Jumat, 30 Oktober 2015

Melihat Mimpi Buruk Sengketa Hasil Pemilu Legislatif 2009

Melihat Mimpi Buruk Sengketa Hasil Pemilu Legislatif 2009
Oleh: Bayu Dwiwiddy Jatmiko
Email: bayu.dj15@yahoo.com

Abstraksi
Pelaksanaan Pemilihan Umum sebagai cerminan kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sering mencuatkan sengketa  yang berkaitan dengan perselisihan tentang hasil pemelihan umum,  bagaikan  mimpi buruk yang pernah dikuatirkan terjadinya, yang di picu oleh adanya kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon, dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Sengketa tersebut harus diputuskan oleh Mahkamah konstitusi, dan  apapun isi putusannya, ia adalah bukti indahnya perbedaan kehidupan demokrasi.
Kata kunci: Sengketa PHPU, Pemilihan Umum, Legislatif.

Pendahuluan
Di tahun- tahun awal berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK),  Refly Harun (salah seorang Asisten Hakim Konstitusi) pernah menulis tentang kemungkinan membeludaknya sengketa atau perselisihan hasil pemilu yang bakal diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan hal tersebut disampaikan kepada salah seorang Kolega hakim konstitusi yang membaca tulisannya, mendiskusikannya sehingga beliau berkomentar, "Bagi saya, ini bukan bayangan, tetapi mimpi buruk!".[1]
Berkaitan dengan pemilu yang memilih anggota Legislatif,  Presiden Susilo bambang Yudhoyono beberapa waktu setelah dilaksanakannya Pemilu legislative tahun 2009 pernah menyampaikan, “Saudara-saudara seluruh Rakyat Indonesia yang saya cintai, di manapun saudara berada. Ketika saya menyampaikan pidato ini, tepat satu minggu setelah dilakukan Pemungutan Suara Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 yang lalu. Alhamdulillah, pelaksanaan pemungutan suara yang dilaksanakan relatif serentak di seluruh tanah air, secara umum berlangsung aman, tertib dan lancar. Untuk itu semua, selaku Kepala Negara, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak, utamanya seluruh rakyat Indonesia, yang memiliki semangat dan kesadaran yang tinggi untuk menyukseskan Pemilu 2009 ini ”.[2]  Benarkan demikian pelaksanaannya?
Di sisi lain penyelenggaraan pemilu dinilai kalangan LSM yang tergabung dalam Pokja Pemantau Penyelenggara Pemilu (P4) sangat buruk. Pemilu 2009 kali ini juga masih meninggalkan berbagai kontroversi dan permasalahan klasik. Mulai dari terutama yang berhubungan dengan penyusunan daftar pemilih tetap [3], semakin banyaknya calon wakil rakyat yang membuat kertas untuk Pemilu contreng semakin besar sehingga membuat rakyat semakin kesulitan dan bingung untuk memilih, sampai proses penghitungan suara rakyat hasil Pemilu yang lama selesai dan kemungkinan menimbulkan sengketa hasil pemilu. Pertanyaan yang dapat diajukan, apakah hal tersebut merupakan salah satu  kenyataan dari  mimpi buruk  di awal tulisan ini?

