Jumat, 06 November 2015

PERLINDUNGAN KEPENTINGAN HUKUM NEGARA MELALUI EKSTRADIKSI



MELONGOK PERLINDUNGAN KEPENTINGAN HUKUM NEGARA MELALUI TINDAKAN EKSTRADIKSI
Oleh : Bayu Dwiwiddy Jatmiko[1]

Abstraksi
Ekstradiksi menjadi salah satu cara bagi negara untuk melindungi kepentingan hukum yang menjadi tugasnya dan pelaksanaannya membutuhkan kerja sama antar negara. Perjanjian ekstradiksi yang dilakukan antar negara harus jelas menyebutkan tindak pidana apa saja yang diekstradiksi dan beberapa tidak pidana yang dikecualikan untuk diekstradiksi.
Kata Kunci: Kepentingan Hukum, Ekstradiksi, tindak Pidana.

Abstraction
Extradition be one way for the state to protect the legal interests of the task and its implementation requires cooperation between countries . Extradition agreement made ​​between countries should clearly mention any criminal offenses that are not criminal extradition and some that are excluded for extradition .
Keywords : Interest Law , extradition , criminal acts .



PENDAHULUAN
Tujuan negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam konteks demikian maka hukum di Indonesia yang berfungsi sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatan telah melalui rentetan sejarah yang panjang,  mengalami perubahan dan perkembangan dari satu cara yang bersifat pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan, berubah menjadi alat untuk: pertama, memberikan perlindungan  kepentingan hukum (korban) dari gangguan kejahatan, yang dilanggar atau dibahayakan; kedua. perlindungan/ pembinaan individu pelaku tindak pidana[2],  Hal ini kemudian  terus berubah dan berkembang kearah fungsi hukum, khususnya hukum sebagai wadah pembinaan untuk menjaga dan mengembalikan ketertiban dan ketentraman dalam tatanan masyarakat.
Mengenai perlindungan kepentingan hukum sebenarnya bukan hanya bagi korban, tetapi yang lebih tepat  yang termasuk disini adalah perlindungan bagi:
-  Kepentingan hukum perorangan
-  Kepentingan hukum masyarakat.
- Kepentingan hukum negara .[3]
Dalam proses perlindungan kepentingan hukum tersebut, Indonesia telah mempunyai UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradiksi. Ekstradiksi merupakan tindakan  penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya[4].
Tulisan ini akan mengkaji bagaimana ketentuan-ketentuan tentang ekstradiksi menjadi salah satu cara bagi negara untuk melindungi kepentingan hukum yang menjadi tugasnya.

