Melihat Mimpi Buruk Sengketa Hasil Pemilu Legislatif
2009
Oleh:
Bayu Dwiwiddy Jatmiko
Email: bayu.dj15@yahoo.com
Abstraksi
Pelaksanaan Pemilihan Umum sebagai cerminan kehidupan berdemokrasi
di Indonesia, sering mencuatkan sengketa
yang berkaitan dengan perselisihan tentang hasil pemelihan umum, bagaikan
mimpi buruk yang pernah dikuatirkan terjadinya, yang di picu oleh adanya
kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
hasil penghitungan yang benar menurut pemohon, dan permintaan untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Sengketa
tersebut harus diputuskan oleh Mahkamah konstitusi, dan apapun isi putusannya, ia adalah bukti
indahnya perbedaan kehidupan demokrasi.
Kata kunci: Sengketa PHPU, Pemilihan Umum,
Legislatif.
Pendahuluan
Di tahun- tahun awal berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK), Refly Harun (salah seorang Asisten Hakim
Konstitusi) pernah menulis tentang kemungkinan membeludaknya sengketa atau
perselisihan hasil pemilu yang bakal diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan
hal tersebut disampaikan kepada salah seorang Kolega hakim konstitusi yang
membaca tulisannya, mendiskusikannya sehingga beliau berkomentar, "Bagi
saya, ini bukan bayangan, tetapi mimpi buruk!".[1]
Berkaitan dengan pemilu yang memilih anggota Legislatif, Presiden Susilo bambang Yudhoyono beberapa
waktu setelah dilaksanakannya Pemilu legislative tahun 2009 pernah
menyampaikan, “Saudara-saudara seluruh Rakyat Indonesia yang saya cintai, di
manapun saudara berada. Ketika saya menyampaikan pidato ini, tepat satu minggu
setelah dilakukan Pemungutan Suara Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 yang
lalu. Alhamdulillah, pelaksanaan pemungutan suara yang dilaksanakan relatif
serentak di seluruh tanah air, secara umum berlangsung aman, tertib dan lancar.
Untuk itu semua, selaku Kepala Negara, saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada semua pihak, utamanya seluruh rakyat Indonesia, yang
memiliki semangat dan kesadaran yang tinggi untuk menyukseskan Pemilu 2009 ini ”.[2] Benarkan demikian
pelaksanaannya?
Di sisi lain penyelenggaraan pemilu dinilai kalangan LSM yang
tergabung dalam Pokja Pemantau Penyelenggara Pemilu (P4) sangat buruk. Pemilu 2009
kali ini juga masih meninggalkan berbagai kontroversi dan permasalahan klasik.
Mulai dari terutama yang berhubungan dengan penyusunan daftar pemilih tetap [3],
semakin banyaknya calon wakil rakyat yang membuat kertas untuk Pemilu contreng
semakin besar sehingga membuat rakyat semakin kesulitan dan bingung untuk
memilih, sampai proses penghitungan suara rakyat hasil Pemilu yang lama selesai
dan kemungkinan menimbulkan sengketa hasil pemilu. Pertanyaan yang dapat
diajukan, apakah hal tersebut merupakan salah satu kenyataan dari mimpi buruk
di awal tulisan ini?
Dasar Pengaturan
Pada tataran pengaturan berdemokrasi, Indonesia dapat dikategorikan
sebagai Negara yang telah mempunyai berbagai aturan yang cukup lengkap tentang
penyelenggaraan Pemilihan Umum (pemilu). Dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama
hingga ke empat dapat kita baca berbagai ketentuan tentang Pemilu, antara lain
pemilu untuk memilih anggota DPR (pasal 19), anggota DPD (pasal 22 C),
presiden dan wakil presiden (pasal 6A), Kepala daerah (pasal 18 ayat 4) maupun anggota
DPRD ( pasal 18 ayat 3), penyelenggara pemilu seperti KPU (pasal 22E ayat 5) dan sebagainya.
Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, pada masa sekarang kemudian ditindak lanjuti dengan UU No.2
tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden Dan Wakil Presiden dan
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Termasuk yang perlu dicermati adalah yang terkait dengan kewenangan
MK, Pasal 24C (1) UUD 1945 menyebutkan, “ Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk … dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Yang kemudian
ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No. 24 Tahun 2004
Tentang Mahkamah Konstitusi.