Dasar Pengaturan
Pada tataran pengaturan berdemokrasi, Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara yang telah mempunyai berbagai aturan yang cukup lengkap tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum (pemilu). Dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama hingga ke empat dapat kita baca berbagai ketentuan tentang Pemilu, antara lain pemilu untuk memilih anggota DPR (pasal 19), anggota DPD (pasal 22 C), presiden  dan wakil presiden (pasal 6A),  Kepala daerah (pasal 18 ayat 4) maupun anggota DPRD ( pasal 18 ayat 3), penyelenggara pemilu seperti  KPU (pasal 22E ayat 5) dan sebagainya.
Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, pada masa sekarang  kemudian ditindak lanjuti dengan UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,  UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden  dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Termasuk yang perlu dicermati adalah yang terkait dengan kewenangan MK, Pasal 24C (1)  UUD 1945 menyebutkan, “           Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk … dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Yang kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Pelaksanaan  Dan Sengketa Pemilu 2009
Berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, sampai dengan tahun 2002 yakni selesainya perubahan ke empat terhadap UUD 1945, pernah disinyalir bahwa dari delapan (8) kali Pemilu yang telah dilaksanakan Indonesia (Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), ada dua Pemilu yang dinilai paling demokratis oleh political scientists sepanjang sejarah pemilu Indonesia, yakni Pemilu 1955 dan Pemilu 1999.[4]
Dari dua pemilu yang paling demokratis ini, dilihat dari proses pemilihan, kedua-duanya dianggap sama demokratisnya. Namun kalau dilihat dari sistemnya, Pemilu 1955 lebih maju selangkah karena telah mengadopsi varian pemilu langsung, terlihat bahwa  Pemilu 1955, di ikuti sejumlah partai dan peserta perorangan untuk anggota DPR dan anggota Konstituante. Karena ada figur (orang) yang dipilih secara langsung. Sedangkan dalam  Pemilu 1999 diikuti oleh  partai dan pemilih hanya memilih partai, bukan orang.
Sedangkan setelah tahun 2002, yakni setelah  perubahan ke empat terhadap UUD 1945, telah diselenggarakan   2 kali pemilu yaitu tahun 2004 dan tahun 2009.   Pemilu pada tahun 2004 dan 2009 ada dua tahap. Tahap pertama untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tahap kedua untuk pemilihan Presiden. Pemilihan pada tahap pertama belum merupakan Pemilu langsung yang murni, namun sistem yang diadopsi jauh lebih maju dari Pemilu 1955 (dilihat dari sistem pemilihan/voting). Sementara itu, untuk pemilihan tahap kedua (Presiden) adalah pemilihan langsung yang murni. Di luar tahapan tersebut dalam waktu yang berbeda-beda dilaksanakan pemilu  untuk memilih Kepala daerah propinsi, daerah dan kota.
Jika tahapan tersebut berjalan lancar dan kecurangan-kecurangan atau pelanggaran-pelanggaran pemilu tidak signifikan, maka Pemilu 2004 adalah pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Karena kemudian  memunculkan gagasan untuk pemilu kepala daerah secara langsung, yang kemudian berhasil dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya dengan segala hiruk pikuknya.