KONSEPSI DASAR
Di dalam Pelaksanaannya tindakan Ekstradiksi dapat dilakukan oleh Negara – antar Negara  berdasarkan beberapa hal, yakni:
  1. Ekstradiksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
  2. Dalam hal belum ada perjanjian, maka ekstradiksi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya.[5]
Mereka yang dikenakan tindakan Ekstradiksi, adalah mereka yang telah melakukan berbagai tindak pidana dan telah mempunyai kejelasan atas status yang dimilikinya sebagai pelaku tindak pidana, yakni:
1.      Yang dapat diekstradiksikan ialah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.
2.      Ekstradiksi dapat juga dilakukan terhadap orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 3 ayat (1), sepanjang pembantuan, percobaan, dan permufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradiksi.[6]
Tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradiksi merupakan tindak pidana yang termasuk dalam daftar yang telah disusun oleh Negara-negara peserta perjanjian ekstradiksi, hal tersebut sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 4 UU Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradiksi tersebut, yakni:
1.      Ekstradiksi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
2.      Ekstradiksi dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan dari negara yang diminta terhadap kejahatan lain yang tidak disebut dalam daftar kejahatan.
3.      Dengan Peraturan Pemerintah, pada daftar kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambahkan jenis perbuatan lain yang oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai kejahatan.[7]
Namun tidak setiap tindak pidana dapat dilakukan tindakan ekstradiksi terhadap para pelakunya, Pasal 5 UU Ekstradiksi telah menyebutkan secara garis besar ruang lingkup bidang hokum atas tindak pidana yang dapat dilakukan tindakan ekstradiksi, yaitu:
1.      Ekstradiksi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik.
2.      Kejahatan yang pada hakekatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik.
3.      Terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradiksikan sepanjang diperjanjikan antara negara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
4.      Pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota-keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik.
TINDAK PIDANA YANG DAPAT DIEKSTRADIKSI
Berbagai Tindak pidana tersebut telah diperinci dalam Lampiran UU  Ekstradiksi, yang mana di dalamnya disebutkan jenis pelanggaran hukum yang dapat diserahkan, yakni :
1.      Pembunuhan.
2.      Pembunuhan yang direncanakan.
3.      Penganiayaanyang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yangdirencanakan dan penganiayaan berat.
4.      Perkosaan, perbuatan cabul dengankekerasan.
5.      Persetubuhandengan seorang wanita di luar perkawinan atau perbuatan-perbuatan cabul denganseseorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya atauorang itu belum berumur 15 tahun atau belum mampu dikawin.
6.      Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang yang cukup umur dengan orang lain sama kelaminyang belum cukup umur.
7.      Memberikanatau mempergunakan obat-obat dan atau alat-alat dengan maksud menyebabkan guguratau mati kandungan seorang wanita.
8.      Melarikanwanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengajamelarikan seseorang yang belum cukup umur.
9.      Perdagangan wanita dan perdagangan anaklaki-laki yang belum cukup umur.
10.   Penculikandan penahanan melawan hukum.
11.  Perbudakan.
12.  Pemerasan dan pengancaman.
13.  Meniruatau memalsukan mata uang atau uang kertas negeri atau uang kertas bank ataumengedarkan mata uang kertas negeri atau kertas bank yang ditiru ataudipalsukan.
14.  Menyimpan atau memasukkan uang keIndonesia yang telah ditiru atau dipalsukan
15.   Pemalsuan dan kejahatan yangbersangkutan dengan pemalsuan.
16.  Sumpah palsu.
17.  Penipuan.
18.  Tindak pidana-tindak pidana berhubungdengan kebangkrutan.
19.  Penggelapan.
20.  Pencurian, perampokan.
21.  Pembakaran dengan sengaja.
22.  Pengrusakan barang atau bangunan dengansengaja. 
23.  Penyelundupan.
24.  Setiap tindak kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan kereta api, kapal laut atau kapal terbang dengan penumpang-penumpangnya.
25.  Menenggelamkan atau merusak kapal ditengah laut. 
26.  Penganiayaandi atas kapal di tengah laut dengan maksud menghilangkan nyawa atau menyebabkanluka berat. 
27.  Pemberontakan atau permufakatan untuk memberontak oleh 2 (dua) orang atau lebih di atas kapal di tengah laut menentang kuasanakhoda, penghasutan untuk memberontak.
28.  Pembajakan laut.
29.  Pembajakan udara, kejahatan penerbangandan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
30.  Tindak Pidana Korupsi.
31.  Tindak Pidana Narkotika  dan obat-obatberbahaya lainnya
32.   Perbuatan-perbuatanyang melanggar Undang-undang Senjata Api, bahan-bahan peledak dan bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran
Menurut UU ini pada pokoknya ekstradiksi merupakan penyerahan seorang tersangka atau terpidana yang telah melakukan suatu tindak pidana  diluar negara yang meminta penyerahan, yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. [8].
 Di dalam pasal 2 dari UU ini dijelaskan ada beberapa jenis pelanggaran hukum yang dapat diserahkan oleh suatu negara yang diminta kepada negara yang  meminta penyerahan  Pelanggaran hukum yang dimaksud adalah:
- pelanggaran yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum   Negara yang terikat perjanjian ekstradiksi dengan Indonesia yakni berdasarkan asas tindak pidana ganda (double criminality),
- pelanggaran hukum tersebut diancam dengan pidana penjara lebih dari 1 (satu) tahun atau dengan pidana lebih berat [9].
Secara garis besar di dalam penjelasan pasal 4 UU Ekstradiksi  ini, Negara Diminta boleh menolak untuk menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan pidana yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara lain.
1- tindak pidana yang berlatar belakang politik,
2- tindak pidana militer,
3- penuntutan yang telah kadaluarsa,
4- ne bis in idem.
5- tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta
6-  tindak pidana yang diancam dengan pidana mati[10]:

Sebagai contoh tentang pengaturan lebih lanjut tentang masalah ekstradiksi, misalnya terlihat pada beberapa bagian penting dalam UU No. 1 tahun 2001 Tentang Pengesahan Perjsetujuan  antara pemerintah Republik Indonesia  dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan diri, yang mengatur antara lain mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, sebagai berikut:
1.      Penolakan pemberian bantuan (Pasal 4) Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mengatur hak negara-negara pihak terutama Negara Diminta untuk menolak permintaan bantuan.
2.      Hak Negara Diminta untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak.
3.      Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu perjanjian internasional yang berkaitan dengan proses peradilan pidana antara lain yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan yang telah kadaluarsa, dan ne bis in idem.
4.      Hak Negara Diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.[11]
Contoh lainnya tentang pengaturan lebih lanjut tentang masalah ekstradiksi, misalnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan  Perjanjian Antara Republik IndonesiaDan Australia Mengenai Bantuan Timbal BalikDalam Masalah Pidana (treaty between the republic of indonesia and australia on mutual assistance in criminal matters). Pemerintah Republik Indonesia dan Australia mengadakan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta. Perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama yang efektif dalam rangka penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan antara kedua negara yang meliputi :
a.  pengambilan alat bukti/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang, termasuk pelaksanaan surat rogatoir;
b.  pemberian dokumen dan catatan lain;
c.   lokasi dan identifikasi dari orang;
d.  pelaksanaan permintaan untuk pencarian dan penyitaan;
e.  upaya-upaya untuk mencari, menahan, dan menyita hasil kejahatan;
f.    mengusahakan persetujuan dari orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di Negara Peminta, dan jika orang itu berada dalam tahanan, mengatur pemindahan sementara ke Negara tersebut;
g.  penyampaian dokumen; dan
h.  bantuan lain yang sesuai dengan tujuan Perjanjian ini yang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta.
i.    Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dalam penanggulangan tindak pidana, terutama yang bersifat transnasional, maka pelaksanaan prinsip-prinsip umum hukum internasional yang menitikberatkan pada asas penghormatan kedaulatan hukum dan kedaulatan negara harus mengacu pada asas tindak pidana ganda (double criminality).

AZAS-AZAS EKSTRADIKSI
 Dalam  UU ini  ketentuan ekstradiksi tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia, sehingga amat mempengaruhi pelaksanaan ekstradiksi atas diri seorang penjahat[12]. Hak asasi manusia itu telah mendorong lahirnya beberapa azas-azas ekstradiksi yang berlaku dalam perjanjian antar Negara[13] . Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang ekstradiksi dapat disimpulkan beberapa azas sebagai berikut :
a.        Azas kejahatan rangkap (Double Criminality), yakni perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan (pasal 4);
b.       Azas penolakan terhadap permintaan ekstradiksi penjahat  politik (pasal 5);
c.        Azas untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri kepada Negara peminta (pasal 7);
d.       Azas penolakan ekstradiksi yang dilakukan seutuhnya atau sebagian di wilayah negara yang diminta dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradiksi (pasal 8);
e.        Azas penolakan ekstradiksi jika pejabat yang berwenang dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap seorang penjahat yang bersangkutan (pasal 9);
f.        Azas Ne Bis In Idem (pasal 10);
g.       Azas untuk tidak menahan, menuntut atau memidana atas kejahatan lain, kecuali kejahatan dimana penjahat tersebut diminta ekstradiksi kecuali negara yang diminta tersebut menyetujuinya (pasal 15)[14].