Pelaksanaan Dan
Sengketa Pemilu 2009
Berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, sampai dengan tahun 2002 yakni
selesainya perubahan ke empat terhadap UUD 1945, pernah disinyalir bahwa dari
delapan (8) kali Pemilu yang telah dilaksanakan Indonesia (Pemilu 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), ada dua Pemilu yang dinilai paling
demokratis oleh political scientists sepanjang sejarah pemilu Indonesia, yakni
Pemilu 1955 dan Pemilu 1999.[4]
Dari dua pemilu yang paling demokratis ini, dilihat dari proses
pemilihan, kedua-duanya dianggap sama demokratisnya. Namun kalau dilihat dari
sistemnya, Pemilu 1955 lebih maju selangkah karena telah mengadopsi varian
pemilu langsung, terlihat bahwa Pemilu
1955, di ikuti sejumlah partai dan peserta perorangan untuk anggota DPR dan anggota
Konstituante. Karena ada figur (orang) yang dipilih secara langsung. Sedangkan
dalam Pemilu 1999 diikuti oleh partai dan pemilih hanya memilih partai,
bukan orang.
Sedangkan setelah tahun 2002, yakni setelah perubahan ke empat terhadap UUD 1945, telah
diselenggarakan 2 kali pemilu yaitu
tahun 2004 dan tahun 2009. Pemilu pada tahun 2004 dan 2009 ada dua tahap.
Tahap pertama untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Tahap kedua untuk pemilihan Presiden. Pemilihan pada tahap
pertama belum merupakan Pemilu langsung yang murni, namun sistem yang diadopsi
jauh lebih maju dari Pemilu 1955 (dilihat dari sistem pemilihan/voting).
Sementara itu, untuk pemilihan tahap kedua (Presiden) adalah pemilihan langsung
yang murni. Di luar tahapan tersebut dalam waktu yang berbeda-beda dilaksanakan
pemilu untuk memilih Kepala daerah
propinsi, daerah dan kota.
Jika tahapan tersebut berjalan lancar dan kecurangan-kecurangan atau
pelanggaran-pelanggaran pemilu tidak signifikan, maka Pemilu 2004 adalah pemilu
yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Karena kemudian memunculkan gagasan untuk pemilu kepala daerah
secara langsung, yang kemudian berhasil dilaksanakan pada tahun-tahun
berikutnya dengan segala hiruk pikuknya.
Pemilu 2009, boleh disebut pemilu paling kacau. sebab banyak warga indonesia
yang berhak memilih, tapi akhirnya tidak bisa karena tidak masuk Daftar Peserta
Tetap (DPT). padahal mereka sebelumnya telah mencoblos. Sebagaimana yang disinyalir oleh Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie bahwa "Pemilu 2009 ini paling kacau
karena paling sulit. Diantaranya terlihat dengan banyaknya warga yang tidak
tercatat dalam DPT sehingga kehilangan hak pilihnya,".[5] Kesulitan yang dihadapi KPU
sebagai penyelenggara pemilu disebabkan oleh jumlah peserta dan calon pemilih
yang sangat banyak
Pada pemilu 2004, KPU telah menetapkan 24 partai politik sebagai peserta pemilu
2004. Jumlah pemilih ditetapkan dalam SK KPU No 44/2004, yang tercakup dalam
DPT sebanyak 153,312 juta orang. Mereka tersebar di 32 provinsi dengan 440
kabupaten/kota, yang terdiri atas 5.108 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK),
70.669 Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan 567.717 tempat pemungutan suara
(TPS).
[6]
Sedangkan pada Pemilu 2009, KPU telah menetapkan 34 partai politik
sebagai peserta Pemilu 2009, plus 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Dari ke-34 itu, 18 di antaranya adalah partai politik baru.[7] Jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 ditetapkan sebesar 171.068.667 orang.
Jumlah itu berasal dari pemilih dalam negeri dari 33 provinsi sebesar
169.558.775 orang dan pemilih luar negeri dari 117 perwakilan Indonesia di luar
negeri sebanyak 1.509.892.[8]
Berdasarkan SK KPU No 2 Tahun 2009, yang menyebutkan jumlah TPS untuk Pemilu
2009 berjumlah 527.344 TPS untuk dalam negeri dan 873 TPS untuk luar negeri
Jumlah caleg DPR
RI untuk pemilu 2009 sebanyak
11.219 orang. Padahal jumlah kursi yang tersedia hanya 560. Artinya, hanya 5%
orang saja yang nantinya akan terpilih dan berkantor di Senayan. bagaimana
nasib dari 95% caleg lainnya? Padahal mereka sudah spent dana milyaran
rupiah untuk kampanye! Bagaimana
efeknya?