Pemilu 2009, boleh disebut pemilu paling kacau. sebab banyak warga indonesia yang berhak memilih, tapi akhirnya tidak bisa karena tidak masuk Daftar Peserta Tetap (DPT). padahal mereka sebelumnya telah mencoblos.  Sebagaimana yang disinyalir oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie bahwa "Pemilu 2009 ini paling kacau karena paling sulit. Diantaranya terlihat dengan banyaknya warga yang tidak tercatat dalam DPT sehingga kehilangan hak pilihnya,".[5]  Kesulitan yang dihadapi KPU sebagai penyelenggara pemilu disebabkan oleh jumlah peserta dan calon pemilih yang sangat banyak
Pada pemilu 2004, KPU telah menetapkan  24 partai politik sebagai peserta pemilu 2004. Jumlah pemilih ditetapkan dalam SK KPU No 44/2004, yang tercakup dalam DPT sebanyak 153,312 juta orang. Mereka tersebar di 32 provinsi dengan 440 kabupaten/kota, yang terdiri atas 5.108 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 70.669 Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan 567.717 tempat pemungutan suara (TPS). [6]
Sedangkan pada Pemilu 2009, KPU telah menetapkan 34 partai politik sebagai peserta Pemilu 2009, plus 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dari ke-34 itu, 18 di antaranya adalah partai politik baru.[7] Jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 ditetapkan sebesar 171.068.667 orang. Jumlah itu berasal dari pemilih dalam negeri dari 33 provinsi sebesar 169.558.775 orang dan pemilih luar negeri dari 117 perwakilan Indonesia di luar negeri sebanyak 1.509.892.[8] Berdasarkan SK KPU No 2 Tahun 2009, yang menyebutkan jumlah TPS untuk Pemilu 2009 berjumlah 527.344 TPS untuk dalam negeri dan 873 TPS untuk luar negeri
Jumlah caleg DPR RI untuk pemilu 2009 sebanyak 11.219 orang. Padahal jumlah kursi yang tersedia hanya 560. Artinya, hanya 5% orang saja yang nantinya akan terpilih dan berkantor di Senayan. bagaimana nasib dari 95% caleg lainnya? Padahal mereka sudah spent dana milyaran rupiah untuk kampanye!  Bagaimana efeknya?
Pasca pemilu 2004, Ketua MK Jimly Asshidiqqie  menyebutkan bahwa MK menangani 257 kasus [9],  selebihnya ada permohonan yang pada saat registrasi ditolak atau tidak dapat diterima. Pada Pemilu 2004, penetapan hasil pemilu dilakukan terpusat. Penetapan hasil pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, dan presiden/wakil presiden dilakukan oleh KPU (pusat) sehingga pihak yang diperkarakan di MK juga hanya satu, yaitu KPU [10].
Sedangkan untuk pemilu 2009, mantan Ketua MK  Jimly Asshiddiqie, pernah memperkirakan sengketa perselisihan hasil Pemilu 2009 akan lebih rumit dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2004. Salah satu penyebabnya adalah perubahan ketentuan tentang penetapan hasil pemilu dalam RUU Penyelenggara Pemilu yang disahkan pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu. RUU Penyelenggaraan Pemilu mengatur tata cara penetapan hasil pemilihan secara bertingkat-tingkat atau berjenjang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota dapat menetapkan hasil pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Adapun KPU provinsi dapat menetapkan hasil pemilihan DPRD provinsi[11].