Omar Seno Aji  menyatakan azas-azas ekstradiksi diberikan penekanan kepada empat azas yakni :
a.       Azas “Double Criminality”, yakni kejahatan rangkap, bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara yang minta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai suatu kejahatan;
b.      Azas bahwa negara yang diminta berhak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri;
c.       Azas bahwa jika suatu kejahatn tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai suatu kejahatan politik, maka permintaan ekstradiksi ditolak;
d.      Azas bahwa suatu kejahatan yang seluruhnya atau sebagian diwilayah yang termasuk dalam yuridiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradiksi ini[15]

DELIK POLITIK  TIDAK DAPAT DIEKSTADISI
Hal yang perlu di garis bawahi, bahwa terhadap delik politik  tidak dapat diekstadisi, ini sehubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian kejahatan politik[16]. Pasal 5 UU Ekstradiksi mengatur sebagai berikut:
(1) Ekstradiksi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik.
(2) Kejahatan yang pada hakekatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik.
(3) Terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradiksikan sepanjang diperjanjikan antara negara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Pengecualian terhadap tidak dapat diserahkannya seorang penjahat politik dari negara yang diminta kepada negara peminta adalah apabila terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara  atau anggota keluarganya [17]. Karena perbuatan tersebut dianggap bukan sebagai kejahatan politik, meskipun hal sedemikian mungkin terjadi dengan latar belakang atau tujuan-tujuan politik.
Penjelasan  pasal 5 Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradiksi menyebutkan[18].:
“Kejahatan yang diatur dalam ayat (4) itu sebetulnya merupakan suatu kejahatan politik yang murni, tetapi karena kejahatan tersebut dianggap sangat dapat menggoyahkan masyarakat dan negara, maka untuk kepentingan ekstadisi dianggap tidak merupakan kejahatan politik. Hal ini merupakan  ‘Attentat-Clause’ yang dianut pula oleh Indonesia”
Lobby Loqman menjelaskan bahwa “Attentat-Clause” yang memandang makar terhadap Presiden/Raja dianggap bukan sebagai delik politik, berasal dari Belgia. Pada waktu ada percobaan pembunuhan terhadap Napoleon III oleh Jaguin, yang kemudian melarikan diri ke Belgia dan pemerintah Perancis meminta diekstradiksinya penjahat tersebut. Selanjutnya Belgia menambahkan klausula baru dalam undang-undang ekstradiksinya yang kemudian dikenal dengan “Attentat-clausule” tahun 1833.  Lebih jauh Lobby Loqman menyatakan, bahwa “Sejauh ini dalam perundang-undangan hukum pidana, khususnya yang termuat dalam suatu kodifikasi (umpamanya KUHP) tidak secara nyata memberikan latar belakang terhadap perbuatan di bidang politik
Memang ada beberapa pengecualian dalam masalah ekstradiksi terhadap pelaku kejahatan politik [19] Dalam hal ini Hazewinkel-soeringa,  melakukan pengelompokan terhadap sikap beberapa negara dalam melakukan tindakan terhadap apa yang dimaksud dengan delik politik menjadi empat teori. Keempat teori tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Teori obyektif, atau juga disebut sebagai teori absolut. Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap negara dan lembaga-lembaga negara.
2.      Teori Subyektif atau teori relatif. Pada dasarnya semua perbuatan yang dilakukan dengan berlatar belakang atau bertujuan politil adalah suatu delik politik.
3.      Teori Predominan. Teori ini membatasi pengertian yang luas terhadap delik politik, terutama teori relatif. Dalam teori ini dicari perbuatan apa yang paling dominan. Apabila yang dominan adalah kejahatan umum, perbuatan itu bukan termasuk delik politik.
4.      Teori `Political Incident`. Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik. Perlu diperhatikan dalam uraian tentang teori-teori di atas, bahwa teori tersebut merupakan hasil klasifikasi suatu keadaan, jadi sifatnya adalah empiris. Bukan dibentuk suatu teori dan diterapkan teori-teori itu, akan tetapi bagaimana negara-negara melihat suatu perbuatan sebagai suatu delik politik, barulah dilakukan klasifikasi. Sebagai umpama dapat dilihat ketentuan yang ada di Indonesia. [20].
Pengecualian dalam masalah ekstradiksi terhadap pelaku kejahatan politik ini sesuai dengan persetujuan antara negara yang bersangkutan. Dimana secara universal bahwa penjahat politik adalah nonekstradiksi. Karena  masalah ekstradiksi merupakan salah satu kekhususan lain dari delik politik  Sebagai contoh, dalam persetujuan ekstradiksi antara Indonesia dan Malaysia, meskipun pada hakekatnya pelaku kejahatan politik nonekstradiksi, akan tetapi terhadap pembunuhan presiden, masih dimungkinkan adanya ekstradiksi, tanpa melihat latar belakang serta tujuan perbuatan itu.
Dalam kepustakaan hukum, kejahatan politik ternyata  harus dibedakan antara kejahatan yang ditujukan kepada pemerintah dengan kejahatan yang diilakukan oleh pemerintah.  Tentang hal itu perlu dikemukakan pendapat yang menyatakan:
Kejahatan terhadap pemerintah dapat berupa suatu kekerasan  yang merupakan protes atas kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintah,  keinginan merubah struktur pemerintah di luar konstitusi dan sebagainya. Sedangkan kejahatan yang dilakukan pemerintah dapat berupa serangan atau ancaman terhadap hak-hak  azasi warga, perbuatan kejahatan yang bertalian dengan penyalah gunaan suatu wewenang dan sebagainya.[21]    