Pasca pemilu 2004, Ketua MK Jimly Asshidiqqie menyebutkan bahwa MK menangani 257 kasus [9], selebihnya ada permohonan
yang pada saat registrasi ditolak atau tidak dapat diterima. Pada Pemilu 2004,
penetapan hasil pemilu dilakukan terpusat. Penetapan hasil pemilihan anggota
DPR, DPRD, DPD, dan presiden/wakil presiden dilakukan oleh KPU (pusat) sehingga
pihak yang diperkarakan di MK juga hanya satu, yaitu KPU [10].
Sedangkan untuk pemilu 2009, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, pernah memperkirakan sengketa
perselisihan hasil Pemilu 2009 akan lebih rumit dan jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan Pemilu 2004. Salah satu penyebabnya adalah perubahan
ketentuan tentang penetapan hasil pemilu dalam RUU Penyelenggara Pemilu yang
disahkan pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu. RUU Penyelenggaraan Pemilu
mengatur tata cara penetapan hasil pemilihan secara bertingkat-tingkat atau
berjenjang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota dapat menetapkan hasil
pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Adapun KPU provinsi
dapat menetapkan hasil pemilihan DPRD provinsi[11].
Mengkaji Kenyataan Mimpi Buruk
Di Tahun 2004 itu, Refly Harun memperkirakan sengketa atau perselisihan hasil pemilu yang
bakal diajukan ke MK, dengan asumsi
bahwa jumlah daerah pemilihan (DP) untuk
kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebanyak 1.968 (masing-masing
69, 208, dan dan 1.691), seandainya muncul satu saja sengketa hasil pemilu di
masing-masing DP, maka MK akan menuai 1.968 permohonan. Ditambah permohonan
dari calon anggota DPD yang gagal terpilih (32 provinsi masing-masing
'menyumbang' satu sengketa), semuanya menjadi genap 2.000 permohonan (dalam
persidangan di MK tidak dikenal istilah "gugatan" melainkan
"permohonan"). Masalah bakal makin bertambah-tambah seandainya para calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kalah juga berbondong-bondong
mengajukan permohonan. Permohonan itu harus diputus dalam jangka waktu 30 hari.
Dengan demikian, setiap hari setidaknya harus diputus 66 kasus!
Padahal, jumlah hakim MK dibatasi sembilan saja, tidak boleh lebih
dan tidak boleh kurang. Setiap putusan atas sebuah permohonan harus melalui
pintu sembilan hakim ini dan dibacakan dalam suatu persidangan terbuka yang
juga dihadiri kesembilan hakim. Bisa dibayangkan bagaimana bakal limbungnya
institusi MK menangani sengketa hasil pemilu itu.
Bagaimana sebenarnya MK akan menangani permohonan PHPU ? Ketua MK
Mahfud MD, menyampaikan bahwa semua
keputusan, akan didasarkan pada semua bukti-bukti dan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan. "Kalau dalam fakta persidangan sudah
tersingkir, ya harus tersingkir," MK, menurut Mahfud, sudah memiliki
parameter-parameter saat memutuskan suatu perkara. Putusan MK tidak akan bisa
menolong orang yang tidak bisa ditolong. Tetapi tidak juga bisa menyingkirkan
orang yang tidak bisa disingkirkan dalam proses perkara.
Untuk itu setiap pemeriksaan sengketa PHPU, akan berusaha mengkaji
semua alat bukti yang ada. Dengan merujuk kepada pasal 36 UU No 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah
konstitusi, dapat diketahui bahwa alat bukti tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.dan ditentukan sah atau tidak
sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan di
MK alat bukti yang dapat diketengahkan adalah:
a. surat
atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu.