Mengkaji Kenyataan Mimpi Buruk
Di Tahun 2004 itu, Refly Harun memperkirakan  sengketa atau perselisihan hasil pemilu yang bakal diajukan ke MK,  dengan asumsi bahwa  jumlah daerah pemilihan (DP) untuk kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebanyak 1.968 (masing-masing 69, 208, dan dan 1.691), seandainya muncul satu saja sengketa hasil pemilu di masing-masing DP, maka MK akan menuai 1.968 permohonan. Ditambah permohonan dari calon anggota DPD yang gagal terpilih (32 provinsi masing-masing 'menyumbang' satu sengketa), semuanya menjadi genap 2.000 permohonan (dalam persidangan di MK tidak dikenal istilah "gugatan" melainkan "permohonan"). Masalah bakal makin bertambah-tambah seandainya para calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kalah juga berbondong-bondong mengajukan permohonan. Permohonan itu harus diputus dalam jangka waktu 30 hari. Dengan demikian, setiap hari setidaknya harus diputus 66 kasus!
Padahal, jumlah hakim MK dibatasi sembilan saja, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Setiap putusan atas sebuah permohonan harus melalui pintu sembilan hakim ini dan dibacakan dalam suatu persidangan terbuka yang juga dihadiri kesembilan hakim. Bisa dibayangkan bagaimana bakal limbungnya institusi MK menangani sengketa hasil pemilu itu.
Bagaimana sebenarnya MK akan menangani permohonan PHPU ? Ketua MK Mahfud MD,  menyampaikan bahwa semua keputusan, akan didasarkan pada semua bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. "Kalau dalam fakta persidangan sudah tersingkir, ya harus tersingkir," MK, menurut Mahfud, sudah memiliki parameter-parameter saat memutuskan suatu perkara. Putusan MK tidak akan bisa menolong orang yang tidak bisa ditolong. Tetapi tidak juga bisa menyingkirkan orang yang tidak bisa disingkirkan dalam proses perkara.
Untuk itu setiap pemeriksaan sengketa PHPU, akan berusaha mengkaji semua alat bukti yang ada. Dengan merujuk kepada pasal  36 UU No 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi, dapat diketahui bahwa alat bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.dan ditentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan di MK  alat bukti  yang dapat diketengahkan adalah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Pada kesempatan lain beliau menyampaikan, “Kalau terjadi sengketa pemilu, MK akan menyelesaikan peradilannya secara transparan. Proses pembuktian dan penilaian atas bukti-bukti akan terbuka untuk umum, sehingga masyarakat maupun partai politik tidak perlu khawatir akan terjadi kekeliruan yang disengaja oleh MK saat mengambil keputusan”.[12] Yang mana dalam pelaksanaannya semua didukung oleh kesolidan para hakim konstitusi dan kelengkapan berbagai fasilitas pendukung.
Di tahun 2009, Kenyataannya sampai pada tanggal 19 Mei 2009 saat MK mulai menyidangkan 16 sengketa perselisihan tentang  hasil pemilihan umum (PHPU) di gedung MK, telah ada  620 permohonan  yang diajukan ke MK[13].
Gugatan partai politik dan calon anggota DPRD terhadap hasil perhitungan suara anggota DPR, DPD dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada pemilu 2009 mencapai 64 perkara meningkat 20 perkara dibanding Pemilu 2004 hanya 44 perkara. tahun ini perkara yang masuk berasal dari 40 parpol, 17 parpol lebih banyak dibanding sebelumnya yang hanya 23 parpol. Gugatan dari calon anggota DPD tercatat 24 perkara, tiga perkara lebih banyak ketimbang saat Pemilu 2004. Gugatan perkara itu diajukan 36 parpol nasional dan empat parpol lokal Aceh yakni Partai Bersatu Aceh, Partai Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Daulat Aceh. Sedangkan partai yang tidak mengajukan gugatan meliputi Partai Serikat Indonesia dan Partai Buruh, Partai Rakyat Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Gugatan perkara, berbeda dengan kasus karena satu parpol atau calon DPD bisa saja mengajukan lebih dari satu kasus misalnya calon legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diajukan 45 kasus. Gugatan yang dominan dilakukan parpol dan calon DPD di antaranya soal penggelembungan suara atau penggembosan suara, penetapan calon, peringkat anggota DPD dan perbedaan dua surat suara resmi KPU dan suara tertukar[14]
Sebenarnya pencegahan terhadap membludaknya permohonan sengketa PHPU yang terkait dengan pemilu legislatif di MK pada dasarnya dapat dilakukan dengan berpijak pada ketentuan dalam 74 UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi, yakni:
  1. pada ayat (1), Permohonan penyelesaian PHPU di MK,  hanya dapat diajukan oleh calon anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) peserta pemilihan umum dan Partai Politik peserta pemilihan umum;