Dari situ  terlihat bahwa kejahatan politik bisa dilakukan oleh siapa saja  dan dalam berbagai bentuk kejahatan, baik oleh rakyat sebagai warga negara maupun oleh pemerintah sebagai penguasa negara, dalam lingkup satu negara nasional ataupun yang mempunyai dimensi antar negara/ internasional, yang  mengancam berbagai sendi kelangsungan kehidupan bernegara..
Dalam konteks negara nasional, menurut  Sumiyanto, kejahatan politik antara lain  berupa:
1. Pengkhianatan (pelanggaran tugas kesetiaan)
2. Penghasutan (provokator/ penganjur)
3. Makar terhadap kepala Negara.
4. Bergabung dengan musuh
5. Pemberontakan
6. Penculikan
7. Penyerangan
8. kegiatan mata-mata
9. Kerusuhan (gangguan dengan kekerasan/ ancaman kekerasan)
10. Permusuhan antar ras/ suku/ penganut agama
11. Pengrusakan barang-barang untuk kepentingan umum
12. Fitnah terhadap pejabat pemerintah. [22]

Sedangkan dalam konteks kejahatan internasional, menurut   Sumiyanto  dengan mengutip pendapat M. Cherif Bassiouni,  kejahatan politik  antara lain  berupa:  
1.  Piracy (Pembajakan ka[al laut)
2. Hijacking (Pembajakan pesawat terbang)
3. Teroris (Penggunaaan kekerasan untuk tujuan politik)
4. Sabotase  ( perbuatan yang menyebabkan kerusakan atau gangguan).
5. Genocide (pemusnahan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok agama)
6. Hostages (penyanderaan)
7. Misuse of Drugs (Penyalahgunaan obat)
8. Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan)
9. Apartheid ( tindakan kekerasan atas dasar perbedaan ras, warna kulit atau asal kebangsaan).[23]
BEBERAPA PENERAPAN UU EKSTRADIKSI
 Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti Undang-undang No.1 tahun 1979  tentang ekstradiksi antara lain:
1.      Undang-undang No. 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradiksi antara Pemerintah indonesia dengan Pemerintah Malaysia,
2.      Undang-undang No. 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradiksi antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Thailand.
3.      Undang-undang  No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradiksi antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah Australia dan Undang-undang No. 1 tahun 1999 Tentang Pengesahan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta
4.      Undang-undang No. 1 tahun 2001 Tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997 di Hongkong, dsb.
Berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian ekstradiksi di atas, ada kasus yang menarik untuk disimak misalnya  kasus ekstradiksi terhadap Umar al. Faruq [24],  yang dituduh  bersama-sama dengan ustad Abu Bakar ba”asyir terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap presiden Megawati Soekarno  Putri. Dalam  kasus Umar al Faruq  yang juga berkaitan dengan masalah ekstradiksi atas Hambali oleh pemerintah Negara Thailand ke Negara Amerika Serikat, maka  Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid menilai:
“Pemeritahan Megawati tak berdaya dan selalu mengikuti skenario AS dalam menghadapi isu melawan terorisme. Pemerintah sangat lemah dan tidak memiliki pendirian dan sikap tegas soal teroris. Contohnya,  dalam kasus Umar Al-Faruq dan Hambali keduanya ditangkap dan dibawa ke Amerika. Ketika pemerintah mau memeriksa keduanya, lalu dipersulit dengan alasan tidak memiliki perjanjian ekstradiksi dengan negeri Paman Sam tersebut. Ini kan lucu. Kalau memang tidak memiliki perjanjian ekstradiksi mengapa Hambali yang notebene warganegara RI ditangkap dan langsung dibawa ke negara mereka. Lalu kita mau memeriksanya pun dipersulit. Sangat aneh. Dalam beberapa bagian, pemerintahan Megawati hanya mengikuti alur yang dimainkan Amerika. Pemerintah, akhirnya tidak tampil sebagai negara yang berdaulat “.[25]
Dari itu, perlu mendapat perhatian dalam masalah ekstradiksi adalah subyek-subyek dalam pelaksanaan ekstradiksi. Disamping Negara Peminta  ekstradiksi  sebagai salah satu subyek dan Negara Diminta untuk menyerahkan pelaku tindak pidana sebagai subyek lainnya, masih ada kemungkinan subyek  ketiga yakni negara dimana pelaku tindak pidana menjadi warga negara.  Karenanya penting untuk dipahami bahwa tiap negara memiliki hak ekstradiksi, yakni untuk mengekstradiksi seorang tersangka ke negara mana saja yang dikehendaki (state-sovereignty).
Di sisi lain perlu diingat, prinsip itu masih ada rambu pembatasnya, yaitu diakuinya prinsip nonrefoulment sebagai salah satu prinsip penting hukum internasional tentang ekstradiksi, Prinsip itu menegaskan, suatu negara tidak dapat menyerahkan seseorang meski atas permintaan negara asal orang itu jika dengan penyerahan itu orang bersangkutan akan diperlakukan bertentangan dengan due process of law atau diadili oleh suatu proses peradilan yang unfair, impartial, dan diskriminatif berdasar agama, ras, dan etnis.
Prinsip nonrefoulment ini pernah diterapkan pengadilan Australia saat memeriksa kasus ekstradiksi Hendra Rahardja. Prinsip nonrefoulment ini juga seharusnya diterapkan dalam kaitan penyerahan Hambali kepada Pemerintah AS, sikap Pemerintah Thailand  mengacu perjanjian ekstradiksi antara kedua negara itu. Namun, Indonesia dan Thailand sebagai sesama negara anggota ASEAN, sikap Pemerintah Thailand untuk menyerahkan Hambali kepada Pemerintah AS patut disesalkan karena sebenarnya ASEAN sudah memiliki Joint Security Commission untuk memberantas terorisme di wilayah ASEAN. secara singkat dapat dikatakan, sikap Pemerintah Thailand itu tidak sesuai dengan semangat ASEAN (ASEAN Spirit) dalam memerangi terorisme di wilayah ini. Sebaiknya Pemerintah Indonesia mempertanyakan kembali sikap Pemerintah Thailand, apalagi kedua negara sudah memiliki perjanjian ekstradiksi sejak Tahun 1978 ( UU RI No 2/1978).
KESIMPULAN
Ketentuan-ketentuan tentang ekstradiksi menjadi salah satu cara bagi negara untuk melindungi kepentingan hukum yang menjadi tugasnya, baik itu Kepentingan hukum perorangan, Kepentingan hukum masyarakat maupun  Kepentingan hukum negara. Perjanjian ekstradiksi yang dilakukan antar negara harus jelas menyebutkan tindak pidana apa saja yang diekstradiksi dan beberapa tidak pidana yang dikecualikan untuk diekstradiksi.





DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996
HAK.Moch.Anwar.SH, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994
Lobby Loqman , Penyelesaian Konflik Politik Tinjauan Historis-Filosofis dan Praktis Pemanfaatan Peradilan Sebagai Wahana.   diskusi sehari "Peradilan Politik dan Hukum" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan hak asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Pusat Studi Kependudukan Universitas Nasional (PSK-UNAS) di Jakarta, 25 Juni 1997.
Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Ind=Hill-Co, Jakarta, 1993.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  serta Komentar-Komentarnya  Lengkap Pasal  Demi Pasal, Politeia, Bogor,  1996
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, Aksara Baru, Jakarta. 1987
Sumiyanto, Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir  Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya.  Universitas Brawijaya, Malang 1999.


Web:
Http://www.pikiranrakyat.com.




[1] Dosen Kopertis wilayah 7 Surabaya DPK pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang,
[2] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996,  hal 100.

[3] H.A.K.Moch.Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 13. Lebih jelasnya lihat pendapat Barda nawawi Arief, yang telah menguraikan hal ini secara panjang lebar, yang pada intinya menyatakan bahwa perlindungan masyarakat, antara lain berupa: Perlindungan atas kepentingan masyarakat,  Perlindungan terhadap korban, dan  Pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. ibid, hal. 98 – 100
[4] Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1979
[5] Ibid, pasal 2 (1)
[6] Ibid, pasal 3
[7] Ibid pasal 4
[8]Dalam. Http://www.geocities.com, 5-01-2005.
[9] ibid
[11] Ibid.
[12]  Antara lain, sehubungan dengan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak kesamaan didepan hukum , Hak atas peradilan yang efektif oleh pengadilan-pengadilan nasional yang berwenang atas pemerkosaan hak yang diberikan oleh hukum atau konstitusi, hak untuk dihilangkan kemerdekaannya dan sebagainya. Lihat dalam Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Ind=Hill-Co, Jakarta, 1993, hal 53.

[13].Ibid, hal 54.

[14] Ibid.
[15] Ibid
[16] Lihat Pasal 5 UU Ekstradiksi.
[17] Lihat Pasal 5 (4) Pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota-keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik.
[18]  Lobby Loqman, Op.Cit, hal 56. Lihat dalam Lobby Loqman , Penyelesaian Konflik Politik Tinjauan Historis-Filosofis dan Praktis Pemanfaatan Peradilan Sebagai Wahana.   makalah yang dibawakan oleh Prof Loebby Loeqman pada diskusi sehari "Peradilan Politik dan Hukum" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan hak asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Pusat Studi Kependudukan Universitas Nasional (PSK-UNAS) di Jakarta,. Http://www.hamline.edu, 10-10-2004.
[19] Ibid
[20] Ibid, 27-10-2004.  Sebagai pembanding,  penjelasan UU No. 1 tahun 1999 memberikan penjelasan yang menarik: Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mengatur hak negara-negara pihak terutama Negara Diminta untuk menolak permintaan bantuan. Hak Negara Diminta untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu perjanjian internasional yang berkaitan dengan proses peradilan pidana antara lain yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer, penuntutan yang telah kadaluarsa, dan ne bis in idem.
Hak Negara Diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak berlandaskan prinsip resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.


[21]  Loebby Loqman,  Op.Cit,  hal. 52.

[22] Sumiyanto, Laporan Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir  Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya.  Universitas Brawijaya, Malang 1999, hal. 16.

[23] Ibid, hal. 17.
[24] Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura), Pebruari 2002,  menuduh Indonesia sebagai sarang teroris, karena membiarkan Abu Bakar Ba’asyir bebas.  menyusul penangkapan pria bernama Umar al-Faruq, 5 Juni 2002, dan pengakuannya di Majalah Time edisi 23 September 2002. Umar al-Faruq mengaku bersama Abu Bakar Ba’asyir merencanakan pembunuhan Presiden Megawati, pengeboman Natal, pengeboman di Masjid Istiqlal, termasuk akan menyerang fasilitas AS di Singapura. Di situlah awal mula munculnya istilah Jamaah Islamiyah (JI). Http://www.swaramuslim.net. 20-12-2004. Time menyebutkan, Al-Farauq (31) mengakui telah merencanakan aksi pembunuhan Presiden Megawati pada Mei 1999 dan mengakui  juga keterlibatannya dalam rencana pembunuhan pada Agustus 2001. Http://www.pikiranrakyat.com, 24 06-2003.

0 komentar:

Posting Komentar