Pada kesempatan lain beliau menyampaikan, “Kalau terjadi sengketa
pemilu, MK akan menyelesaikan peradilannya secara transparan. Proses pembuktian
dan penilaian atas bukti-bukti akan terbuka untuk umum, sehingga masyarakat
maupun partai politik tidak perlu khawatir akan terjadi kekeliruan yang
disengaja oleh MK saat mengambil keputusan”.[12] Yang mana dalam pelaksanaannya semua didukung oleh kesolidan para
hakim konstitusi dan kelengkapan berbagai fasilitas pendukung.
Di tahun 2009, Kenyataannya sampai pada tanggal 19 Mei 2009 saat MK
mulai menyidangkan 16 sengketa perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU) di gedung MK,
telah ada 620 permohonan yang diajukan ke MK[13].
Gugatan partai politik dan calon anggota DPRD terhadap hasil
perhitungan suara anggota DPR, DPD dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada
pemilu 2009 mencapai 64 perkara meningkat 20 perkara dibanding Pemilu 2004
hanya 44 perkara. tahun ini perkara yang masuk berasal dari 40 parpol, 17
parpol lebih banyak dibanding sebelumnya yang hanya 23 parpol. Gugatan dari
calon anggota DPD tercatat 24 perkara, tiga perkara lebih banyak ketimbang saat
Pemilu 2004. Gugatan perkara itu diajukan 36 parpol nasional dan empat parpol
lokal Aceh yakni Partai Bersatu Aceh, Partai Aceh, Partai Suara Independen Rakyat
Aceh (SIRA) dan Partai Daulat Aceh. Sedangkan partai yang tidak mengajukan
gugatan meliputi Partai Serikat Indonesia
dan Partai Buruh, Partai Rakyat Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Gugatan
perkara, berbeda dengan kasus karena satu parpol atau calon DPD bisa saja
mengajukan lebih dari satu kasus misalnya calon legislatif dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang diajukan 45 kasus. Gugatan yang dominan
dilakukan parpol dan calon DPD di antaranya soal penggelembungan suara atau
penggembosan suara, penetapan calon, peringkat anggota DPD dan perbedaan dua surat suara resmi KPU dan
suara tertukar[14]
Sebenarnya pencegahan terhadap membludaknya permohonan sengketa PHPU
yang terkait dengan pemilu legislatif di MK pada dasarnya dapat dilakukan
dengan berpijak pada ketentuan dalam 74 UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah
konstitusi, yakni:
- pada ayat (1), Permohonan penyelesaian PHPU di MK, hanya dapat diajukan oleh calon anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) peserta pemilihan umum dan Partai Politik peserta pemilihan umum;
- pada ayat (2), Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD dan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan;
- pada ayat (3), Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Permohonan penyelesaian PHPU didasarkan pada pokok perkara yang menguraikan dengan jelas tentang adanya :
1.
kesalahan hasil penghitungan
suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang
benar menurut pemohon
2.
permintaan untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.[15]
Dalam kenyataannya permohonan PHPU tersebut antara lain diajukan
oleh :
1.
Partai kasih Demokrasi
Indonesia (PKDI), merasa kehilangan 20 suara.
2.
Partai Pemuda Indonesia (PPI)
mengklaim kehilangan 3.010 suara di tiga daerah, yakni Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara.
3.
Partai Penegak Demokrasi
Indonesia (PPDI) menggugat penetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Kabupaten Banyuasin.
4.
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), sebagian perolehan suara calegnya lenyap. Di Provinsi Bangka
Belitung (Babel)
dirugikan terkait selisih penghitungan suara. Terjadi selisih penghitungan
suara yang dilakukan saksi PDIP dengan penghitungan suara yang dilakukan pihak
PPK di Sungailiat, Kabupaten Bangka. Berdasarkan penghitungan saksi PDIP dengan
PPK, ditemukan selisih 617 suara yang seharusnya masuk ke kantung PDIP, tetapi
justru tersedot ke Partai Demokrat. Akibat selisih suara tersebut, salah
seorang caleg PDIP di Kabupaten Bangka gagal
memperoleh kursi yang hanya selisih suara sebanyak 186 suara dengan caleg
Demokrat.
5.
Permohonan terkait peringkat
calon anggota DPD, yang ingin mengamankan posisinya dengan menggugat peringkat
calon anggota DPD lainnya.
Terhadap berbagai permohonan PHPU tersebut ada tiga kemungkinan
putusan yang akan dikeluarkan oleh MK, yaitu:
- Permohonan tidak dapat diterima, apabila pemohon dan/ atau permohonannya tidak memenuhi syarat. Di sini pemohon tidak mempunyai legal standing atau permohonannya tidak didukung alat bukti permulaan yang cukup.