  2.  pada ayat (2), Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD dan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan;
  3. pada ayat (3), Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Permohonan penyelesaian PHPU didasarkan pada pokok perkara  yang menguraikan dengan jelas tentang adanya :
1.      kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon
2.      permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.[15]
Dalam kenyataannya permohonan PHPU tersebut antara lain diajukan oleh :
1.      Partai kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), merasa kehilangan 20 suara.
2.      Partai Pemuda Indonesia (PPI) mengklaim kehilangan 3.010 suara di tiga daerah, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara.
3.      Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) menggugat penetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Banyuasin.
4.      Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagian perolehan suara calegnya lenyap. Di Provinsi Bangka Belitung (Babel) dirugikan terkait selisih penghitungan suara. Terjadi selisih penghitungan suara yang dilakukan saksi PDIP dengan penghitungan suara yang dilakukan pihak PPK di Sungailiat, Kabupaten Bangka. Berdasarkan penghitungan saksi PDIP dengan PPK, ditemukan selisih 617 suara yang seharusnya masuk ke kantung PDIP, tetapi justru tersedot ke Partai Demokrat. Akibat selisih suara tersebut, salah seorang caleg PDIP di Kabupaten Bangka gagal memperoleh kursi yang hanya selisih suara sebanyak 186 suara dengan caleg Demokrat.
5.      Permohonan terkait peringkat calon anggota DPD, yang ingin mengamankan posisinya dengan menggugat peringkat calon anggota DPD lainnya.
Terhadap berbagai permohonan PHPU tersebut ada tiga kemungkinan putusan yang akan dikeluarkan oleh MK, yaitu:
  1. Permohonan tidak dapat diterima, apabila pemohon dan/ atau permohonannya tidak memenuhi syarat. Di sini pemohon tidak mempunyai legal standing  atau permohonannya tidak didukung alat bukti permulaan yang cukup.
  2. permohonan dikabulkan, apabila permohonannya terbukti beralasan,  Jika dikabulkan maka ada dua hal yang dilakukan MK, yakni pertama, membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh  KPU, dan kedua, menetapkan hasil perhitungan suara  yang benar.
  3. permohonan ditolak,  apabila permohonan tidak terbukti beralasan, di sini para pemohonnya tidak berhasil meyakinkan dengan alat-alat bukti yang ada bahwa dalil dan argumen permohonan yang diajukan tidak kuat.
Meski permohonan yang akan disidangkan tidak kurang dari 620, MK akan tetap bersidang sesuai jadwal dan berusaha untuk menyelesaikan dalam tenggang waktu 30 hari. Pemohon dan termohon harus  mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara persidangan. Semua keputusan akan didasarkan pada semua bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.[16]
Penting kiranya untuk mengingat penganagan atas PHPU pada  masa lalu. flash back pada sengketa hasil Pemilu 2004 pernah di sampaikan J Januari Sihotang,  yakni  MK telah memutus 252 perkara yang diajukan oleh partai politik, 23 perkara yang diajukan oleh calon anggota DPD, dan sebuah perkara yang diajukan oleh pasangan calon presiden/ calon wakil presiden. Putusan MK terhadap 252 perkara yang diajukan partai-partai politik itu terbagi kepada empat jenis, permohonan dikabulkan sebanyak 41 perkara (14, 96%), permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49, 27%), permohonan tidak dapat diterima sebanyak 89 perkara (32, 48%) dan 9 perkara (3, 28%) ditarik kembali oleh pemohon. 
Data ini antara lain menunjukkan bahwa setengah lebih partai politik yang menjadi pemohon tidak memiliki dalil yang dapat dibuktikan dalam sidang. hanya 15% pemohon yang benar-benar memenuhi semua persyaratan agar permohonan diterima, termasuk memiliki dalil yang dapat dibuktikan di dalam sidang. Putusan MK terhadap perkara yang diajukan oleh partai politik telah membawa implikasi terhadap perolehan kursi DPR oleh partai politik dimana terdapat partai politik yang kehilangan kursi, seperti Partai Golkar (kehilangan 1 kursi DPR) dan Partai Demokrat (kehilangan 2 kursi DPR), di sisi lain terdapat partai politik yang mendapat tambahan kursi, seperti Partai Bintang Reformasi (tambahan 1 kursi DPR) dan Partai Pelopor (tambahan 2 kursi DPR).  Dari 23 perkara yang diajukan oleh anggota DPD hanya 1 perkara yang dikabulkan permohonannya oleh MK dan mempengaruhi penetapan calon angota DPD, yakni permohonan Achmad Chalwani dari Provinsi Jawa Tengah yang menyebabkan perubahan posisi dimana Acmad Chalwani terpilih menjadi anggota DPD menggantikan Dahlan Rais [17]


