sovereignty).
Di sisi lain perlu diingat, prinsip itu masih ada
rambu pembatasnya, yaitu diakuinya prinsip nonrefoulment sebagai
salah satu prinsip penting hukum internasional tentang ekstradiksi, Prinsip itu
menegaskan, suatu negara tidak dapat menyerahkan seseorang meski atas
permintaan negara asal orang itu jika dengan penyerahan itu orang bersangkutan
akan diperlakukan bertentangan dengan due process of law atau diadili oleh
suatu proses peradilan yang unfair, impartial, dan diskriminatif berdasar
agama, ras, dan etnis.
Prinsip nonrefoulment ini pernah diterapkan pengadilan
Australia saat memeriksa kasus ekstradiksi Hendra Rahardja. Prinsip nonrefoulment
ini juga seharusnya diterapkan dalam kaitan penyerahan Hambali kepada Pemerintah AS, sikap Pemerintah
Thailand mengacu perjanjian ekstradiksi
antara kedua negara itu. Namun, Indonesia dan Thailand sebagai sesama negara anggota ASEAN, sikap Pemerintah Thailand
untuk menyerahkan Hambali kepada Pemerintah AS patut disesalkan karena
sebenarnya ASEAN sudah memiliki Joint Security Commission untuk memberantas
terorisme di wilayah ASEAN. secara singkat dapat dikatakan, sikap Pemerintah Thailand itu
tidak sesuai dengan semangat ASEAN (ASEAN Spirit) dalam memerangi terorisme di
wilayah ini. Sebaiknya Pemerintah Indonesia mempertanyakan kembali sikap Pemerintah Thailand, apalagi kedua
negara sudah memiliki perjanjian ekstradiksi sejak Tahun 1978 ( UU RI No
2/1978).
KESIMPULAN
Ketentuan-ketentuan
tentang ekstradiksi menjadi salah satu cara bagi negara untuk melindungi kepentingan
hukum yang menjadi tugasnya, baik itu Kepentingan hukum perorangan, Kepentingan hukum
masyarakat maupun Kepentingan hukum
negara. Perjanjian ekstradiksi
yang dilakukan antar negara harus jelas menyebutkan tindak pidana apa saja yang
diekstradiksi dan beberapa tidak pidana yang dikecualikan untuk diekstradiksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996
HAK.Moch.Anwar.SH,
Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II)
Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994
Lobby Loqman , Penyelesaian
Konflik Politik Tinjauan Historis-Filosofis dan Praktis Pemanfaatan Peradilan
Sebagai Wahana. diskusi sehari
"Peradilan Politik dan Hukum" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Bantuan Hukum dan hak asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Pusat Studi
Kependudukan Universitas Nasional (PSK-UNAS) di Jakarta, 25 Juni 1997.
Loebby
Loqman, Delik Politik di Indonesia,
Ind=Hill-Co, Jakarta, 1993.
R.
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, Politeia, Bogor,
1996
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan
Penjelasannya, Aksara Baru, Jakarta.
1987
Sumiyanto,
Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai
rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir
Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya, Malang 1999.
Web:
Http://www.pikiranrakyat.com.
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 100.
[3] H.A.K.Moch.Anwar, Hukum
Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994,
hal. 13. Lebih jelasnya lihat
pendapat Barda nawawi Arief, yang telah menguraikan hal ini secara panjang
lebar, yang pada intinya menyatakan bahwa perlindungan masyarakat, antara lain
berupa: Perlindungan atas kepentingan masyarakat, Perlindungan terhadap korban, dan Pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di
dalam masyarakat. ibid, hal. 98 – 100
[4] Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1979
[5] Ibid, pasal 2 (1)
[6] Ibid, pasal 3
[7] Ibid pasal 4
[9] ibid
[11] Ibid.
[12]
Antara lain, sehubungan dengan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum,
hak kesamaan didepan hukum , Hak atas peradilan yang efektif oleh
pengadilan-pengadilan nasional yang berwenang atas pemerkosaan hak yang diberikan
oleh hukum atau konstitusi, hak untuk dihilangkan kemerdekaannya dan
sebagainya. Lihat dalam Loebby Loqman, Delik
Politik di Indonesia, Ind=Hill-Co, Jakarta, 1993, hal 53.
[13].Ibid,
hal 54.
[15] Ibid
[16] Lihat Pasal 5 UU
Ekstradiksi.
[17] Lihat Pasal 5 (4)
Pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau
anggota-keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik.
[18] Lobby Loqman, Op.Cit, hal 56. Lihat dalam Lobby Loqman , Penyelesaian Konflik Politik Tinjauan Historis-Filosofis dan Praktis
Pemanfaatan Peradilan Sebagai Wahana.
makalah yang dibawakan oleh Prof Loebby Loeqman pada diskusi sehari
"Peradilan Politik dan Hukum" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Bantuan Hukum dan hak asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Pusat Studi
Kependudukan Universitas Nasional (PSK-UNAS) di Jakarta,. Http://www.hamline.edu, 10-10-2004.
[19] Ibid
[20] Ibid,
27-10-2004. Sebagai pembanding,
penjelasan UU No. 1 tahun 1999 memberikan penjelasan yang menarik: Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam
Masalah Pidana mengatur hak negara-negara pihak terutama Negara Diminta untuk
menolak permintaan bantuan. Hak Negara Diminta untuk memberikan bantuan dapat
bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat
menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada
prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu perjanjian
internasional yang berkaitan dengan proses peradilan pidana antara lain yang
berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar
belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan yang telah kadaluarsa, dan ne bis in idem.
Hak Negara Diminta untuk menolak permintaan
bantuan yang bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip resiprositas. Prinsip
ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana yang disebut
tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara
Diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.
[22] Sumiyanto, Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai
rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir
Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya, Malang 1999, hal. 16.
[24] Lee Kuan Yew (mantan PM
Singapura), Pebruari 2002, menuduh
Indonesia sebagai sarang teroris, karena membiarkan Abu Bakar Ba’asyir
bebas. menyusul penangkapan pria bernama
Umar al-Faruq, 5 Juni 2002, dan pengakuannya di Majalah Time edisi 23 September
2002. Umar al-Faruq mengaku bersama Abu Bakar Ba’asyir merencanakan pembunuhan
Presiden Megawati, pengeboman Natal, pengeboman di Masjid Istiqlal, termasuk
akan menyerang fasilitas AS di Singapura. Di situlah awal mula munculnya
istilah Jamaah Islamiyah (JI). Http://www.swaramuslim.net. 20-12-2004. Time menyebutkan, Al-Farauq (31)
mengakui telah merencanakan aksi pembunuhan Presiden Megawati pada Mei 1999 dan
mengakui juga keterlibatannya dalam
rencana pembunuhan pada Agustus 2001. Http://www.pikiranrakyat.com, 24 06-2003.
0 komentar:
Posting Komentar