- permohonan dikabulkan, apabila permohonannya terbukti beralasan, Jika dikabulkan maka ada dua hal yang dilakukan MK, yakni pertama, membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU, dan kedua, menetapkan hasil perhitungan suara yang benar.
- permohonan ditolak, apabila permohonan tidak terbukti beralasan, di sini para pemohonnya tidak berhasil meyakinkan dengan alat-alat bukti yang ada bahwa dalil dan argumen permohonan yang diajukan tidak kuat.
Meski permohonan yang akan disidangkan tidak kurang dari 620, MK akan
tetap bersidang sesuai jadwal dan berusaha untuk menyelesaikan dalam tenggang
waktu 30 hari. Pemohon dan termohon harus
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara persidangan.
Semua keputusan akan didasarkan pada semua bukti-bukti dan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan.[16]
Penting kiranya untuk mengingat penganagan atas PHPU pada masa lalu. flash back pada sengketa hasil
Pemilu 2004 pernah di sampaikan J Januari Sihotang,
yakni MK telah memutus 252 perkara yang diajukan
oleh partai politik, 23 perkara yang diajukan oleh calon anggota DPD, dan
sebuah perkara yang diajukan oleh pasangan calon presiden/ calon wakil
presiden. Putusan MK terhadap 252 perkara yang diajukan partai-partai politik
itu terbagi kepada empat jenis, permohonan dikabulkan sebanyak 41 perkara (14,
96%), permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49, 27%), permohonan tidak dapat
diterima sebanyak 89 perkara (32, 48%) dan 9 perkara (3, 28%) ditarik kembali
oleh pemohon.
Data ini antara lain menunjukkan bahwa setengah lebih partai politik
yang menjadi pemohon tidak memiliki dalil yang dapat dibuktikan dalam sidang.
hanya 15% pemohon yang benar-benar memenuhi semua persyaratan agar permohonan
diterima, termasuk memiliki dalil yang dapat dibuktikan di dalam sidang.
Putusan MK terhadap perkara yang diajukan oleh partai politik telah membawa
implikasi terhadap perolehan kursi DPR oleh partai politik dimana terdapat
partai politik yang kehilangan kursi, seperti Partai Golkar (kehilangan 1 kursi
DPR) dan Partai Demokrat (kehilangan 2 kursi DPR), di sisi lain terdapat partai
politik yang mendapat tambahan kursi, seperti Partai Bintang Reformasi
(tambahan 1 kursi DPR) dan Partai Pelopor (tambahan 2 kursi DPR). Dari 23 perkara yang diajukan oleh anggota
DPD hanya 1 perkara yang dikabulkan permohonannya oleh MK dan mempengaruhi
penetapan calon angota DPD, yakni permohonan Achmad Chalwani dari Provinsi Jawa
Tengah yang menyebabkan perubahan posisi dimana Acmad Chalwani terpilih menjadi
anggota DPD menggantikan Dahlan Rais [17]
Kesimpulan
Dari apa yang telah diketengahkan di atas, senyatanya banyaknya
permohonan penyelesaian atas sengketa PHPU, bukanlah sepenuhnya sebuah mimpi
buruk yang menjadi kenyataan, melainkan cenderung menunjukkan sebuah dinamika
yang indah dari kehidupan sebuah Negara demokrasi, yang masih dalam koridor
untuk menciptakan tatanan pengelolaan kehdupan bernegara yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Perundang-undangan:
UUD 1945 hasil perubahan pertama hingga ke empat
UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi
UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden
Web Site:
http://sekilasindonesia.com
http://www.kpu.go.id
http://forum-politisi.org
http://www.analisadaily.com
http://www.koranindonesia.com
[1] Refly harun. Mimpi Buruk Sengketa Hasil Pemilu http://reflyharun.blogspot.co.id acces 21 Maret 2009
[3] http://sekilasindonesia.com, 3 – 6 – 2009
[4] Sebagai catatan: Pemilu 1955 diikuti 172 Kontestan dan partai Politik, Pemilu 1971
diikuti 10 kontestandan partai politik, Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
diikuti 3 kontestan dan partai politik
yang sama, Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik, pemilu 2004 diikuti 24 partai
politik dan pemilu 2009 diikuti 44 Partai politik.