Kesimpulan
Dari apa yang telah diketengahkan di atas, senyatanya banyaknya permohonan penyelesaian atas sengketa PHPU, bukanlah sepenuhnya sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan, melainkan cenderung menunjukkan sebuah dinamika yang indah dari kehidupan sebuah Negara demokrasi, yang masih dalam koridor untuk menciptakan tatanan pengelolaan kehdupan bernegara yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Perundang-undangan:
UUD 1945 hasil perubahan pertama hingga ke empat

UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi

UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik

UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden 


Web Site:

http://sekilasindonesia.com 
http://www.kpu.go.id
http://forum-politisi.org
http://www.analisadaily.com
http://www.koranindonesia.com





[1] Refly harun. Mimpi Buruk Sengketa Hasil Pemilu  http://reflyharun.blogspot.co.id  acces 21 Maret 2009

[2] Basuki Suhardiman. Pidato SBY, http://permalink.gmane.org. Acces 30 Mei 2009
[3] http://sekilasindonesia.com, 3 – 6 – 2009 

[4] Sebagai catatan: Pemilu 1955 diikuti  172 Kontestan dan partai Politik, Pemilu 1971 diikuti 10 kontestandan partai politik, Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 diikuti 3 kontestan dan  partai politik yang sama, Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik, pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan pemilu 2009 diikuti 44 Partai politik.
[6] Kompas, 20 September 2004.
[7] Lihat posting Jumlah Partai Politik Pemilu 2009 oleh KPU
[9] http://www.tempo.co.id/11-05-2004, lihat pula: Mahkamah Konstitusi (MK) memperkirakan jumlah gugatan yang akan diterima nantinya sekitar 2.170 kasus atau meningkat dibanding jumlah kasus yang ditangani saat pemilu tahun 2004 lalu sebanyak lebih dari 500 kasus, berdasarkan daerah pemilihan. tidak semua masalah gugatan pemilu bisa diterima Mahkamah Konstitusi. MK hanya bisa menerima gugatan terkait hasil pemilu yang diajukan partai politik dan calon Anggota DPD. Dalam http://www.indosiar.com/04-06-2009

[11] Lihat : Mantan Wakil Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu dan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Andi Yuliani Paris (F-PAN) yang dihubungi Senin menegaskan, kewenangan menetapkan hasil pemilu secara nasional adalah KPU pusat. Jadi, dalam ketentuan beracara, KPU pula yang harus menghadapi sengketa hasil pemilu di MK. Ketentuan dalam undang-undang merupakan penegasan KPU sebagai institusi yang hierarkis dari pusat sampai daerah. Dalam UU Pemilu antara lain dinyatakan, KPU wajib menetapkan secara nasional hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Perolehan suara parpol untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka. http://forum-politisi.org/10-03-2009, ibid.
[12] http://www.koranindonesia.com/2009/04/10
[15]  KPU di hadapan saksi para parpol di Kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis (14/5/2009) dini hari mengubah perolehan kursi tiap parpol. Suara Hanura naik paling banyak, sedangkan suara Gerindra turun paling drastis.Pengumuman perubahan perolehan kursi tersebut dilakukan KPU.Dari perubahan tersebut, tercatat Partai Hanura, Partai Demokrat, PDIP, PAN, dan PKB mengalami kenaikan jumlah kursi. Sedangkan PKS, PPP, Golkar, dan Gerindra mengalami penurunan. Berikut perolehan kursi tiap parpol berdasarkan hasil validasi KPU:
1 Partai Demokrat 150 (sebelumnya 148)
2 Partai Golkar 107 (sebelumnya 108)
3 PDIP 95 (sebelumnya 93)
4 PKS 57 (sebelumnya 59)
5 PAN 43 (sebelumnya 42)
6 PPP 37 (sebelumnya 39)
7 PKB 27 (sebelumnya 26)
8 Gerindra 26 (sebelumnya 30)
9 Hanura 18 (sebelumnya 15)

[16] Lihat ketentuan tentang alat bukti dalam  Pasal 36 UU No 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi.
[17] http://www.analisadaily.com/ 04-06-2009. Sebagai perbandingan ,  Januari Sihotang pernah berpikir, apakah MK hanya memperhatikan masalah hasil tanpa memperhatikan persoalan lain yang mewarnai pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara? Jika melihat dari banyaknya perkara yang masuk ke MK dan sempitnya jadwal konstitusional seperti pilpres, sepertinya MK akan hanya berperan sebagai mesin hitung atau kalkulator dalam artian bahwa jika ditemukan terjadi pelanggaran maka MK akan hanya memerintahkan penghitungan ulang. Dengan berkaca pada penyelesaian sengketa pilkada seperti pilkada Jawa Timur, Bengkulu Selatan, maupun Tapanuli Utara seharusnya MK harus berani memasuki ranah pidana pemilu jika persoalan tersebut belum terselesaikan.

1 komentar:

  1. Selamat pagi bossku ^^

    Hari ini sedang sendiri ataupun tidak memiliki kegiatan ?

    Mari main Poker / Domino 99 di SahabatQQ dan rasakan sensasi kemenangan berkali - kali lipat ^^
    Apalagi yang kalian nantikan ? hanya dengan modal 20.000 saja loh ^^

    Link alternatif :

    - sahabat9988,net
    - Duniasakong,com
    - Duniasakong,net
    - Duniasakong,org
    - Duniasakong,info

    BalasHapus