[9] http://www.tempo.co.id/11-05-2004,
lihat pula: Mahkamah Konstitusi (MK) memperkirakan jumlah gugatan yang akan
diterima nantinya sekitar 2.170 kasus atau meningkat dibanding jumlah kasus
yang ditangani saat pemilu tahun 2004 lalu sebanyak lebih dari 500 kasus,
berdasarkan daerah pemilihan. tidak semua masalah gugatan pemilu bisa diterima
Mahkamah Konstitusi. MK hanya bisa menerima gugatan terkait hasil pemilu yang
diajukan partai politik dan calon Anggota DPD. Dalam http://www.indosiar.com/04-06-2009
[11] Lihat : Mantan Wakil Ketua Pansus RUU
Penyelenggara Pemilu dan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Andi Yuliani
Paris (F-PAN) yang dihubungi Senin menegaskan, kewenangan menetapkan hasil
pemilu secara nasional adalah KPU pusat. Jadi, dalam ketentuan beracara, KPU
pula yang harus menghadapi sengketa hasil pemilu di MK. Ketentuan dalam
undang-undang merupakan penegasan KPU sebagai institusi yang hierarkis dari pusat
sampai daerah. Dalam UU Pemilu antara lain dinyatakan, KPU wajib menetapkan
secara nasional hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Perolehan suara parpol untuk calon anggota DPRD provinsi
ditetapkan KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka. http://forum-politisi.org/10-03-2009,
ibid.
[12] http://www.koranindonesia.com/2009/04/10
[13] http://www.suarakarya-online.com/19
-05-2009
[14] http://www.tvone.co.id/
04-06-2009
[15] KPU
di hadapan saksi para parpol di Kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat,
Kamis (14/5/2009) dini hari mengubah perolehan kursi tiap parpol. Suara Hanura
naik paling banyak, sedangkan suara Gerindra turun paling drastis.Pengumuman
perubahan perolehan kursi tersebut dilakukan KPU.Dari perubahan tersebut,
tercatat Partai Hanura, Partai Demokrat, PDIP, PAN, dan PKB mengalami kenaikan
jumlah kursi. Sedangkan PKS, PPP, Golkar, dan Gerindra mengalami penurunan.
Berikut perolehan kursi tiap parpol berdasarkan hasil validasi KPU:
1 Partai Demokrat 150 (sebelumnya 148)
2 Partai Golkar 107 (sebelumnya 108)
3 PDIP 95 (sebelumnya 93)
4 PKS 57 (sebelumnya 59)
5 PAN 43 (sebelumnya 42)
6 PPP 37 (sebelumnya 39)
7 PKB 27 (sebelumnya 26)
8 Gerindra 26 (sebelumnya 30)
9 Hanura 18 (sebelumnya 15)
[16] Lihat ketentuan tentang alat bukti dalam Pasal 36 UU No 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah
konstitusi.
[17] http://www.analisadaily.com/
04-06-2009. Sebagai perbandingan ,
Januari Sihotang pernah berpikir, apakah MK hanya memperhatikan masalah
hasil tanpa memperhatikan persoalan lain yang mewarnai pelaksanaan pemungutan
dan penghitungan suara? Jika melihat dari banyaknya perkara yang masuk ke MK
dan sempitnya jadwal konstitusional seperti pilpres, sepertinya MK akan hanya
berperan sebagai mesin hitung atau kalkulator dalam artian bahwa jika ditemukan
terjadi pelanggaran maka MK akan hanya memerintahkan penghitungan ulang. Dengan
berkaca pada penyelesaian sengketa pilkada seperti pilkada Jawa Timur, Bengkulu
Selatan, maupun Tapanuli Utara seharusnya MK harus berani memasuki ranah pidana
pemilu jika persoalan tersebut belum terselesaikan.
Selamat pagi bossku ^^
BalasHapusHari ini sedang sendiri ataupun tidak memiliki kegiatan ?
Mari main Poker / Domino 99 di SahabatQQ dan rasakan sensasi kemenangan berkali - kali lipat ^^
Apalagi yang kalian nantikan ? hanya dengan modal 20.000 saja loh ^^
Link alternatif :
- sahabat9988,net
- Duniasakong,com
- Duniasakong,net
- Duniasakong,org
- Duniasakong,info